Khaibar merupakan wilayah subur di utara Madinah, sekitar 165 km, yang dihuni orang-orang Yahudi. Sebenarnya sikap bermusuhan kaum Yahudi Khaibar ini baru muncul semenjak hadir orang-orang Yahudi Bani Nadhir.
Kita baca, kaum Yahudi Bani Nadhir diusir Nabi Saw. dari Madinah sebagai hukuman atas aneka pengkhianatan mereka. Dan sebagian besar mereka ini menyebar ke Khaibar.
Dan tokoh-tokoh Bani Nadhir, setelah gagal menghimpun pasukan besar gabungan Quraisy dan Ghathafan, serta lenyapnya Yahudi Bani Quraizhah, mulai menghasut dan memperburuk citra Rasulullah Saw. di Khaibar.
Nabi Muhammad Saw. sadar akan hal ini. Bahwa arah selatan di mana ada kaum Musyrik Makkah, tapi relatif terkendali dengan Perjanjian Hudaibiah. Namun, tidak demikian dari utara, selagi masih ada orang-orang Yahudi Bani Nadhir yang berdiam di Khaibar.
Belum lagi sekiranya kaum Yahudi itu menjalin kerjasama dengan penguasa Byzantium atau Persia yang tidak jauh dari mereka.
Maka, teramat sangat logislah Nabi Saw. mengarahkan langkah menuju Khaibar yang merupakan benteng terakhir orang-orang Yahudi di Jazirah Arab.
Dan perlu dicermati, semua peperangan yang Rasulullah Saw. lakukan sebelumnya selalu sebagai langkah defensif dari pihak Islam. Semua perang dilakukan demi eksistensi kaum Muslim menangkal serangan musuh.
Namun, sebagaimana diuraikan Sayyid Al-Qimni, dalam Jalan Politik Muhammad, Perang Khaibar adalah perang pertama yang dicetuskan Nabi Saw. untuk menyerang kaum Yahudi yang mendiami kawasan Khaibar secara tiba-tiba. Artinya, tidaklah tepat sekira makna jihad dipahami sebagai langkah defensif, sebagaimana hari ini berkembang, terutama di kalangan Islam Liberal. Fakta menunjukkan, jihad pun bisa berarti ofensif.
Nah, seusai shubuh, Rasulullah Saw. menggedor benteng kelompok pertama Khaibar. Di Khaibar terdapat tiga kelompok benteng kukuh yang membujur dari selatan ke utara dan diselingi oleh pepohonan kurma dan pohon-pohon yang lain.
Kelompok pertama, an-Nathat terdiri dari tiga benteng, yakni Benteng Na’im, Benteng ash-Sha’ab, dan Benteng Qillat. Kelompok kedua, asy-Syiq terdiri dua benteng, Benteng Abi dan Benteng al-Bari’. Dan kelompok ketiga, al-Katibah yang terdiri tiga benteng, Benteng al-Qamush, Benteng al-Wathih, dan Benteng al-Sulalim.
Benteng-benteng itu sengaja dibikin untung menangkis serangan mendadak dari kaum Badui, karena memang Khaibar merupakan tanah perkebunan yang berada di tengah orang Badui yang kelaparan. Dan selama itu benteng-benteng sangat efektif untuk menangkal serangan orang-orang Arab Badui yang pengin menjarah hasil perkebunan.
Tetapi, kaum Yahudi Khaibar tidaklah sedang menghadapi kaum Badui barbar yang selalu dapat dipatahkan. Mereka tengah berhadapan dengan pasukan Muslim yang teratur dan disiplin. Benteng demi benteng pun jebol oleh kedigdayaan pasukan Muslim.
Benteng asy-Syiq takluk setelah benteng an-Nathat runtuh. Orang-orang Yahudi kabur dan berlindung di benteng terakhir, kelompok benteng al-Katibah yang sangat kukuh. Di situlah warga Khaibar menyangka aman setelah berlindung di balik benteng al-Qamush, benteng al-Wathih, dan benteng al-Sulalim.
Bahkan warga Yahudi itu menolak seruan yang diulang-ulang Rasulullah Saw. untuk keluar dari benteng dan menyerahkan diri. Dan setelah 14 hari pengepungan, Rasulullah Saw. mengeluarkan keputusan yang pertama kalinya dilakukan di negeri-negeri Arab, yakni membuat trebuset atau pelontar batu besar untuk menghancurkan benteng.
Pelontar batu besar ini biasanya hanya digunakan para pasukan imperium besar, baik Romawi maupun Persia. Namun ternyata pasukan Muslim pun menggunakannya, yang menandakan bahwa pasukan Muslim setara bahkan bakal melebihi kekuatan dua imperium tersebut. Hal itu juga untuk membuka tabir bahwa sebetulnya kemampuan pasukan gabungan yang diinisiasi Bani Nadhir belumlah apa-apa.
Orang-orang Khaibar, termasuk para tokoh Bani Nadhir di dalamnya, mulai yakin bahwa mereka tidak akan selamat. Mereka menyaksikan bagaimana benteng-benteng kukuh itu dihantam trebuset. Maka, Kinanah ibn Abu al-Haqiq keluar di bawah bendera damai.
Kinanah mendatangi Rasulullah Saw. dan mengajukan kesepakatan damai kepada beliau. Nabi Saw. menyetujui dengan persyaratan-persyaratan yang disetujui kedua belah pihak. Tampak Kinanah, pimpinan yang disegani kaumnya itu, berjalan dalam keadaan sangat takut di hadapan Rasulullah Saw.
Dan ternyata kemudian kesepakatan damai itu pun tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tatkala Rasulullah Saw. menanyakan soal kekayaan Bani Nadhir yang ada pada Kinanah, “Di mana peti (harta) yang pernah kalian pinjamkan kepada warga Makkah?”
Dengan gagap, ia menjawab, “Kami kabur dan terus berjalan. Lalu kami pergi, dan telah membelanjakan semuanya.”
“Jika kamu,” tukas Rasulullah Saw. “menyembunyikan sesuatu, lalu aku mengetahuinya, maka aku halalkan darahmu dan keluargamu.”
“Ya.” jawab Kinanah, yang setengah percaya diri bahwa Rasulullah Saw. tidak bakal menemukannya.
Di sini, terbaca dari sirah yang dipaparkan Ibnu Hisyam, kejelian Rasulullah Saw. dalam berdiplomasi. Beliau pun telah mengetahui perbendaharaan tersebut, termasuk letak persembunyiannya.
Baginda Rasulullah Saw. memanggil seorang Anshar, “Pergilah ke tempat ini dan itu. Lalu, datangilah perkebunan kurma, lihat pohon kurma di kanan atau di kirimu. Lihat pohon yang tinggi. Bawalah yang ada di situ!”
Dan ternyata, terbukti pemimpin Yahudi itu berdusta. Lantas hukum berlaku, ada sekitar 73 orang Yahudi diesksekusi mati. Bagi mereka yang selamat dari eksekusi, karena menunjukkan etikat berbeda dengan pimpinan, diberi kesempatan untuk mengurus perkebunan Khaibar.
Setelahnya, Shafiyah, putri Huyay ibn Akhthab, tokoh Bani Nadhir yang mengumpulkan pasukan ahzab, sekaligus istri Kinanah ibn Abu al-Haqiq, pemimpin Khaibar yang memutus perjanjian, mendapatkan keberuntungan diambil jadi istri Nabi Saw.
“Sungguh,” kenang Shafiyah, “kebencianku kepada beliau lenyap. Padahal sebelumnya Rasulullah adalah orang yang paling aku benci, karena dia telah menghukum mati suamiku dan ayahku.”
Ungaran, 25 September 2024
Baca juga: Bani Quraizhah, dan Shafiyyah binti Huyay
0 Comments