Tak Kehilangan Inti


Aku berkali-kali menguap, tapi laki-laki di depanku ini tak kunjung sadar. Ia terus saja berceramah. “Jangan sampai kita kehilangan inti hidup, Fha. Apa pun karunia yang kita miliki, harus dalam proses demi ibadah kepada-Nya.” terangnya.

Rakhe, namanya, sahabat semenjak kuliah, dan kini tinggal satu kompleks perumahan denganku. Ia sudah berkeluarga dan baru dikaruniai satu putri yang sepantaran anak bungsuku.

Saban malam ia nongkrong di serambi rumahku, yang memang lumayan nyaman untuk mengobrol ngalor-ngidul tak berjuntrung. Biasanya ada dua tiga empat tetangga yang turut berlesehan, menemani hingga batas malam. Dan istriku pun tanggap, kopi dan atau teh serta aneka gorengan telah siap saji di tengah lesehan.

Namun, malam ini hanya Rakhe yang bertandang. Sehingga, ia leluasa mengumbar petuah kepadaku. Terbebas dari sanggahan atau bahkan celaan dari tetangga yang tak setuju. “Ingat lho, Fha! Kata orang bijak, ‘bertambahnya kekayaan duniawi itu kekurangan, dan keuntungan duniawi yang tak mutlak kebaikannya adalah kerugian’.”

“Bertambah tapi kok malah kekurangan, apa maksudnya?” sahutku.

“Aku yakin kamu enggak paham, ha ha ha.” Tawa mengejeknya itu sungguh menyebalkan. Tapi memang aku tak mengerti apa maksud yang dia katakan. Jadi aku pendam saja perasaan jengkel ini.

“Ya, mirip seperti umur, Fha. Oleh Allah kita dijatah sampai 60 tahun, misalnya, dan kini kita sudah 32 tahun, berarti saat berulang tahun usia ke-33, sama artinya jatah usia kita di dunia berkurang. Demikian pula dengan harta kekayaan. Jadi, secara zahir harta kita bertambah, tapi secara hakiki berkurang.”

“Terus maksud ‘keuntungan duniawi yang tak mutlak kebaikannya adalah kerugian’, apa dong?”

“Itulah yang mau aku lanjutkan. Enggak sabaran kamu. Ha ha ha.” Ah, ketawa lagi dia, batinku menggerundel. “Jadi, tatkala jatah uang itu turun ke kita, tapi tidak kita gunakan sebagai sarana ibadah, maka sungguh merugilah kita. Apalagi jika memang cara mendapatkan dan mengalokasikannya tidak bernuansa ibadah, jelas akan lebih celaka lagi. Sebab inti kita di muka bumi ini kan untuk ibadah.”

Ya, aku paham soal kehadiran umat manusia di muka bumi ini beribadah. Ayatnya jelas. Dan aku tak perlu menunjukkan ke dia ayatnya. Dianggap menggurui nanti. Namun sungguh, semula aku rada ngantuk langsung bergairah mengikuti petuah Rakhe ini, yang terus terang memang canggih nalarnya. Aku akui itu. Pengalaman spiritualnya lebih panjang ketimbang aku dan istriku, maka nikahnya pun telat. Duluan aku. Barangkali ini kelebihanku dibanding dia, soal menemu jodoh.

Tetapi, sekali lagi harus kuakui, mengobrol dengan Rakhe itu serasa me-refresh kesadaran. Memang terkadang menyebalkan, karena ia kerap bertamu ke gubuk ini, seperti gagal paham kalau istriku pun butuh istirahat. Maka, seperti malam ini, begitu tadi Rakhe berkunjung untuk bercakap-cakap yang tak jelas berakhir kapan, Rahma bergegas bikin teh panas di dapur, dan meminta aku yang menyajikannya. Ia lanjut tidur, tidak ikut nimbrung, padahal belum pukul delapan malam.

Dari Rakhe aku dapat insight bahwa segala jatah yang dikaruniakan kepada umat manusia ini, tidak lain merupakan sarana beribadah. Seperti halnya jatah uang, jatah umur, jatah pengetahuan, dan sebagainya dan seterusnya, itu sedianya menjadi bekal ibadah kepada Allah. Jangan sampai aku kehilangan inti hidup, yakni ibadah, dalam mengelola cara dan tujuan akan sumber daya yang dijatahkan.

Sekiranya tidak bertindak curang dalam memperoleh rezeki, tapi tidak untuk bekal ibadah, itu saja konyol. Apalagi berlaku curang dalam mengejar harta.

O, sungguh betapa meruginya hidupku. Sebab jatah rezeki yang dikaruniakan sudah pasti ada, tidak akan meleset. Namun, dalam menjemput jatah tersebut, acap kali aku kurang sabar. Tidak telaten. Apalagi kalau dihubungkan sebagai bekal ibadah, jauh, masihlah jauh.

“Ada kisah begini, Fha.” Rakhe melanjutkan rangkaian kalimat yang mengendap di benaknya, setelah cukup lumayan kami berdiam diri. “Dahulu ada seseorang datang kepada Imam Syafi’i. Orang tersebut mengeluhkan rezekinya yang tidak hanya dirasa masih kurang, tapi memang benar-benar kurang. ‘Wahai Guru, rezeki saya ini tidak pernah cukup. Kurang melulu.’

‘Selama ini gaji yang engkau dapatkan berapa?’

‘Tiga dinar, Guru.’

‘Baiklah. Mulai besok, bilang pada majikanmu untuk digaji dua dinar saja.’

“Pulanglah orang itu. Ia mengamalkan perintah sang imam. Sekian waktu kemudian, orang tersebut datang lagi dan mengadukan hal yang sama. Sang guru pun kembali memintanya untuk memohon pada majikan agar menggajinya satu dinar. Dan orang tersebut, sembari tak mengerti maksud sang guru, tetap menunaikannya.

“Dan aneh, Fha, sungguh kehendak Tuhan, dengan gaji yang hanya satu dinar justru cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Datanglah ia kepada sang imam, bukan untuk mengadukan kekurangan, melainkan bertanya heran, kok bisa demikian. Bahwa yang tiga dan dua dinar saja serasa tak mencukupi, tetapi yang hanya satu dinar malah bisa mencukupi kebutuhan hidup.”

“Iya, aneh itu.” Aku menimpali.

“Tabir rahasianya begini, kita analogkan air minum dalam sebuah gelas. Adalah gelas berisi air yang jernih, yang sekiranya siap diminum, tetiba kemasukan kotoran cecak. Pastinya air itu tidak jernih lagi, dan mustahil kita tega meminumnya. Lantas dibuanglah semua air dalam gelas itu. Demikian pula harta rezeki jika tercampur harta haram, harta itu pun kotor semua. Meski tampak berlimpah, tapi tak pernah mencukupi.”

Mulailah aku menangkap maksud Rakhe, bahwa adakala harta yang kita simpan itu harta yang muspra, tidak berguna lantaran tercampur dengan hal-hal haram.

Berbeda sekiranya, seolah harta yang kita miliki sedikit, tetapi steril dari cara-cara curang dalam memperolehnya, niscaya berkah dan mencukupi kebutuhan hidup. Bahkan benar-benar akan semakin memberkahi jika digunakan sebagai bekal ibadah.

“Lah, kalian belum tidur?” tetiba Rahma keluar dari dalam. “Dah jam setengah dua lho!”

Aku hanya bisa nyengir, sedang Rakhe menatap Rahma dengan pandangan memelas. Ah, dasar Rakhe!

Ungaran, 11 September 2024

Baca juga: Jadi Orang

Post a Comment

8 Comments

  1. Terima kasih sharing ilmunya tentang harta dan ibadah. Sangat bermanfaat sekali, barakallah.

    ReplyDelete
  2. Mencari harta harus sesuai dengan syariah Islam, yang halal itu wajib. Dapat ridha-Nya, berkah yang tak hanya untuk diri sendiri tetapi bagi keluarga tercinta. Semoga kita senantiasa memperolehnya dengan cara2 baik ya aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, betul banget...Apa pun itu, memang mesti selaras dengan aturan main.

      Delete
  3. Sharing yang sangat bermanfaat. Suka banget poin dimana apa nikmat yang Tuhan berikan untuk kita seharusnya menjadi sarana untuk ibadah. Ini berasa nancep banget nih..

    ReplyDelete
  4. Apa yang akan kita kejar dengan segala kecurangan yang dilakukan ya...karena sejatinya hidup ini hanya sementara

    ReplyDelete
  5. Iya kadang takjub dengan orang yang menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya padahal semua dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak ya..

    ReplyDelete