Saya sempat berandai, komunitas yang mengimplementasikan konsep Charlotte Mason. Sastra bersisian dengan pelajaran apa pun. Sejarah, filsafat, bahkan sains. Anak diajak mendalami karya novel tebal, sebagai bacaan bersambung dari cawu ke cawu. Sehingga, “tak satu pun sosok di kisah itu yang terluput dari ingatan mereka.” kata Charlotte.
Kemudian, saat kelas membaca, penulis membacakan karya sastranya, dan peserta yang lain wajib mendalami karya tersebut. Bahkan kalau diperlukan membandingkan dengan para maestro macam Andersen, Rudyard Kipling, Shakespeare, dan yang lain.
Tapi Kelingan belum seideal Charlotte Mason. Kelas bacanya belum sampai menguliti hingga ke akar-akarnya. Hingga bikin telinga merah, dan semacamnya. Kelingan masih terselimuti budaya sungkan, dan saling jaga perasaan. Kelingan lahir di tanah yang bersiteguh budaya Timur.
Salahkah? Tidak! Sama sekali tidak. Sebab Kelingan bukan Charlotte. Reading Class bukan Reading Group. Termasuk membacakan lantang bukan read aloud yang tengah marak di kalangan penggiat TBM. Oleh karenanya, sungguh bukan tempatnya mengidealkan sesuatu yang bukan maqom-nya. Tak seyogianya Kelingan diposisikan sama tinggi atau rendah dengan Komunitas Charlotte Mason. Masing-masing punya karakter dan gaya belajar sendiri.
Namun, bukan berarti reading class di Kelingan itu asal jalan. Tetap berbeda dengan saya dulu ketika SD, bahkan SMP, sastra yang hanya sekadar untuk mengenal nama sastrawan dan judul karyanya, tanpa secuil pun mengulik apa isi karya. Dalam kelas membaca ini, tetap diupayakan ada pendalaman isi, termasuk typo atau kesalahan ejaan.
Nah, cerpen yang dibedah kali ini, Selasa 15 Oktober 2024 di Ruang Audiovisual Kantor Perpusda Kab. Semarang, milik Dewi Rieka dan Daffa Faadihilah.
Dewi bercerita Mengungkai Beban Hati. Kisah keluarga muda, Ammar dan Alya, yang menjadi konten kreator di Instagram.
Sebagai pembaca dari generasi X, saya menikmati cerita ini. Saya tambah paham, sebagaimana Dewi katakan, “Ya, memang ada gap antara orang seusia Pak Sanusi dengan mereka yang hidup di zaman digital. Tak semua orang paham. Bagi Alya, menjadi konten kreator adalah profesi yang ia cintai dan banggakan. Sama terhormatnya dengan pekerjaan Pak Sanusi sebagai kepala bagian di perusahaannya.”
Suka tak suka, ada lompatan yang terlampau cepat untuk dilintasi buat generasi X, apalagi Baby Boomer, agar gap itu tidak terlalu menganga. Dan cerita Dewi ini mengabarkan bahwa gap itu ada. Termasuk sudut pandang tentang pantas tidaknya sesuatu disiarkan ke publik, dan sebagainya.
Membaca cerita Dewi, ingatan saya pun langsung diterbangkan pada buku Dunia yang Dilipat karya Yasraf Amir Piliang. Yasraf dari sudut filsafat mengungkap gejala zaman kontemporer. Bahwa kini, kita hidup pada zaman hiper-realitas. Zaman yang dicirikan oleh overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi. Apa pun boleh, asal memenuhi selera pasar/netizen. “Dewanya adalah viral,” kata Uniek Kaswarganti. Sehingga, jelas bertabrakan dengan selera 90-an, 80-an, di mana boleh tak boleh berdasar nilai kebenaran yang diadaptasi dari agama atau pun budaya luhur masyarakat.
Sementara yang dibutuhkan saat ini, bukanlah keinginan untuk mempertahankan ideologi leluhur, melainkan ambisi untuk mengekspresikan diferensi—perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya, penampilan, wajah, rambut, warna kuku, dan sebagainya. Sekarang, yang dikejar bukanlah kedalaman spiritual, melainkan kedangkalan citraan.
Kembali kepada Dewi Rieka, singkatnya, saya meniru B. Rahmanto mengomentari Fira Basuki, Dewi merupakan juru kisah yang piawai. Ia bisa menggarap konflik dalam cerpennya secara halus, tidak vulgar. Membaca cerpen Mengungkai Beban Hati, walau kata penulisnya sangat panjang, sembilan halaman, serasa kepengin mendengar cerita lanjutannya. Dalam tata kepenulisan pun sempurna, tanpa cacat. “Clear!” kata Arie Pujilestari. Sehingga bakal memanjakan editor, he he he ….
Berikutnya cerpen Daffa (atau dalam jagad kesusastraan dikenal sebagai MyNecro), yang lagi-lagi mengantar benak saya pada Yasraf Amir Piliang. Dalam Diskursus Post-Modernisme, Yasraf menyinggung soal fantasi yang dikaitkan dengan simulasi. Dan, saya melihat Daffa juara dalam mengadon cerita fantasi. Fantasi ia simulasi menjadi (seolah-olah) nyata.
Lebih-lebih membaca pilihan judul yang ditulisnya, Dunia Setelah Kehancuran, benar-benar melayangkan saya pada Yasraf. Yasraf Amir Piliang, filsuf postmodernisme milik negeri ini, melahirkan buku-buku di antaranya: Dunia yang Dilipat; Sebuah Dunia yang Menakutkan; Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital.
Syahdan, membaca kedua cerpen tersebut, saya bayangkan sebagai living text. Bahwa sastra memang sanggup menyuguhkan kenyataan di balik kenyataan sekaligus mengungkap keindahannya. Dan saya terhibur, walau saya tidak sampai seperti ungkapan Charlotte terhadap anak didiknya, “Sanggup memahami, memvisualisasikan, dan menceritakan kembali drama Shakespeare. Mereka tidak menambahkan yang tak ada, tapi yang ada sama sekali tak luput, serta menggambarkan percakapan atau adegan dengan refleksi yang mengherankan.”
Pendeknya, seusai dari Reading Class #3 itu, saya memperoleh penandasan yang tiba-tiba membersit, “Kita orang dewasa acap melupakan yang sudah kita baca karena kita tidak serius memahami yang kita baca.”
Maka, ya … begitulah!
Ungaran, 16 Oktober 2024
Baca juga: Roh Menulis
2 Comments
Tulisan yang lengkap menggambarkan kelas kemarin Mas, terima kasih untuk pencerahannya ya..
ReplyDeleteKembali kasih, Mbak. Padahal, justru Mbak-lah yang memantikku untuk menulis ini.
Delete