Aku dan Rahma berjalan mencari angkringan di ujung dekat pintu masuk terminal. Aku memesan teh hangat, sementara Rahma pesan wedang rempah.
Seperti biasa, setiap ketemu angkringan, mendoan hangat adalah menu favoritku. Sebagaimana kalau sedang berlibur ke pantai selatan Kebumen, mendoanlah yang aku cari, yang lain lewat. Berbeda dengan istri, standar saja yang ia santap, nasi dengan lauk ikan teri, atau lauk apa saja yang ada. Ia tipe yang tak menampik makanan. Tidak pilih-pilih.
Teh hangat dan wedang rempah sudah di depan kami. Penjualnya perempuan. “Tutupnya sampai jam berapa, Mbak?” tanya Rahma.
“Tak tentu, Bu. Tapi seringnya jam sebelas dah habis. Setengah jam beres-beres.”
Perbincangan mereka pun mengalir, mungkin karena sesama perempuan. Apalagi ia sendirian menunggui angkringannya. Tapi karena di pinggir jalan, yang ramai lalu lintas, jadi ia tak merasa kesepian.
Selanjutnya, aku tak ikut percakapan mereka. Aku fokus membayang situasi Makkah pada abad ke-7, yang sedemikian menghormati laki-laki. Saat itu kaum perempuan tak lebih sekelas komoditi yang bisa diperjualbelikan.
Perempuan menjadi penggembira, bukan pemain utama. Saat Perang Uhud, misalnya. Abu Sufyan dengan kavaleri besarnya mengikutsertakan 15 janda dan anak perempuan dari orang-orang yang gugur di Badar untuk menemani pasukannya. Mereka dipimpin oleh Hindun, istri Abu Sufyan.
Para perempuan itu ditugaskan untuk menyemangati para laki-laki mereka, dan yang sekaligus memperolok-olok kejantanan pasukan musuh.
“Majulah, dan kami akan mendekapmu di atas bantal yang lembut,” teriak Hindun yang dikuti yang lain kepada pasukan Makkah.
Dan ternyata, “kekuatan magis” perempuan ini berhasil melengahkan pasukan pemanah Madinah yang diperintah Nabi untuk bertahan di atas Uhud. “Aku melihat para wanita menyingsingkan gaun mereka untuk melarikan diri dan menyingkap gelang kaki mereka,” kenang salah satu dari pemanah itu kelak.
Semula, pasukan Madinah yang dipimpin langsung Nabi Muhammad berhasil memorak-porandakan pasukan Abu Sufyan. Dengan hanya 700 tentara, Muhammad berhasil menghalau 10.000 tentara Makkah yang hendak melewati Bukit Uhud.
Namun, tampaknya embusan angin tidak mengarah di pihak Madinah. Pasukan pemanah tergiur untuk membawa yang mereka sangka harta rampasan, yang otomatis melalaikan perintah Nabi Muhammad untuk bertahan di balik bukit. Sebagian besar dari regu pemanah itu turun mengejar para perempuan Makkah yang memperlihatkan gelang-gelang di kaki mereka.
Sungguh, tiada seorang pun dari regu pemanah yang berhamburan itu mendengarkan teriakan instruksi kapten pasukan pemanah agar tetap mempertahankan posisi mereka: bertahan dan membantu pasukan Madinah dengan hujanan panah yang menembusi baju zirah musuh.
Khalid, dari kavaleri Abu Sufyan melihat kesempatan itu, mengerahkan para penunggang kuda memutar dan menerjang pasukan Muhammad dari arah belakang yang tidak lagi terlindungi. Sementara Abu Sufyan dari arah depan berasa dapat amunisi kembali menyerang seiring satu demi satu orang-orang Madinah berguguran.
Setelah Muhammad bersama sisa pasukannya berhasil menyingkir dari medan peperangan, giliran para wanita Quraisy mulai berkeliaran mengumpulkan barang jarahan: pedang, belati, baju zirah, tali kekang, pelana, dan sebagainya, dan sebagainya.
Jelaslah, era itu belum ada istilah kesetaraan. Perempuan masih sebagai subordinat laki-laki. Belum merasa berdiri sendiri, yang setara dengan laki-laki. Padahal ayat-ayat awal yang diterima Nabi Muhammad merupakan protes keras terhadap ketidakadilan sosial. Ayat-ayat yang berpihak kepada kaum miskin dan terpinggirkan. Ayat-ayat yang mengutuk konsep adat istiadat Makkah tentang anak lelaki sebagai pihak yang terhormat, serta mengutuk keras praktik pembunuhan terhadap bayi perempuan.
Memang berbeda-beda keadaan dan situasinya, tetapi setara di hadapan Tuhan. Begitu misi ajaran yang dibawa Muhammad Saw. Bahwa Ali yang baru berusia 13 tahun pun sama pentingnya dengan penggede elite Makkah.
Dan tak pelak, pemuka Quraisy tak siap dengan khotbah baru ini. Seruan yang mengandaikan kesatuan dan kesetaraan di bawah payung satu Tuhan, yang tak memandang keturunan, kekayaan, usia, dan apalagi jenis kelamin.
Sehingga, pengikut Nabi Muhammad kebanyakan dari kalangan yang tak dianggap dalam tatanan masyarakat Makkah. Karena jelas, mereka berasa menghirup udara segar dari apa yang diupayakan Muhammad Saw.
Bahwa mereka yang dirampas hak-haknya, mereka yang diremehkan, seperti budak, bekas budak, para janda, dan anak yatim, sangat berminat penuh antusias menyimak khotbah Muhammad.
Mereka merasa eksis sebagai manusia begitu mengikuti ajaran Muhammad. Mereka berkedudukan setara satu sama yang lain, sama-sama hamba Allah.
Khotbah yang disampaikan Muhammad adalah seruan revolusi. Ajaran yang menentang ketidaksetaraan, ketidakadilan. Ajaran yang menempatkan perempuan senasib sepenanggungan dengan laki-laki demi pengabdian kepada Tuhan yang Mahatinggi dan Mahaadil.
Hal itu kemudian, yang bisa kita baca dari kisah Aisyah. Perempuan muda, yang kenes dan penuh vitalitas, sebagai istri Nabi, gagah memimpin perang untuk menuntut keadilan. Sejarah menulisnya sebagai Perang Unta, yang memprotes kepemimpinan Ali.
Betapa kaum miskin, yatim, budak, dan semua umat manusia sama di hadapan Allah. Dari suku apa kita lahir, apa klan kita dalam suku itu, dan dari bani mana kita dalam klan itu, semua tidak penting. Bahwa tak satu kelompok manapun yang berhak meninggikan diri mereka atas kelompok yang lain.
Mengikuti ajaran Muhammad, menjadi muslim, yang secara harfiah berarti berserah diri hanya pada kehendak Allah, meniscayakan wujud desakralisasi selain Allah.
“Udah Yah, yuk! Berapa, Mbak?” seraya mengulurkan lembaran Rp 50.000.
Menit berikutnya kami beriringan masuk terminal. Oh ya, kami memang sengaja berpisah dari rombongan tur. Kami pengin menikmati perjalanan ke Ungaran berdua saja. Tidak bareng serombongan sebagaimana saat berangkat dari Ungaran.
“Mbaknya tadi cantik kan, Yah?”
"Haiyyah."
"Bunda sempat perhatiin, lho, Ayah begitu kesengsem padanya."
Ah, mulai lagi ....
Ungaran, 10 November 2024
Baca juga: Kesetaraan
6 Comments
Saya suka artikelnya kak. Artikel tentang sejarah Islam begini yg ditulis dengan gaya berbeda. Mudah dipahami dan tidak membosankan.
ReplyDeleteternyata nilai kesetaraan itu bukan cuman soal teori ya tapi sudah ada contohnya langsung di kehidupan sejarah
ReplyDeleteKeren ceritanya, sebenarnya dalam Islam memuliakan kaum wanita, melindungi wanita, namun kenyataannya tidak begitu...
ReplyDeletemasyaAllah.. benar adanya.. Islam agama yang telah sempurna.. Mengajarkan kebaikan dan kebenaran yang dicontohkan melalui nabi Muhammad. Termasuk dalam hal kesetaraan dan wanita
ReplyDeleteAjaran Islam membawa angin segar ya untuk kehidupan orang tertindas saat itu, bagaimana perempuan, budak, suku miskin terinjak-injak Dan tak dianggap manusia...
ReplyDeleteSaya jadi belajar mengingat kembali tentang sejarah islam. Alhamdulillah melalui risalah Nabi Muhammad, menyebarkan kebaikan bahwa semua manusia itu setara sampai kita bisa merasakan nikmat tersebut hari ini
ReplyDelete