Paling tidak hingga hari ini, saya melihat Ungaran masih baik-baik saja. Belum, atau malahan jangan, sampai menjadi kota yang dihabisi oleh kekuatan jahat yang tak tampak tapi ganas. Ungaran belum tersengat terik macam di Semarang, pantai utara Jawa, karena masih dikelilingi hutan. Ungaran belum kehabisan sumber mata air, sehingga masih bisa menghidupi kota Semarang.
Terus terang saya takut membayangkan Ungaran tak punya lagi gunung dan hutan. Tak punya tempat yang menyerap dan menyimpan curah air hujan. Tiada burung-burung beterbangan di sela pepohonan pinus dan pala. Saya takut jika semua lahan hijau itu tersulap menjadi wahana kuliner dan destinasi wisata.
Saya gemas, betapa para pembangun perumahan mulai gila berebut lahan-lahan terlarang. Mereka membabat hutan. Mereka memangkas bukit untuk ditanami pondasi bersemen. Pelbagai aturan yang telah dibuat di meja Dewan pun dilangar demi memuluskan proyek perumahan.
Maka, jika kota ini kemudian benar-benar teruruk longsoran dari gunung, saya tak tahu bagaimana orang-orang akan bertindak setelah ini. Mungkin mereka akan kembali mengais-ngais nafkah dari apa saja yang tersisa dari kerusakan ini. Dan mungkin sebagian akan lantang menuding para pemangku jabatan—saya termasuk di dalamnya—bahwa panas terik dan longsor, sungai-sungai kering, jalan-jalan rusak bergelombang, ini adalah anak haram birokrasi yang busuk dan bisnis yang tamak. Meskipun saya hanya akan bisa memaki-maki di gawai atau di pos ronda dan, setelah itu, merasa tak berdaya, terdiam.
Namun sekali lagi, sungguh, jika kota ini hancur, ia adalah sebuah kombinasi rawan antara kebodohan dan kekuasaan. Sebuah kisah tentang para penjaga peraturan yang tidur selama bertahun-tahun. Kepala Daerah yang tak bergerak karena kekenyangan suap, atau deretan pejabat yang bodoh atau abai, tak melakukan apa-apa.
Nah, sembari menuliskan ini, saya dengar suara burung di emperan tetangga. Ada yang membuat lega di nada itu. Ada yang membuat saya tergerak untuk berterima kasih, tapi tiba-tiba saya juga sadar bahwa tetap ada yang tak beres.
Kicaunya memang istimewa, menemani saya memainkan jemari di atas keyboard. Namun saya terhenyak, betapa Ungaran nyaris seperti sebuah kota tempat burung-burung tak lazim bernyanyi di dahan pala, di taman dengan puluhan pohon rindang. Betapa kini Jelas, pelan-pelan Ungaran turut serta mengurung burung-burung di pojok rumah.
Saya dengar kicau burung itu lagi, dan kian membersit: burung dan ruang bersama sejatinya dua elemen yang saling meneguhkan. Keduanya seharusnya merupakan tanda sebuah kota yang mengakui hak kita untuk kesukaan, waktu santai, dan pertemuan kebetulan yang dinikmati.
Memang saat ini masih ada alun-alun Bung Karno, ada alun-alun Kalongan, atau pun embung-embung dengan sekitaran rumput hijau. Dan tempat-tempat tersebut masih menjadi sebuah surprise buat warga Ungaran. Para paruh baya acap berjalan kaki mengitari lapangan, anak-anak bermain bola atau memulukkan layang-layang.
Paling tidak, area publik itu belum sepenuhnya jadi serangkaian apartemen mewah. Belum terjadi privatisasi rumput hijau, privatisasi waktu santai, privatisasi sport. Hanya atau baru burung-burung yang mengalami privatisasi. Burung-burung sudah tersisih, tapi ruang bersama belum disisihkan.
Suatu sore, persis harinya saya lupa, di sebuah awal Juni 2025, seraya terundung perasaan takut mendengar petir dan memandang mendung, seolah isyarat buruk dari kahyangan. Sebab, setiap kali hujan turun, tersiar kabar, di Semarang bawah: jalan jadi sungai, mungkin lebih luas dan deras ketimbang Kaligarang. Rumah, toko, angkringan, warung lesehan, dan di sana-sini, dikepung air. Listrik pun dimatikan.
Mungkinkah itu di Ungaran? Air, ketakutan, kelumpuhan... Ah, tidak, tidak!
Sungguh saya takut membayangkan, kota kecil Ungaran beralih menjadi sebuah kota yang rentan dan ketakutan di bawah hujan. Biarlah kota kecil ini seperti sekarang saja. Tak menanggung megaproyek gagal karena bertentangan dengan hukum-hukum alam. Dusun-dusun yang mengitari masih berkarib dengan alam, meski tampak primitif. Bukit dan gunung masih menawan dalam wujud keasliannya, bukan deretan rumah, bukan jajaran vila mewah.
Pun ketika saya terpaku di pesarean Syekh Hasan Munadi, Desa Nyatnyono, terlihat jelas Gunung Ungaran yang agung sekaligus misterius. Betapa agung karena ia menyajikan alam yang hakikatnya beragam. Kemudian saya memandang ke bawah, tampak rumah-rumah penduduk, tampak alun-alun lama, seakan leluhur Ungaran telah menetapkan bahwa kota ini adalah kota berdaya yang bersanding dengan hutan Gunung Ungaran.
Ungaran sedianya bukanlah sebuah kota yang menyerah, di mana korupsi merebak. Bukan lahan pembuatan proyek fiktif atau tanpa guna untuk mendapatkan anggaran. Bukan tempat kerja yang mendayakan perilaku rutin para petugas izin bangunan yang minta sogok dan dengan itu membiarkan lingkungan hancur.
Tetapi, kala pandangan saya mengarah ke kota sebelah, yang di sebelah utara sana itu, privatisasi dengan dahsyat menggerogoti sebuah kota. Rumah pribadi, gedung perkantoran, seluruh bisnis tanah dan bangunan telah membangkitkan perekonomian—dan pasar pun hidup oleh perdagangan semen dan engsel pintu, jasa pemborong, keringat para kuli, dan keangkeran para satpam.
Privatisasi juga yang turut mengasah kepintaran para insinyur. Kota, seperti banyak hal, menjadi sesuatu karena kapital dan laba—seperti zaman modern yang bangkit dengan mengagumkan di tangan kaum borjuasi, sebagaimana difatwakan oleh Marx dan Engels.
Maka, sanggupkah Ungaran tak berpaling kepada privatisasi? Dengan kata lain, saya berharap Ungaran mengoptimalkan ruang bersama, bahwa ada hal-hal yang tak boleh disentuh oleh privatisasi. Ungaran tetap menjadi tempat orang berkumpul dan menunjukkan solidaritas, bukan sehimpun gedung dan rumah tinggal semata dengan mengeringkan lahan hijau. Alun-alun, plazza serta taman kota, bukan hanya fungsi perekonomian, melainkan kesetiakawanan. Wilayah publik didahulukan di atas hak individu.
Syahdan, saya telah hidup di Ungaran selama 20 tahun. Terang saya tak mau menyaksikan Ungaran berangsur-angsur rusak karena persekutuan pemilik uang dan kuasa yang tak pernah henti memompa ambisi dan keserakahan. Mereka hendak menghancurkan gunung, mengalihwahanakan hutan. Saya telanjur meyakini bahwa kota bukan saja sebuah kebangkitan dalam bentuk bangunan-bangunan baru, melainkan juga sebuah kebijakan yang menitikberatkan bahwa hutan dan orang-orang miskin tidak jadi korban yang pertama. Bahwa pemimpin tak menyumbat segala ruang bersama untuk segala lapis masyarakat.
Kini, cukuplah burung-burung saja yang telanjur tersisih.
Ungaran, 13 Juni 2025
0 Comments