Transendensi dan Transformasi

oleh Muhammad Zuhri      

Momen Transendensi (Shalat Maktubah)

Shalat merupakan momen transendensi (mi’raj) orang-orang beriman. Di dalamnya berlangsung tiga macam transendensi yang dapat mengantarkan esensi seseorang ke puncak kesempurnaannya secara individual (Lihat Al-Hijr: 99):

1. Transendensi ‘peran jiwa’ (nafsu) menjangkau ‘peran Ketuhanan’, dengan pernyataan ‘Iyyaka na’budu’ (Kepada-Mu kami mengabdi).

2. Transendensi ‘kemampuan insani’ menjangkau 'Qudratullah (Kuasa Tuhan), dengan pernyataan ‘Iyyaka nasta’in’ (Kepada-Mu kami memohon pertolongan).

3. Transendensi ‘kemauan insani’ menjangkau ‘Iradatullah’ (Kehendak Tuhan),  dengan pernyataan ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ (Tunjukkan kami jalan lurus).

Proses transendensi telah melemparkan seseorang ke dalam kematiannya sendiri, meskipun kemudian ia hidup kembali dengan predikat, kodrat dan iradat baru yang bernasab kepada Allah (Abdillah). Hal itulah yang membuat dirinya sanggup menerima kenyataan  dan berani  menanggungnya.

“Setelah bernasab kepada Allah , engkau harus menanggung segala sesuatu, karena segala sesuatu tak lagi sanggup menanggungmu.” pesan An-Nifari.

Maka ia pun segera turun dari medan tajalliyat Tuhan (Shalat; momen transendensi) untuk menempuh kehidupan barunya sebagai Hamba Allah. Ketika itu ‘ia’ bukan ‘ia’ lagi, melainkan seorang hamba yang dikirimkan Allah dengan qodrat dan iradat dari sisi-Nya untuk melakukan transformasi di segala bidang kehidupan yang dikuasai (Lihat  Ali ‘Imran: 110).

Momen Transformasi (Shalat Wustha)

Shalat Wustha adalah shalat yang terletak di antara Shalat Maktubah yang satu dan yang lain. Padahal ‘saat itu’ berupa ‘momen aktual’ manusia. Dengan demikian  shalat wustha adalah aktualisasi diri yang bernilai transformatif yang dapat menyampaikan seseorang kepada Tuhannya  sebagamana halnya dengan Shalat, yaitu:         

1. Transformasi ‘Fenomena’ menjadi ‘Ilmu’ yang bersifat ‘konstruktif’ akan  menghasilkan kesadaran akan adanya ‘Sumberdaya’  (Rahmat-Islam-Alami).

’Sumberdaya’   bersifat  alami. Keberadaannya menyelamatkan diri dari Alam / berada dalam Sunnatullah  (Lihat Ali-‘Imran: 83).  

2. Transformasi ‘Sumberdaya’ menjadi ‘Nilai’ (Makrifat) yang bersifat ‘integratif’’ menghasilkan kesadaran akan ‘Keharusan’  (Amr – Iman - Manusiawi).

’Keharusan’  bersifat manusiawi (adil). Keberadaannya mengamankan manusia dari  sesamanya/ berada  dalam  Amr Allah. (Lihat Al-Bayyinah: 5)

3. Transformasi  ‘Keharusan’ menjadi  ‘Citra’ (Hikmah) yang bersifat ‘kreatif’, menghasilkan kesadaran akan ‘Proses’ (Amal Shalih--Ihsan--Ilahi).

’Proses’  bersifat Ilahi. (benar). Keberadaannya menyampaikan kita pada Ridla- Allah  /   berada  dalam  Jalan Allah  (Lihat Al-Qashash: 77.)

Di dalam momen transendensi ‘Iradah Tuhan’ akan turun ke dalam diri manusia, dan di dalam momen transformasi ‘kehendak manusia’ akan naik mencapai Ridla-Nya. Di dalam proses transendensi esensi manusia naik menggapai Sang Asal/Al-Awwalu (Qudratullah dan Iradatullah/Rahmaniyah), sedang di dalam proses transformasi manusia berjuang meraih Sang Tujuan/Al-Akhiru (Ridwanullah/Rahimiyah), yang kedua-duanya adalah wujud Allah dalam sifatnya yang berbeda (berpasangan). Itulah sebabnya proses aktualisasi diri seorang Mukmin selalu dibuka dengan ‘Basmalah’, yang menyadarkannya  akan  tujuan  dan  tehnis  pengungkapannya  yang bernilai ganda (ke dalam dan ke luar).

 “Peliharalah shalat-shalat(mu) dan shalat wustha, dan tegaklah karena Allah dengan penuh ketaatan.” (Al-Baqarah: 238).

Dengan perjalanan masuk (transendensi) dan keluar (transformasi) yang benar, seorang Abdillah telah berhasil menghapus ‘kegelapan sebelum dan sesudah’ kehadirannya di dunia, karena  ia telah menggenggam Al-Awwalu dan Al-Akhiru (Dimensi Kontinuiti/kesenantiasaan)  di dalam kiprah kekiniannya  (Lihat Al-Isra’: 80)

Al-Qur’an  menyebutnya sebagai  hamba yang telah melaksanakan ‘Shalat Da’im’,  yang  tak akan  terpengaruh oleh panas dan dinginnya cuaca kehidupan  (Lihat Al-Ma’arij: 19-23).

-----------o0o------------

Post a Comment

0 Comments