Spirit Mother Culture

Spirit Mother Culture

Di awal paparan, Ellen Kristi langsung tampil energik. Saya melihat Ellen yang tak biasa, tidak lagi sayup-sayup lembut, sebagaimana di forum “kamisan”. Materi yang ia sampaikan, juga bukan hal remeh. Bahkan sampai detik ini, saya masih lamat-lamat untuk menyusun narasi yang ia papar.

Ellen memang jago mengagitasi banyak orang untuk membongkar perasaan dan pikiran kacau. Nah, saya termasuk yang masih kewalahan mengelola emosi. Juga mengenali pikiran.

Dalam workshop “Mother Culture” itu, 31 Maret 2019, dua tahun silam, di Tekodeko Koffiehuis, Ellen mengetengahkan soal pentingnya kepribadian orang tua, agar terus melejit di tengah kesibukan berdunia. Orang tua, menurutnya, adalah penentu utama karakter anak. Maka, penting bagi orang tua, baik ayah maupun ibu, menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menunaikan tanggung jawab atas anak.

“Orang tua adalah profesi paling penting di dunia,” ungkap Ellen.

Charlotte Mason merumuskan prinsip education is an atmosphere. Pendidikan merupakan pancaran kepribadian orang tua. Atmosfer kedua orangtualah, inspirasi yang anak hirup saban hari. Itulah peran penting orang tua yang tak tergantikan, atmosfer. Cara orang tua berkomunikasi, bertetangga, menata asesoris rumah, dan bahkan nilai keyakinan termasuk apa-apa yang tebersit, itu semua masuk ke bawah sadar anak. 

Jelas, dalam hal ini orang tua harus lebih serius menggarap diri. Dari menit ke menit, anak menghirup atmosfer orang tua. Meskipun, entah ayah, entah pula ibu, tidak sedang berhadapan langsung dengan anak. Tetap, sang anak akan menyerap spirit orang tua.

Apa yang orang tua kerjakan, walau sekali lagi tidak sedang di hadapan anak, akan memantul ke anak. Ada sesuatu yang tak kelihatan di mata, yang lebih lembut dari pancaran magnet, ketika spirit orang tua, baik mulia maupun buruk, menembus lubuk hati anak.

Maka, tak bisa tidak, supaya mengalir berkah, orang tua harus terus-menerus memperbaiki diri. Mengusung spirit Ilahi. Charlotte menandaskan pendidikan adalah kerja spiritual. Sebab kodrat manusia terlahir sebagai makhluk spiritual. Dan yang spiritual, hanya bisa dididik oleh yang berspirit.

Spirit mother culture

Ada kisah. Wiji Thukul, penyair yang hidup pas-pasan, lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, kerap melakukan demonstrasi bersama tetangga-tetangganya, memprotes pencemaran pabrik tekstil saat itu. Puisinya, yang memang sengaja dibikin mengangkat persoalan orang-orang tertindas, menjadi semacam duri bagi selera makan para pejabat. 

Maka, tak ayal lagi, sejak peristiwa 27 Juli 1996, ia menjadi salah seorang korban politik rezim Soeharto. Dan hingga sekarang tak diketahui di mana seorang Wiji Thukul berada.

Sipon, sang istri, harus menanggung penghidupan dua anak kecil: Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Begitulah. Fitri dan Fajar sejak kecil telah ditinggal, lebih tepatnya “kehilangan”, Wiji Thukul, sang ayah. 

Singkat kisah, Fitri dan Fajar bertumbuh bersama Sipon, tapi berkat spirit luar biasa sang Wiji, kini Fitri dan Fajar melejit sebagai aktivis. Artinya, Fitri dan Fajar besar berkat atmosfer yang terpancar dari orangtua mereka. Atmosfer aktivis. Spirit untuk terus melawan ketidakadilan. Padahal, fisik Wiji Thukul tidak berada di dekat mereka, tapi spiritnya hadir. Hidup. Dan terus bercokol di benak anak-anak. Membentuk sudut pandang dan selera hidup Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah.

“Maka, jangan remehkan spirit!” tegas Ellen.

Memang spirit tidak kasat mata, tapi hidup. Ia adalah esensi, sisi dalam manusia, yang akan terus memancar ke individu-individu lain, walau si pemegang spirit itu telah berkalang tanah. 

Nah, pertanyaan buat kita, para orang tua, sudahkah kita menghidupi spirit, demi masa depan anak? Sudahkah kita mengenali jati diri? Sudahkah kita mengetahui panggilan hidup? Sudahkah kita merumuskan misi yang mesti kita jalani saban hari? Sudahkah kita memilah: mana yang prinsip, mana yang bukan prinsip? Dan pertanyaan-pertanyaan mendasar lainnya.

Setiap pertanyaan tersebut, yang menyangkut emosi-spiritual, tidak sulit dijawab. Saya pastikan, dan dengan lantang pula, saya menjawab: belum! Apalagi memang, secara sosiologis, tidak ada kewajiban untuk merumuskan misi dan menyingkap panggilan hidup. Lazimnya, sebagaimana kita pernah mengalami, orang akan mengidealkan anak selepas SMA itu: Bekerja di mana? Karyawan di sebuah perusahaan apa? Dan seterusnya.

spirit mother culture

Nah, the habit of growing up. Namun itu tidaklah mudah. Banyak, termasuk saya, yang pengin sabar, tapi selalu gagal. Pengin selalu berkata lembut pada Rahma, istri saya, tapi toh sama saja. Saya acap kali kasar padanya. Jawabnya, to grow up is “unnatural”.

Oalah, ternyata kita berhadapan dengan hukum alam, entropi. Ibarat naik eskalator, jika kita tidak terus berjalan naik, kita akan diseret turun. Bahwa kelembutan, kesabaran, kejujuran, dan sifat luhur manusia yang lain itu adalah unnatural

Maka, wajar saja kalau berat. Karena melawan hukum alam, melawani rasa malas dan rasa takut. Kemalasan dan ketakutan hadir untuk menyurutkan citra kemanusiaan pada level bawah, dan makin ke bawah.

Wajar saja. Kita malas buka dan baca buku. Kita malas membantu tetangga yang kesusahan. Kita takut menyuarakan kebenaran. Kita takut keluar dari zona nyaman. Sebab rasa malas dan takut merupakan force of entropy.

Lantas, ya, tak bisa tidak harus dilawan. Melawan kebiasaan-kebiasaan buruk. Melawan program-program lama yang tak mengembangkan diri. Melawan ambisi pribadi. Dan, dalam keyakinan saya (Islam), itu merupakan jihad besar. Sebab perang militer, kontak senjata, menurut Nabi Saw., adalah jihad kecil. Sedangkan perang melawan nafsu (entropi) adalah jihad besar.

Dan itu berat. Karena melawan kewajaran. Di tengah-tengah dunia modern yang sedang didominasi oleh budaya yang mengagungkan kebendaan (materialisme), keluar dari zona nyaman itu berarti hidup menderita. Sehingga tak banyak yang menjalani. Kalau pun ada yang mencoba menempuhnya, tak sedikit yang patah di tengah perjalanan. Lantaran bertumbuh, sama dengan berkomitmen melawan rasa malas, dan menanggalkan rasa takut.

Maka, “jangan tunggu besok,” tegas Ellen, “tapi mulai sekarang, tumbuhlah dengan gagah menghadapi masalah, menghadapi rasa sakit. Melawan entropi.”

(Mendengar ungkapan “jangan tunggu besok”, saya langsung teringat sabda Muhammad Saw: “Tiada berkah matahari terbit di timur hari ini, jikalau tak lebih baik dari hari kemarin.”)

Dan rupanya, untuk tumbuh, kita tidak boleh jadi tawanan masa lalu. Harus bebas dari masa lalu. Juga tidak terjerat oleh mitos “bahagia” soal masa depan (ingat, kebahagiaan itu bikinan angan-angan, khayalan). Teknisnya, ya, kita tunaikan tanggung jawab hari ini dengan sebaik mungkin. Accept responsibility for your life. Sehingga tidak terperosok dalam lubang yang sama. Juga tidak melihat sesuatu sebagai hasil fantasi.

Duilah...! Angelmen, Mbak!

Ungaran, 30/10/2021 (revisi)


Baca juga: Mother Culture 2


Post a Comment

20 Comments

  1. Setuju dengan ini: atmosfer kedua ortu = inspirasi yg dihirup anak tiap hari. Ini bukan teori. Setidaknya saya mengalami sebagai pihak anak. Sejuk atau panas atmosfernya, dampaknya bagi anak bisa melekat sampai dewasa 🥲 makasih renungannya, Pak

    ReplyDelete
  2. Amat sangat amat keren artikelnya. Saya kok langsung dapat spirit. Apalagi membesarkan anak remaja, wah butuh banget 'asupan' energi macam artikel ini. Auto save biar bisa dibuka lagi, dibaca lagi, dipelajari lagi. Matur nuwun artikelnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mi-sammi, Mbak Sinta...maturnuwun juga....Pokoknya kita saling nyemangati aja deh

      Delete
  3. membaca ini seperti belajar dari orang-orang luar biasa
    mereka yang punya cara pandang lain dan berbeda, menarik untuk disimak dan didengarkan. semoga bisa belajar dari orang-orang seperti ini terus, sangat menginspirasi

    ReplyDelete
  4. Berarti Wiji Thukul smpe sekarang blm ketemu ya? Suka sama gaya bahasa setiap artikelnya mas Ardi,informatif skali.

    ReplyDelete
  5. Melawan ambisi pribadi -- ini tuh paling susah sekali untuk saya yang ini mau itu mau kejar sana kejar sini 🥺🥺🥺 artikelnya healing banget mas, saya seperti ikut terapi baca ini. terima kasih sudah berbagi tulisan ya.

    ReplyDelete
  6. waaah suka banget dengan artikelnya mas.... bener banget ya ini atmosfer yang terbentuk dalam keluarga akan terserap oleh anak selama masa pengasuhan orang tua. dan spiritnya akan terus terasa oleh anak-anak meskipun orang tuanya sudah wafat. berarti atmosfernya dulu kuat banget melingkupi anak-anak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Mbak Opi, atmosfer itu macam udara yang tak kasat mata, tapi bisa kita rasai. Kita sekarang yang begini ini, sedikit banyak karena atmosfer yang kita hirup dari ortu kita dulu....Thanks ya, Mbak

      Delete
  7. Bener banget Mas, jangan sampai kita hidup di masa lalu karena yang kita hadapi adalah masa kini dan masa depan.

    ReplyDelete
  8. Jomlo tarik napas dalam-dalam. Saya jadi mikir sepupuku umur 6 tahun yang udah ditinggal wafat bapaknya, Pak. Saya sering mendengar kata-kata kasar ibu dan masnya ke anak 6 tahun itu. Keluarga yang lain juga enggak bisa apa-apa. Efeknya kata-kata kasar kadang muncul dari percakapan si anak, sedih.

    ReplyDelete
  9. Masyaallah bener banget ni orangtua adalah pekerjaan terpenting di dunia dan atmosfer yg kita punya akan menular ke anak2. Makanya harus kasih contoh yg baik setiap saat

    ReplyDelete
  10. ahhhh bagi aku yang belom dikasi kesempatan jadi ortu jadi mikir apa sekiranya nanti saat menjadi ortu aku akan mampu ya menjadi atmosfir yang baik untuk anak2 kelak.. keren banget tulisan ini byk orang luar biasa di luar sana

    ReplyDelete
  11. aura, pembawaan, dan energy orang tua memang akan memengaruhi kepribadian anak juga, saya setuju. peran ortu sebenernya berat yahh harus bisa mengontrol emosi, penuh kelembutan, ini jadi pembelajaran buat saya semoga nanti bisa jadi pengaruh baik untuk anak-anak kelak.

    ReplyDelete
  12. Ajaran orang tua melekat terus pada anak walaupun sudah tiada makanya kita berusaha wariskan hal baik mengajarkan kemandirian, berbuat baik dan tidak malas.. Makasih pencerahannya..

    ReplyDelete
  13. Wah baca artikel ini aku malah jadi merefleksikan diri sebagai anak. Betul juga ya, kepribadian ku terbentuk karena mama dan papa. Aku belum jadi orang tua, tapi ada artikel ini jadi berpikir untuk selalu bersikap positif

    ReplyDelete