Belum Move ON

 Tampil di sebuah TV nasional

“Haaa....” Rahma kaget. 

“Benar, Bun. Itulah yang dikatakan Bu Katjasungkana kemarin siang.” Entahlah, kenapa aku jadi menggebu-gebu menjelaskan ihwal genosida kepada istriku. 

“Bunda kaget kan? Bunda tak percaya kan?” lanjut aku.

“Ayah salah. Bunda kaget bukan soal materi cerita yang Ayah paparkan, melainkan heran saja kenapa Ayah tiba-tiba kepedean menjelaskan ke Bunda.” 

“Lha kok ?”

“Iya. Bunda itu 100 % percaya dengan paparan yang menggugat propaganda Orde Baru.  1000 % malah.” jawab Rahma, terus beranjak meninggalkan aku sendirian di teras. 

Rahma masuk ke dalam. Ia nyalakan layar televisi, dan kembali asyik melihat drama Turki, tontonan favoritnya. Anak-anak sudah lelap tertidur sedari isyak. Aku masih bertahan di teras. Cuaca Ungaran malam hari ini sedang panas-panasnya, serasa sumpek jadinya kalau mendekap terus di dalam rumah.

Aku tatap langit malam yang terang bertabur bintang, seiring bulatan bulan yang tak kunjung penuh. Pikiranku terbang menuju lalu lintas diskusi kemarin siang. Diskusi refleksi tragedi 1965. Diskusi yang bikin aku tersengat. Sama sekali jauh dari sangkaanku selama ini terkait kisah di balik banjir darah 1965-66. Antara percaya tak percaya. 

Tapi aku terpaksa percaya karena yang membahas adalah pakar Sejarah Universitas tersohor di Semarang. Turut hadir pula, narasumber kondang dari Jakarta, seorang aktivis HAM yang malang melintang ke Amerika dan belahan Eropa untuk urusan kemanusiaan. 

Pakar sejarah itu mengkritik rezim Orde Baru yang sedemikian membesar-besarkan serangkaian peristiwa jelang subuh, 1 Oktober 1965 di Jakarta. Ya, Orde Soeharto mendramatisasi aksi penculikan para pucuk Jenderal Angkatan Darat, seraya menutup rapat-rapat tindakan brutal tentara kepada eks PKI. Peristiwa pembunuhan besar-besaran sejak Oktober 1965 hingga pertengahan 1966. 

Padahal, justru peristiwa 1965-66 itulah yang parah, bahkan disebut-sebut sebagai kejahatan kemanusiaan terberat ketiga dunia setelah Nazi Jerman, dan Perang Vietnam. 

Jujur, aku baru mendengar paparan yang demikian itu. Paparan yang terkesan mendeskreditkan kepemimpinan Soeharto. Jauh banget dengan narasi-narasi sejarah yang aku dapat di sekolah. 

Sebelum ini aku berkeyakinan bahwa dalang carut marut negara adalah masih bercokolnya komunisme. Sebab komunis itu tak berketuhanan, sehingga jelas tak layak hidup di bawah naungan Pancasila. Memang, aku benci Orde Baru bahkan sampai hari ini, tapi lebih sengit kebencianku terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat yang sok berhaluan sosialis terlebih komunis. 

Benar. Aku tak menyangka keyakinanku itu bakal jebol. Diskusi dan buku bacaan saat masih aktif di HMI dulu sama sekali tak menunjukkan kejahatan penguasa Orde Baru. Sama sekali tak menyebut peristiwa genosida yang digawangi Angkatan Darat. Sama sekali tak menyinggung tindakan brutal TNI terhadap keluarga PKI. Bahkan di lembaga sekolah tempat aku bekerja pun masih rawan membicarakan PKI.

Kaget sekaligus marah. Kaget, ternyata sedemikian sistematis penguasa menutup fakta sejarah. Begitu lihainya memutarbalikkan kebenaran, hingga bisa berkuasa  selama 32 tahun. Begitu sistematis mencipta budaya benci atau anti kepada PKI, kepada ideologi komunis, kepada sosialisme. Begitu massif meyakinkan rakyat dengan pemutaran film garapan Arifin C. Noor. 

Aku mangkel. Kok begitu tega, aparatur pemerintah membiarkan bahkan menyusun rekayasa untuk membasmi warganegaranya sendiri hingga tak tersisa tujuh turunan. Basmi habis sakcindil-cindile. Sungguh biadab. 

Dan, biadabnya lagi narasi kejahatan itu dibungkus rapi dengan mengatasnamakan penyelamatan Pancasila. Untuk penyelamatan agama, terutama Islam, dari bahaya komunis. Sekolah-sekolah turut mempermanenkan narasi salah tersebut. Guru-guru muda, termasuk diriku, turut melestarikan kebohongan kepada peserta didik. 

Kejahatan HAM berat ketiga di dunia! Hmmm, sungguh aku tak menyangka. Benar-benar aku tertipu. Negeri yang konon terpahat sebagai teritori yang murah senyum, tanahnya subur bak penggalan surga, tapi kisah buramnya malah difitnahkan kepada anak bangsa sendiri. Bahkan hingga sekarang, penguasa negeri ini seperti tak serius menuntaskan masalah ini. Belum ada pernyataan gagah yang ikhlas mengakui kesalahan tindakan genosida itu. Tindak menghilangkan jutaan nyawa manusia yang tak jelas kesalahannya, jutaan jiwa yang seolah hanya mati sia-sia. Jutaan anggota Lekra, yang tak tahu-menahu dengan ideologi komunis dan turut dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. 

Ya, mereka ikut Lekra, karena tertarik dan ingin mengembangkan bakat keseniannya yang pro rakyat. Begitu pula dengan ratusan ribu petani, yang polos dan bersetia dengan tanah sawahnya, yang tentu saja juga tak memahami apa itu komunis, apa itu PKI, tiba-tiba ikut diangkut, disiksa, dan mati. Mereka hanya petani biasa. Petani yang menaruh simpati kepada para penggiat partai komunis, lantaran menyediakan pupuk gratis. Demikian juga para nelayan, yang tidak paham dengan gemuruh politik di Jakarta. Hanya gara-gara mengaku telah dibantu PKI, yang menawarkan solar murah untuk melaut, lantas diarak layaknya pendosa ke liang kuburan massal. 

Sungguh brengsek!   

“Ayah masih melamun?” Rahma tiba-tiba ke luar dari ruang tengah. “Di dalam panas banget, Yah,” gerutu Rahma sembari menaruh pantat di atas kursi, duduk di sampingku. “Ada apa, Yah? Serius banget. Masih soal komunis? Yah, Bunda punya teman, Anning namanya. Juga guru seperti Ayah. Cuma di sekolah swasta. Ia anak seorang Gerwani. Orangnya pintar, tapi amit-amit, sampai sekarang belum menikah. Padahalnya usianya kini nyaris kepala empat.”

“Laki-laki atau perempuan?” aku asal menimpali. 

“Yaaa...Perempuanlah! Lha wong namanya Anning. Masak laki-laki? Lagian kalau laki-laki sih, usia segitu nyantai saja. Masyarakat tak akan usil, kenapa belum menikah.”

“Kenapa Bunda baru cerita sekarang?”

“Ya, barangkali nyambung dengan kesuntukkan Ayah.” Rahma menambahkan, “Ibunya sudah renta. Anning anak tunggal. Bapaknya sudah almarhum entah kuburannya di mana tak jelas.”

 “Iya....” jawabku lirih. 

“Lho kok cuma iya? Tanggapin yang serius dong cerita Bunda!”

“Lha Ayah mesti serius seperti apa? Ayah ini lagi gemes sama diri sendiri. Ayah kecewa kenapa tidak dari dulu sadar akan ketidakautentikan pelajaran yang Ayah ajarkan di sekolah. Ayah malu. Ayah isin dihadapan anak-anak, ternyata bapaknya bisa dibodohi oleh cerita palsu selama bertahun-tahun. Ayah....”

“Lantas Ayah mau gimana? Memaki sejarah? Terus-menerus menghamburkan kata serapah kepada pemerintah? Begitu...” Timpal Rahma. “Begini saja, Yah. Kalau Bunda sih, tak ingin larut dalam kemarahan, dalam masygul yang berkepanjangan. Ya, memang kita tak bakal sanggup merehabilitasi mereka-mereka yang jadi korban stigma. Karena itu tugas negara kan. Tapi, setidaknya, kita tak ikut masuk daftar pembenci PKI, antikomunis, abai dengan keluarga korban.”

“Terus caranya, Bun?” aku mulai serius memperhatikan mimik mungil Rahma yang tampak cerdas itu.

“Ya, Ayah kan bisa bikin acara diskusi yang mengulik tema Tragedi 1965-66. Ayah ajak teman dan adik-adik HMI. Ya, semacam diskusi yang Ayah ikuti kemarin itulah. Diskusi yang bisa membuka pemahaman baru. Diskusi yang menepikan stigma iblis terhadap PKI, Lekra, BTI, dan sebagainya.  Satu hal lagi, mulai sekarang Ayah mesti rajin nabung, agar bisa borong buku-buku yang mengupas kekerasan 1965. Jangan hanya beli buku yang bernapas religius, mentang-mentang mantan aktivis. He he he....” 

“Tidak hanya itu, Ayah juga mesti mulai mengajak anak-anak didik yang Ayah ajar untuk berpikir kritis tentang cerita sejarah. Syukur pula mulai menuliskan esai atau opini yang dikirim ke koran, sebagai penebusan dosa. Kan seorang guru, pasti bisalah.”

Kupikir-pikir, cemerlang juga ide Rahma ini. 

Dan...Tittit..tittit... nada sambung telepon genggam Rahma berdering. Rahma angkat  benda kecil itu, “Dari Anning. Ayah diam dulu!”  

“Ya...alhamdulillah. Ya, ya, Bu. Senangnya saya. Kapan....?” Rahma menjawab panggilan telepon genggamnya. 

“Yah! Alhamdulillah, Anning akhirnya menikah. Ada duda keren anak satu yang melamarnya. Sang duda tak peduli dengan latar belakang keluarga Anning. Mereka akan mengikat janji suami istri setelah lebaran haji.”

“Alhamdulillah.” 

***

Itu enam tahun silam. Bulan September 2015. Kini memasuki bulan November 2021. Namun, saran-saran yang pernah diajukan Rahma tak satu pun terlaksana. Malah sepertinya semua telah menguap. 

Semua seperti kembali biasa. Pemerintah juga masih adem ayem soal penyusutan kejahatan yang menimpa keluarga PKI. Bahkan TNI malahan bersikukuh untuk kembali menayangkan film versi Orde Soeharto, G30S/PKI. 

Hingga Anning, suatu hari main ke gubukku ini. Ia beserta suami dan Embun, gadis kecilnya, menyengaja singgah di Ungaran, seusai lawatan ke Blitar, rumah mertua.

Dari Anning pula, aku kembali termantapkan untuk bikin seminar yang diawali dengan bedah buku Memoar Pekerja Seni Pertunjukan Lekra. Menurut Anning, bedah buku ini perlu sebagai awalan, mengingat sampai hari ini stigma hantu kepada PKI dan eksponennya masih melekat erat di benak masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan masih tiarap untuk menggarap isu rehabilitasi eks tapol PKI. 

Singkat kisah, bedah buku pun tersepakati diselenggarakan di gubukku. Acara dibikin terbatas hanya untuk para alumni HMI yang domisili di kota Ungaran. Pemberitahuan telah disebar melalui media sosial facebook, Whatsaap Group, dan channel media sosial lainnya. 

Tepat pukul 20.00 acara dimulai. Sekitar 30 orang telah memadati ruangan, mayoritas alumni HMI serta beberapa tetangga kompleks perumahan termasuk ketua dan sekretaris RT. Yang bertindak sebagai pembawa acara Firman, satu dari tiga kawan karibku yang berlaku sebagai panitia penyelenggara. Rahma bertanggung jawab sebagai penyedia konsumsi. Moderator dipercayakan pada Anning, selaku korban stigma meskipun bukan alumni HMI. Pembedah buku adalah Harsono, alumni Undar Ungaran, yang kini mengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di Ungaran. Hanya sayang, si penulis buku berhalangan hadir karena sedang menangani Festival Kiri di Jakarta. 

“Alhamdulillah acara berjalan lancar ya, Yah.” bisik Rahma, sembari kami menyimak paparan Harsono. 

“Iya, Bun. Itu lihat si Anning. Meskipun di tengah para mantan aktivis. Ia tidak canggung memandu diskusi. Malah kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan seputar Gerwani dan PKI. Yang oleh teman-teman dan tetangga kita tampak sebagai wacana baru.” 

“Tepat, Yah. Untung saja ada Anning. Jadi bisa mengobati kegelisahan teman-teman atas ketidakhadiran penulis, Pak Asvin. Setidaknya testimoni Anning selaku korban bisa membawa teman-teman masuk ke dalam suasana yang tertulis dalam buku.”

Kami kembali khusyuk menikmati banyolan-banyolan segar Anning, yang menyegarkan suasana bedah buku, mengimbangi paparan Harsono yang cenderung ilmiah. 

“Itu di luar kok ada dua orang datang. Bunda sih nggak kenal. Juga bukan tetangga kita. Ayah kenal?” Rahma menyenggol lengan kiriku, da tampak gelisah dengan kedatangan dua orang asing. Berperawakan tegap, rambut pendek nyaris gundul, berjaket hitam. 

Ah ya, itu orang, yang tempo hari mengikutiku, saat malam-malam aku jalan sendirian dari Saung Kita. Ya, sesosok misterius yang bertopi ala Tino Sidin, yang cukup menggelisahkanku dalam beberapa pekan.

“Nggak! Ayah nggak kenal. Ayah akan tanyakan dulu mereka. Bunda di sini saja kalau-kalau si Firman, Lutfan, atau Munawir butuh sesuatu, Bunda bisa mengatasi.”

***

“Pak Kafha!” tanya salah satu dari kedua tamu itu.

“Ya, saya. Maaf! Bapak-bapak ini siapa dan dari mana?” mataku waspada mengawasi dua orang tak terundang ini.

“Kami dari keamanan Desa. Maaf! Ini demi kebaikan bapak sekeluarga. Tolong acara ini dihentikan sekarang juga.” Tanpa basa-basi dua orang asing itu langsung memintaku menghentikan acara bedah buku.

“Tapi, ada apa ya? Ini baru setengah jam dimulai. Nanti jam sepuluh selesai. Lagian acara ini sepengetahuan warga di kompleks perumahan. Itu Ketua RT di sini yang duduk di tengah sebelah pembicara.” Aku coba yakinkan dua orang berjaket, acara ini legal dan tidak berbahaya.

“Maaf Pak Kafha. Kami tidak bisa menjelaskan kenapa acara ini harus dihentikan. Kami belum bisa menjelaskan. Pokoknya kami diperintah Atasan untuk memberitahukan pada Pak Kafha bahwa acara di rumah Bapak ini harus berhenti. Sekali lagi ini demi kebaikan dan keselamatan keluarga Pak Kafha.”

“Oke, oke.” 

Detik selanjutnya, dua orang itu berlalu tanpa pamit. Aku mengawasi mereka hingga lenyap di tikungan gang. Ah, ternyata! Sebutannya sih reformasi, tapi isi kepala masih pola masa lalu. Aparat itu masih belum bisa move on juga.

Ungaran, 08/11/2021

Baca juga: Sesosok Misterius

Post a Comment

0 Comments