Belum Punya Mobil

 Katana

Senja. Aku duduk di teras menatap gelap langit Ungaran. Awan menggumpal dan kilat menyambar. Ya, tak bisa tidak, kami terpaksa mengurungkan bepergian ke Salatiga. Sejak tadi malam anak-anakku merengek, hari ini mesti berlibur ke Kopeng dan menginap di rumah adik iparku, Imma.

Kebetulan rumah Imma kurang lebih 10 menit dari Kopeng. Malahan bisa dikatakan, tempat tinggal adik iparku itu masuk kawasan wisata Kopeng. Salah satu tujuan wisata yang persis di lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Semarang. Namun Kawasan itu lazim disebut sebagai wilayah Salatiga, bukan Kabupaten Semarang.

Nah, Sabtu ini, aku ingin meluluskan harapan anak-anakku. Aku berencana mengajak Rahma dan anak-anak menyusuri kawasan hijau kaki Gunung Merbabu. Menikmati keindahan dan merasakan hawa dingin gunung. Namun, sepertinya Tuhan belum mengizinkan. Tepat Sampean! Cuaca tak mendukung. Pelan-pelan air hujan mencipta irama, menerpa genting rumah-rumah di kompleks. Dan, aku tak mungkin menerobos hujan sembari memboncengkan anak-istri. 

“Kita gagal ke Salatiga, Yah,” sahut istriku yang keluar dari dalam rumah sembari menenteng dua cangkir kopi. 

“Ya, Bun. Kita tak jadi menginap di rumah Imma, kayaknya.”

“Bunda yakin, Yah, Dik Imma juga kecewa. Dia sudah kangen berat sama Isa. Juga sama Rakai.”

Aku membenarkan perkataan istriku, soal kekecewaan Imma. Benar, Imma bakal kecewa. Dia sudah menganggap anak-anakku seperti anak sendiri, lantaran belum memiliki anak laki-laki. Dia hanya mendapat anugerah Tuhan seorang anak perempuan yang kini berusia delapan tahun, satu tahun di bawah sulungku, Ahimsa. 

Entah alasan apa yang aku tak memahami, dokter kandungan yang menangani Imma menyarankannya agar tak memprogram anak lagi. Rahma yang mengetahui detail alasannya. Namun dia tak bilang kepadaku. “Ini urusan dan masalah perempuan, Ayah nggak perlu tahu.” Begitulah cara Rahma memutus rasa penasaranku.     

“Ayah harus menjelaskan pula kepada anak-anak, terutama Rakai. Ayah harus bisa meyakinkannya kenapa kita tak jadi pergi.”

Senja terus merangkak. Nyanyian hujan yang tadi lamat-lamat, kini mengencang. Ya, hujan kian menderas. Hujan deras mengguyur Ungaran. Aku diam. Istriku juga ikut terdiam. Hanya tatapan mata kami yang bereaksi sama. Kami sama-sama memandang hamparan halaman rumah yang sudah tergenang air setinggi mata kaki orang dewasa.

“Andai kita punya mobil ya, Yah! Pasti deh, kita bisa mengabulkan harapan anak-anak. Kita juga bisa mengobati kerinduan Dik Imma atas Isa dan Rakai.” Rahma membuka suara.

“Ah itu terus yang Bunda omongin. Dulu saat kita naik bus ke Kebumen, Bunda juga menyinggung soal mobil. Apa kudu dengan memiliki mobil, Bunda merasa nyaman?  Apa mesti bermobil, satu-satunya jalan mengabulkan impian anak-anak?” Aku mulai sensitif. 

“Ayah marah lagi?”

“Nggak.”

“Terus kenapa nada omongan Ayah tinggi?”

“Ya, kan bersaing dengan suara hujan.” Aku asal menjawab. Sebetulnya aku tak suka, istriku mulai berpikir seperti tetangga-tetangga yang berlomba memiliki mobil. Hmmm, memang resiko kami menempati rumah di kompleks perumahan. Rata-rata rumah kecil, tetapi urusan memiliki mobil, wajib hukumnya. 

Penghuni kompleks di sini berjumlah 75 kepala keluarga. Dan, kini tinggal menyisakan lima keluarga yang rumahnya belum  bergarasi dan tak bermobil: Budiono, Yayuk, Sholeh, Markus, dan aku. Budiono adalah pensiunan tentara, kini berusia 57 tahun. Yayuk adalah janda berusia 46 tahun dan memiliki tiga anak: dua perempuan, satu laki-laki. Suaminya belum lama meninggal dunia akibat sakit gula dan darah tinggi. Sementara Sholeh berusia 40 tahun, tukang bengkel sepeda motor. Istrinya, Anik, karyawan tata usaha (TU) SD Islam Terpadu Assalam, Ungaran. Adapun Markus, seusia aku. Dia dan istrinya, Dora, sama-sama karyawan pabrik garmen, Ungaran Sari Garmen.

“Ayah jangan marah! Tadi itu kan pengandaian. Bunda nggak serius....”

“Ya, kalau nggak serius, kenapa diulang-ulang?” Aku memotong omongan Rahma.

“Jujur! Ayah beneran tak ingin memiliki mobil?”

“Nggak!” Aku menjawab singkat.

“Ya, kalau Bunda realistis saja. Dengan mobil, kita bisa ke mana saja tanpa halangan panas dan hujan. Kita bisa ajak anak-anak mengitari Kota Semarang atau berlibur ke rumah Eyang tanpa rasa was-was mereka bakal mengantuk. Nah, enak kan?”

“Begini lho, Bun. Berulang kali Ayah tegaskan. Ayah itu tidak antimobil. Tidak! Namun ini berkaitan dengan pilihan. Ayah memilih langkah tak bermobil, supaya kita tak menambah kepadatan di jalan raya. Beban negara kita sudah berat, maka jangan ikut menambahi masalah.”

“Ya, kalau masalah itu kan sudah menjadi kewajiban pemerintah selaku pelayan rakyat. Kenapa kita mesti ikut repot menanggung beban tugas pemerintah?”

“Benar. Bunda tidak keliru. Masalah kepadatan lalu lintas di jalan memang menjadi tugas pemerintah. Namun rasanya tak salah pula, kita memutuskan untuk tak menambahi keruwetan transportasi.”

“Dengan mengurangi jatah waktu berlibur? Dengan mengubur impian anak-anak? Begitu maksud Ayah?”

“Bunda jangan berpikir sempit! Bukan mengurangi. Bukan pula mengubur impian. Melainkan mengelola. Kita mengatur waktu yang tepat.”

“Terserah istilah Ayah. Mau mengatur, mengelola atau apalah! Yang jelas sore ini kita gagal ke rumah Dik Imma. Titik.”

“Lho ya jangan main titik begitu! Itu namanya keras kepala. Bunda tak siap beradu argumen dengan Ayah. Itu juga tak baik buat anak-anak lho! Coba bayangkan kalau Isa mendengar lantas omong: ‘Ih Bundaku ternyata kepala batu. Tak mau mendengar penjelasan.’ Bagaimana rasanya? Sakit kan?”

“Ya, Bunda kalah.”

“Lho, ini bukan kalah-menang. Ini bukan kompetisi. Bagaimana sih, Bunda? Kalau diajak omong mesti ujungnya begitu? Memang repot!”

“Ya, ya, Bunda salah.”

“Malah mengaku salah. Bukan salah-benar, melainkan kita sedang mencari formula yang tepat. Kita sedang membicarakan ranah kepatutan. Ranah kepantasan.”

“Ah, mbuhlah. Susah omong sama Ayah.”

“Ya, sudah. Ayah lanjutin saja dulu.” Aku menatap wajah istriku yang masih kelihatan muram. “Begini, Bunda. Selain kita niatkan untuk tak menambah ruwet suasana jalan raya, dengan tak mempunyai mobil, sama artinya kita turut meringankan beban tetangga yang kekurangan.  Sekarang Ayah tanya ke Bunda: bagaimana perasaan Bunda ketika melihat tetangga depan rumah  memiliki mesin cuci atau pasang alat pendingin ruangan? Sementara kita belum punya. Kita belum memasang alat pendingin.”    

“Ya, jengkel.”

“Bagaimana perasaan Bunda, ketika Mbak Dian menceritakan karir suaminya yang melejit. Gajinya tak habis buat tujuh turunan. Malahan bisa untuk membeli Gunung Ungaran? Sementara suami Bunda ini tak berkarir, tak berpenghasilan tetap.”

“Ya, tak keruan.”

“Begitulah Bunda. Kira-kira begitulah perasaan tetangga-tetangga kita yang belum memiliki mobil. Perasaan mereka menjadi tak keruan, jika kita mempunyai mobil. Jadi pilihan kita tak memiliki mobil itu adalah membantu perasaan senasib pada tetangga yang di bawah.”

“Ya, tapi kan menyiksa diri?”

“Bukan penyiksaan kalau kita tempuh sebagai pilihan.” Aku langsung menyahut. “Persis pula dengan Kanjeng Nabi Muhammad yang menyatakan diri sebagai bapak kaum yatim. Beliau memilih kemiskinan sebagai jalan hidup. Karena beliau tak ingin melihat umatnya silau pada kemewahan. Beliau ingin menenangkan perasaan umatnya yang mayoritas kaum papa, kaum miskin, dan para budak. Beliau tak ingin menambah rasa duka dalam diri umat ketika berhadapan dengan para pemilik modal atau saudagar Quraisy.”

“Maksud Ayah ingin meniru pilihan hidup nabi?”

“Ya, kenapa tidak. He-he-he....”

Hampir setengah jam kami berbincang di teras. Dan, hujan pun tak kunjung mereda. Bungsuku, Rakai, keluar dari ruangan dalam.  Dia turut bergabung di teras, menikmati senja yang sedang diguyur hujan. 

“Kakak Isa lagi ngapain, Dik?” tanya istriku.

“Tidur.” Jawab Rakai.

“Adik nggak ikut bobok?” Aku bertanya.

“Menunggu Bulik Imma?” Sahut Rakai.

“Lho, kita kan nggak jadi pergi ke tempat Bulik Imma?” Istriku menjelaskan. “ Tuh, lihat hujan deras sekali. Kalau Adik kehujanan, nanti sakit. Ayah juga. Bunda dan Kakak Isa juga. Kita semua bisa sakit karena air hujan.”

Rakai diam dan duduknya kini merapat pada istriku. Aku memegang kepala Rakai. Aku belai rambut kritingnya. Dan, dia masih terdiam. Kemudian, “Ayah, Bunda! Bulik Imma nanti ke sini bersama Hana dan Om Yoga.” Lagi-lagi Rakai omong, tetapi kami belum memahami maksudnya. 

“Adik, Bulik Imma itu nggak ke sini. Kita yang mau ke sana.” Istriku dengan sabar menjelaskan pada Rakai. 

“Dik Hana ke sini. Bulik Imma ke sini. Om Yoga ....”

Tiba-tiba sepeda motor meluncur dari arah barat dan berhenti persis di depan rumahku. Belum jelas siapa pengendara dan dua orang di belakangnya. Mereka memakai jas hujan yang menutup rapat sekujur  badan. Dua orang dewasa dan satu anak kecil menyelip di tengah. Mereka memakai helm, menutupi muka.

“Ealah Dik Imma!” Teriak istriku ketika si pembonceng membuka kaca helm dan turun dari sepeda motor sambil menggedong anak perempuan. Ya, Hana, anak semata wayang Imma dan Yoga.

Aku masih tertegun dengan kehadiran mereka. Aku belum mengerti darimana Rakai mengetahui  kedatangan Imma dan keluarganya. Rakai! Hmmm, Rakai.  

***

Pukul 20.00. Kami duduk melingkari sajian makan malam di ruangan dalam. Isa dan Hana, duluan mengambil nasi dan menuang sayur lodeh di atas piring masing-masing. Rahma menyiapkan makan untuk Rakai sekaligus buat dirinya. Imma mengambilkan buat Yoga. Giliran aku yang terakhir.

“Saya masih kaget lo, kalian ke sini. Kemarin malam kan saya telepon Dik Imma, kalau Sabtu sore kami akan ke Salatiga. Dan, sebagaimana kalian ketahui, kami tak jadi berangkat karena tadi sore hujan deras. Eh, malahan kalian yang ke sini.” Rahma membuka omongan.

“Ya, Mbak. Memang kami sengaja mendahului kalian. Sebelum kalian ke Salatiga, kami mesti sampai di sini terlebih dahulu. Dan, alhamdulillah tadi sore hujan deras. Kami tahu, kalian tak mungkin berani membawa anak-anak dalam kondisi hujan.” Timpal Yoga.

“Mbak Rahma, Mas Kafha, langsung saja ya!” Sahut Imma. “Tetangga rumah kami itu lagi kena musibah. Anak bungsunya sedang rawat inap di rumah sakit. Butuh biaya banyak. Mereka sudah tak punya apa-apa lagi untuk biaya rumah sakit, selain rumah, mobil dan dua sepeda motor. Lah, mereka ingin menjual mobil. Murah kok, Mas. Murah, Mbak. Mereka hanya minta Rp 50.000.000,00. Padahal masih terhitung baru. Baru setahun.”

“Bagaimana ya, Dik Imma! Tabungan kami belum mencukupi kalau harus tunai.” Sambung Rahma.

“Kami juga, Mbak. Makanya kami ke sini.” Kata Imma. “Ya, kita bisa patungan. Iuran separuh-separuh. Bagaimana?”

Rahma menyenggol lengan kiriku. Aku tahu isi pikirannya. Apalagi mendapat dukungan Imma dan Yoga. Atas nama kemanusiaan lagi. Aku terdiam.

Ungaran, 10 Mei 2016: 14.09

Baca juga: Sosok Misterius

Post a Comment

0 Comments