Dari Semirang dan Anjuran Charlotte

Kegiatan penjurnalan CM

Ketika catatan ini ditulis, di tengah impitan membantu istri merampungkan penilaian K 13-nya. Lumayan ribet. Syahdan saya merasai dua pola pendidikan yang berbeda, untuk tak mengatakan berseberangan. Yang satu ini, sebagai lahan karir Rahma, sangat jelimet di angka-angka. Sementara, di kutub yang berbeda saya menjalani metode Charlotte Mason untuk sang bungsu, tak mengenal angka sebagai tanda penilaian proses belajar.

Adalah Kamis pagi, 13 Desember 2018, segera setelah para keluarga praktisi Charlotte Mason (CM) tiba di Semirang,  berkumpul di pendopo, Ellen memulai nature study. Persisnya dimulai pukul 09.00.

“Hari ini mengamati cokelat.” seru Ellen pada Vima, Naila, Gandhi, Kenzi, Isa, Stephen, Claresco, Rakai, dan beberapa lagi yang lain—sampai saya tak hafal satu per satu. “Coba semua duduk dan tutup mata! Siapa yang sudah bisa membayangkan pohon cokelat?”

Sontak anak-anak itu memejamkan mata. Lantas satu dua anak mencoba mendeskripsikannya.

Kemudian Ellen menginstruksikan anak-anak itu mengamati langsung pohon cokelat, yang tumbuh subur di pojok kanan pendopo. Tak begitu tinggi, ya, antara 5-6 meter saja. Buahnya berwarna kuning, hijau, dan ungu bergantungan di batang. Buah cokelat berbentuk lonjong, pajang sekitar 15-an centimeter.

“Tadi yang dilihat, cokelatnya ada berapa?” tanya Ellen. Dan para putri dan pengeran itu pun bersahutan. 

Ellen menguji lagi kecermatan mereka: “Coba jelaskan, buah cokelat keluarnya dari bagian mana pohon?”

“Bataaaang...!” serempak mereka menjawab.

Oleh karenanya, jelas Ellen kemudian, “saat mengambil cokelat nggak boleh sampai batangnya, sebab di tempat keluarnya buah itu bisa keluar lagi.”

Selanjutnya, mereka semua, baik anak-anak maupun mak-mak dan bapak, terlibat pengamatan secara mendalam. Mula-mula sebuah cokelat dibelah menjadi dua bagian. Diukur ketebalan kulitnya dengan penggaris. Mengoles-oles pulp atau daging buah. Menghitung biji yang masih dilapisi oleh lendir putih dan merasainya, konon berasa manis seperti sirsak. 

Seusai mengamati, anak-anak mencatatkannya di buku jurnal mereka masing-masing. Sebagian mak mendampingi buah hati yang masih di usia prastruktur, memegangkan dan menjelaskan ulang buah cokelat. Pun para bapak, kembali asyik mengobrolkan kopi dan variannya.  

Dan nyaris pukul 10.00 penjurnalan selesai. Kemudian Tiur masuk, sebagai penutup nature study, ke atmosfer anak-anak itu. Ia menjelaskan proses pengolahan cokelat. “Tahap pertama adalah fermentasi biji,” katanya. Fermentasi dilakukan untuk melepaskan pulp dengan meletakkan biji-biji ke dalam kotak kayu yang berlubang. Kotak kayu tersebut ditutup karung. Tahap berikutnya adalah pengeringan, dimaksudkan untuk mendapatkan cita rasa dan kualitas mutu cokelat. 

Lantas sebagaimana biasa, setelah penjurnalan, anak-anak bebas bermain. Ada yang langsung menuju sungai kecil dekat pendopo, terutama balita. Anak laki-laki mengambil peran lebih ekstrem, berloncat-loncatan di atas jembatan kayu gantung setinggi  5-6 meter yang melintas antar dua pohon pinus. Berkali-kali saya menghindari tatapan langsung ke mereka. Bikin miris, deg-degan. 

Jembatan gantung

Memang anak-anak itu seakan tanpa rasa takut, bermain begitu saja tiada mempertimbangkan risiko. Sedang anak-anak perempuan, asyik melanjutkan obrolan di pendopo. Pun begitu para orangtua, melenakan diri dalam kesenangan masing-masing. Merumpikan rencana temu praktisi Charlotte Mason. Turut serta berbasahan di sungai. Dan mengomentari pernak-pernik, juga renik binatang serta bermacam kupu yang anteng di dahan atau beterbangan rendah. Termasuk pula, yang diam-diam menangkap dengan lensa kamera seraya meributkan perbedaan kodok dan katak. 

Begitulah. Akhirnya menjelang tengah hari mereka cabut dari tempat itu, wahana Semirang. Memang, apa yang mereka lakukan di sana itu kelihatan sederhana saja. Hanya bermain, mengisi waktu senggang. Ya, kelihatannya sederhana dan tak berkaitan dengan proses pendidikan. Hanya mengobrolkan sesuatu yang (selintas) biasa.Terlebih-lebih ditilik dari sudut pandang pendidikan berbasis utilitarian, jelas sangat tak bermanfaat alias hanyalah kesia-siaan. Teramat remeh.

Bermain air sungai

Ah, padahal di balik semua aktivitas kawan-kawan praktisi Charlotte Mason itu, tiada lain adalah upaya peneguhan relasi: Tuhan, sesama, dan alam. Sesuatu yang justru luput dari perhatian akidah modern. 

Akidah modern lebih sering berhenti di pelataran akalbudi dan tubuh saja. Hanya sesekali mengetuk bilik afeksi dan kehendak. Bertemu dengan urusan-urusan harian, suka tak suka, senang, bahagia, selera, cita-cita dan seterusnya. Namun jarang menyentuh bilik mahakudus atau jiwa. Masuk ke ranah spiritual. Berhubungan dengan Sang Tak Terbatas.

Guru-guru di sekolah modern sekadar pentransfer keterangan-keterangan, tapi tidak sampai mengolahrasakan pengetahuan. Tidak sempat mendarahdagingkan dalam batin yang mewujud sebagai laku sehari-hari. Apalagi tentang spiritual, tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta. 

Lain dengan pola pesantren, misalnya, yang rada dekat dengan metode Charlotte Mason. Posisi guru atau kiai masih signifikan dalam olah rasa dan batin. Sehingga acap ditemui, seorang santri akan sungkan, malu ketika bertemu langsung dengan kiai. Santri akan memilih menghindar saat berpapasan. Ya, budaya rikuh (istilah dalam bahasa Jawa). Santri menghormati otoritas kiai. 

Suatu kehormatan bagi seorang santri jika tertunjuk menjadi abdi dalem kiai. Memang ia secara pengetahuan bisa jadi kurang, karena kesempatan untuk belajar mendalami pengetahuan agama menjadi sedikit. Namun, lantaran saban hari mencicip keseharian dan kebiasaan kiai—menyiapkan makan, menyapu rumah, melayani tamu, dan sebagainya—transfer pengetahuan terlebih budi pekerti diperoleh langsung dari obrolan bersama sang kiai. Ia memperoleh pemahaman yang berlipat, lantaran ngalap berkah, mencari berkah  berupa tambahan kebaikan, atau pendalaman agama. 

Dari situ, hubungan intim dengan Tuhan terbangun dari penghayatan ngalap berkah. Bahwa pemilik “berkah” yang sesungguhnya adalah Tuhan. Dan Ia menitipkannya kepada para kekasih-Nya. Itulah kenapa Gandhi, dalam biografinya, mengatakan bahwa “pendidikan spiritual itu ya dengan cara bertemu spiritualis.”

Nah, anjuran Charlotte, spirit anak sedianya kita pertemukan dengan spirit para maestro yang tertuang dalam living books. Bahwa pengetahuan tentang Tuhan, menjalin hubungan intim dengan-Nya, bahwa pengetahuan tentang sesama, juga penghayatan akan alam, dipasok lewat buku-buku yang menghidupkan benak. Yang mencerahkan. 

Spirit ketuhanan, anak harus terbiasa membaca sendiri kitab suci. Atau mendengarkan pembacaan kitab suci secara langsung dari kita, dari guru, dari kiai, entah di masjid, di surau, atau di rumah, tanpa terjejali oleh bertele-tele penjelasan maksud kandungan kitab tersebut. Anak-anak sanggup merekam isi kandungan, meski tak sepenuhnya paham. Kelak, seiring waktu dan bahan bacaan yang meluas, mereka akan sanggup menyingkapnya. Kita tidak perlu menjelaskan selagi tak ada pertanyaan, itu prinsipnya. 

Ungaran, 20/11/2021

Baca juga: Nature Walk

Post a Comment

0 Comments