Dari beberapa syarah yang saya baca, ada istilah menarik: bodoh basith dan bodoh murakkab. Bodoh basith adalah bodoh yang sadar bodohnya. Yakni orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sedang bodoh murakkab adalah bodoh yang tidak sadar bodohnya alias bodoh akut. Ia tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu.
Syekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan, “Sempurnalah kebodohan seseorang yang menginginkan terjadinya sesuatu pada saat Allah tidak menghendakinya.”Hal ini mengingatkan pada hikmah awal tentang maqam tajrid dan maqam asbab. Sang syekh mengungkapkan, “Keinginanmu untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yang tersamar. Dan keinginanmu untuk masuk ke dalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan mundur dari tekad luhur.”
Dalam meditasi hikam kali ini, Syekh Ibnu ‘Athaillah lebih vulgar menyebut bahwa orang yang demikian sebagai kebodohan. Karena telah menunjukkan betapa ia tidak berlaku sopan kepada Tuhan, sang majikan utama, yaitu menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya. Bahwa dinamika di muka bumi ini ada masanya, dan orang yang menuntut sesuatu terjadi atau hendak dikerjakannya, padahal Allah belum menetapkan, atau belum menempatkannya di maqam-nya, sama saja dengan menyalahi hukum waktu. Padahal Allah pemilik sejati waktu, dan agama dihadirkan supaya kita bisa seturut waktu, sanggup menapaki dimensi proses.
Sehingga, bisa dikatakan betapa bodoh murakkab, orang-orang yang menginginkan sesuatu terjadi pada saat Allah tidak menghendaki. Ia tidak beretika dalam menghamba, tidak tahu diri kepada Tuhan.
Syekh Ibnu ‘Athaillah melanjutkan, “Janganlah meminta kepada Allah untuk memindahkanmu pada kondisi yang lain. Sekiranya menghendaki yang demikian, niscaya Dia telah mempekerjakanmu di situ tanpa proses pemindahan.”
Nyatalah, kondisi apa pun yang kini kita alami, yakinlah, inilah kondisi yang terbaik yang dikehendaki Allah. Tiada yang pas untuk saat ini, kecuali memang keadaan diri kita saat ini. Maka, jangan remehkan keadaan kini. Jangan berpikir untuk berpindah haluan.
“Tuhanmu yang menciptakan sesuai dengan kehendak dan pilihan-Nya.” (Al-Qashash: 68). Dan, “Kamu tidak akan memperoleh keinginanmu, kecuali bila Allah menghendaki. Allah sungguh Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.” (Al-Insan: 30).
Kenapa kita gampang tebersit untuk berpindah maqam? Ya, karena ada angan-angan. Karena ada nafsu yang menginginkan yang lain. Tatkala kita masih membujang, berangan-angan pengin menikah. Tatkala miskin berangan-angan menjadi orang kaya. Tatkala tengah menetap di suatu daerah, berangan-angan bisa bepergian atau pindah tempat. Dan terus begitu, betapa angan-angan tidak akan pernah bosan membonceng pada kesadaran.
Sayyidina Ali, sebagaimana dikutib Syekh Ibnu Ajibah, berkata, “Di antara ciri seorang wali paripurna adalah dia tidak membutuhkan sesuatu pun selain apa yang telah ditetapkan oleh Tuhannya di waktu itu.”
Kemudian Syekh Ibnu ‘Athaillah melanjutkan untaian meditasi, “Menunda beramal shalih guna menunggu saat leluasa adalah termasuk kebodohan diri.”
Untaian kata ini serasa menjadi kunci untuk menangkal kebodohan murakkab, atau guna membendung banjir bandang angan-angan yang acap menjebol nalar sehat.
Dan untuk memudahkan makna untaian sang imam, kita bisa merujuk kembali kepada sabda Nabi Saw., “Ingatlah, di antara ciri orang yang berakal adalah berpaling dari tempat yang penuh tipudaya dan beralih ke tempat kekekalan serta berbekal untuk hunian di alam kubur dan siap-siap untuk hari kebangkitan.”
Juga sabda Beliau Saw., “Orang pintar adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang tolol adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan banyak berangan-angan.”
Begitu jelas. Jadi kita bisa bertanya ulang kepada diri, apa jaminannya kita akan sampai pada sekian waktu, sehingga berani-beraninya kita menangguhkan untuk beramal shalih. Yakinkah masih ada esok, sehingga hari ini kita tidak perlu serius-serius bermunajat kepada Allah, belum perlu menafakuri ciptaan Yang Mahabesar. Yakinkah?
Padahal, siapa manusia di muka bumi ini yang mengetahui benar rahasia waktu, selain Allah? Sampai Dia mengingatkan, “Demi masa. Sungguh manusia pasti akan rugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, serta saling berwasiat untuk berpegang teguh pada kebenaran dan berwasiat untuk berlaku sabar.” (Al- ‘Ashr: 1-3).
Maka tepat kiranya, sang syekh menyebut sebuah kebodohan jika sampai menunda beramal shalih. Karena lebih memilih kerugian daripada keberuntungan.
Akhirnya, sebagai penutup meditasi ini, saya menukil sabda Rasulullah Saw., “Ada dua nikmat, banyak orang yang tertipu karenanya, yaitu sehat dan waktu luang.”
Begitu.
Ungaran, 09/11/2021
Baca juga: Tiada Penghalang
0 Comments