Ingin Handphone

 Ingin Handphone

“Bun, Isa kepingin HP!” rajuk Ahimsa kepada Rahma, ibundanya.

“Buat apa, Nak?” tanya Rahma.

“Teman-teman Isa sudah pada punya HP, Bun. Tinggal Isa saja yang belum memiliki. Beneran, Bun, hanya Isa yang belum!” 

“Ya udah nanti Bunda ngomong lagi ke Ayah. Ayo, siap-siap, udah setengah tujuh tuh!”

Begitulah Ahimsa. Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah kembali mengajukan permintaan pada sang Bunda. Oh ya perlu kalian ketahui tentang teman kita ini. Ya, Ahimsa namanya. Ia duduk di kelas 4 SD Assalam, salah satu sekolah swasta favorit Kota Ungaran, yang biasa disapa Isa. Ia beserta adik dan kedua orangtuanya tinggal di kompleks perumahan pinggiran Kota Ungaran. Lebih tepatnya di Desa Lerep yang berbatasan dengan Kota Semarang. Adiknya, Rakai, berusia 6 tahun dan belum sekolah (dan memang akhirnya tidak sekolah hingga usia setara kelas 6).  

Pagi itu, lagi-lagi ia merayu bundanya untuk membelikan handphone. Ia ingin seperti teman-teman sekelasnya yang mayoritas memiliki telepon genggam. Ia membayangkan betapa asyik mempunyai benda mungil yang multifungsi tersebut. Coba kalian bayangkan! Barang kecil tapi bisa digunakan untuk bermain game, memotret keelokan Gunung Ungaran, mengirim pesan singkat, dan mendengar suara nenek yang nun jauh di desa. Nah, asyik kan!

Sampai sejauh ini kedua orangtua Ahimsa belum ada gelagat bakal meluluskan harapannya. Mereka memandang belum saatnya, sang sulung menggenggam handphone. Benar, masih terlampau dini. Anak seusia Ahimsa, dalam benak ayah dan bunda, belum waktunya larut dalam rutinitas game dan berlalu lalang di media sosial. Tangan mungilnya mesti sibuk dengan pensil, ballpoint, dan atau buku bacaan, bukan malahan rajin menekan atau menyentuh layar HP.

Namun, lain orangtua lain Ahimsa. Ia merasa sudah saatnya memiliki benda ajaib itu sebagaimana rekan-rekan sebayanya. Dan, ia pantang menyerah. Kapan ada kesempatan ia terus memohon kepada bundanya, terutama saat sarapan pagi. Ia belum berani mengutarakan keinginan itu pada sang ayah. Ia masih gamang. 

“Isa!” suara Rahma dari teras. “Sudah jam tujuh kurang seperempat, Sayang!”

Tergopoh-gopoh Ahimsa keluar dari ruangan dalam. Tangan kiri pegang kaus kaki, sedang tangan kanannya membetulkan ikat pinggang yang belum sempurna terpasang pada tempatnya. Ia juga memanggul tas ransel yang belum sepenuhnya diritsleting. 

Rahma menoleh sekilas dan geleng-geleng melihat keadaan Ahimsa.

“Udah pamit Ayah belum?”

“Ayah masih di kamar mandi, Bun.”

“Ya, bilang dululah!” seru Rahma. “Jangan lupa sekalian pamit dengan Dik Rakai!” 

Ahimsa balik badan masuk ke ruangan dalam untuk berpamitan. Dan, tak lebih dari semenit, ia kembali keluar dari ruangan dalam menghampiri Rahma. 

“Udah?” tanya Rahma

Ahimsa hanya mengangguk. Ia terus saja naik sepeda motor di belakang bundanya yang sudah siap tancap gas sejak seperempat jam yang lalu.

“Isa nggak lupa pamit Adik kan?”

“Lupa sih nggak, Bun. Cuma Dik Rakai masih tidur,” sahut Ahimsa.

Rahma geleng-geleng sembari melajukan sepeda motor, keluar dari pekarangan rumah. “Hmmm...kakak-adik sama saja. Sama-sama bikin gemes!” batin perempuan berjilbab itu.

***

Cahaya kuning matahari pelan-pelan melesat ke barat. Membias pada gedung-gedung tinggi sekolah Assalam. Cahaya keemasan itu membias pula di antara awan gemawan yang terlukis indah di langit. 

Ahimsa berjalan gontai keluar dari ruang kelas. Seperti teman-teman sekelasnya yang satu per satu bersalaman dengan Bu Eva, guru kelasnya, Ahimsa pun mencium tangan ibu guru sebelum akhirnya berpapasan dengan pintu ruang kelas. 

Yardan, teman satu kelas sekaligus karib sepermainan di kompleks perumahan, menjajarinya menuju pintu gerbang sekolah. “Sa, besok Sabtu kita berangkat bareng ya!”

“Emang ada apa?” sahut Ahimsa.

“Lo, kamu nggak ingat pengumuman Pak Mahzum kemarin?”

“Festival Rebana di Pendapa Bupati?” 

“Iya. Bapakku akan meliput acara itu. Jadi kita bisa boncengan bareng ke sana.”

 Ahimsa mengulas senyum dan mengangguk. Mereka berpisah setiba di pelataran parkir.

***

Riuh anak-anak kelas IV memenuhi ruangan pendapa Bupati yang persis berhadapan dengan Masjid Agung Kabupaten Semarang, Masjid Al-Mabrur. Mereka berpakaian bebas karena hari Sabtu memang bukan jam pelajaran di sekolah. Pembelajaran di SD Assalam hanya berlangsung Senin sampai Jumat. Sehingga Ahimsa dan teman-teman satu sekolahannya bisa menikmati dua hari libur, Sabtu dan Minggu. 

Tepat cahaya matahari menyusup di antara pilar pendapa, acara Festival dimulai. Pak Mundjirin, Bupati Semarang membuka acara rutin tahunan tersebut. Tahun ini peserta festival diikuti oleh 19 SD perwakilan kecamatan se-Kabupaten Semarang. Dan, SD Assalam, sembilan dari sebelas pesertanya adalah kelas IV, mewakili Kecamatan Ungaran Barat.

Ahimsa duduk bersebelahan dengan Yardan dan Noval di belakang sudut kiri pendapa. Hadir pula Bu Eva dan Pak Mahzum yang duduk di tengah di antara para guru pendamping peserta festival. Di depan, lebih tepat di atas panggung, Pak Mundjirin sedang berpidato di belakang mimbar. 

Keriuhan teman-teman Ahimsa sudah menghilang. Mereka larut dalam mendengar paparan Pak Mundjirin. Eh, tidak, tidak! Mereka tidak sedang khusyuk memperhatikan pidato Bupati itu. Sebetulnya mereka sedang menyuntuki sesuatu yang membuat Ahimsa sedih. Benar, mereka tenggelam bermain game online. Dan, Ahimsa hanya bisa mengamati dengan pandangan kecut. Hanya dia dan Noval juga sebelas temannya yang menjadi peserta festival yang tidak sedang memainkan jemari mereka di atas layar ponsel. 

Pak Mundjirin selesai menabuh gong pembukaan Festival Rebana. Hadirin bertepuk tangan. Tak terkecuali Ahimsa dan Noval pun turut bertepuk tangan. Namun, teman-temannya yang lain? Ya, mereka membisu. Tangan mereka belum tergerak untuk mengikuti gemuruh tepuk tangan seluruh yang hadir. Pak Mahzum, selaku Kepala Sekolah SD Assalam, tampak membisikkan perintah semi mengancam atas nama kesopanan agar anak-anak kelas IV ikut bertepuk tangan. Namun, terlambat! Benar, perintah yang terlambat. Gemuruh tepuk tangan mengusai, tapi teman-teman Ahimsa itu masih keasyikan dengan HP masing-masing. Ahimsa sempat melihat raut muka Pak Mahzum dan Bu Eva memerah. Sepasang mata Kepala Sekolah yang menyorot tajam, kemungkinan memendam amarah dan rasa malu sekaligus.  

***

Keluarga

Assalamualaikum,” seru Ahimsa sebelum melanjutkan langkah memasuki ruang tamu rumahnya. 

Wa’alaikumsalam,” sahut Rahma yang beriringan dengan Kafha dari ruang dalam menyambut Ahimsa. “Alhamdulillah kamu udah pulang, Sayang. Bunda ada kabar gembira nih buat kamu. Tadi Ayah dan Bunda ke toko HP...”

“Nggak, Bun!” tukas Ahimsa setelah mencium tangan Rahma dan Kafha. “Isa nggak jadi pengin HP. Isa dibeliin buku komik aja!”

"Beneran nih Kakak nggak jadi pengin HP?  Kalau gitu buat Adik aja!" Rakai menimpal dari kamarnya.

Sang Bunda pun melongo. Sang ayah pula.

Ungaran, 11/03/2017: 03.17 dan 12/11/2021

Baca juga: Makanan Ruhani

Post a Comment

0 Comments