Makanan Ruhani

 Suasana Ngaji Hikam

Pagi ini, masih jelas terbayang di benakku, laki-laki itu telah bikin orang-orang di sekitar Ka’bah yang mendengar lantunan syairnya mendadak terharu. Hati mereka langsung tersayat-sayat. Bagaimana tidak? Bayangkan, sembari bertawaf ia terus bersenandung:

Aku berbaju selimutku seperti yang Engkau lihat.
Dan putriku menangis (kelaparan) seperti yang Engkau lihat
Dan istriku telanjang seperti yang Engkau lihat
Wahai Dzat yang melihat  apa yang terjadi, tapi yang tak terlihat
Tidakkah Engkau melihat apa yang ada di hatiku, tidakkah Engkau melihat?
Tidakkah Engkau melihat apa yang terjadi pada kami, tidakkah Engkau melihat

Benar-benar sebuah syair yang menyentuh hati. Aku miris mendengar kisah itu dituturkan Yai Guru. Dan singkat kisah, orang-orang di sekitar lelaki itu tidak tega. lantas mengumpulkan sisa-sisa makan buat mengurangi derita si lelaki fakir. 

Namun, alih-alih diterima, laki-laki itu justru meminta mereka menjauh. 

“Maaf aku tidak bisa menerima. Aku mustahil bisa sekhusyuk ini, jika aku masih merasa memiliki sesuatu. 
Biarkan aku seperti ini, dan Allah pasti Mahatahu. Walau aku tak akan pernah tahu bahwa aku termasuk orang yang dicintai-Nya atau tidak. 
Biarkan aku begini, wahai saudara-saudaraku. Sebab yang terpenting bagiku, aku bisa semakin merasa hina di hadapan-Nya.” 

Ya, laki-laki itu. Pribadi yang telah sanggup menghadirkan Tuhan di kondisi fakirnya. Nah, pagi ini, cuaca Ungaran mendung. Sehingga sisa dingin malam belum benar-benar hilang. Aku terpekur memandangi awan putih, sembari terus mengingat uraian hikmah Yai Guru semalam. Istriku, Rahma, masih asyik menyiapkan menu sarapan. Berkali-kali kudengar kran air dinyalakan, pertanda Rahma tengah mencuci gelas-piring. Artinya, sebentar lagi urusan perdapuran selesai. Sementara Rakai kembali lelap, setelah ikut subuhan berikut ngobrol-ngobrol sebentar denganku menyiapkan materi belajarnya hari ini.

Penjelasan Yai Guru semalam, tentang kefakiran, sungguh mengoyak kemapanan religiusitas kami. Aku dan Rahma tak henti mengobrolkannya sepanjang perjalanan dari kompleks pondok tempat kediaman Yai Guru hingga pintu gapura Mapagan Ungaran pada dini hari tadi. 

“Masih membayang yang semalam pasti,” sapa Rahma sambiil membawa secangkir kopi, dan kemudian turut duduk selonjor di sebelahku.

“Bunda juga kan?”

Rahma tak menyahut, tapi ikut mendongak ke atas, memandang awan putih. 

“Datangnya kefakiran adalah hari raya bagi para murid.” ucap Rahma mengutip kalimat hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah.

“Lha yang itu, Bun, makalah Syekh Ibnu ‘Athaillah itu yang bikin Ayah geregetan.”

“Kok geregetan?” tanya Rahma.

“Ya, nggak tahulah, Bun. Kayaknya Ayah kok nggak siap. Apalagi kalau mengingat gambaran sosok lelaki yang bersenandung mengitari Ka’bah itu. Tambah rusuh hati Ayah.”

“Waktu sudah terlambat untuk tidak memikirkan makalah itu, Yah. Kita sudah telanjur mendengar. Turut menyimak uraian penjelasannya semalam. Lebih baik kita lakukan sebisanya selagi hidup. Sebisanya yang kita pahami.” tutur Rahma bersemangat.

Aku tidak membantahnya. Tapi, aku juga tak begitu yakin akan tidak menggerutu dengan keadaan kami sekarang ini. Keadaan yang bisa dibilang selaras dengan untaian hikmah Syek Ibnu ‘Athaillah. Keadaan yang masih susah, masih pas-pasan. Masih jauh dari kata kaya. 

“Tapi, Yah, akan asyik juga lo, misal kita bisa beriang gembira menikmati keadaan. Jadi kalau Bunda kok malah berasa ngeh banget dengan penjelasan Yai Sholah semalam. Kefakiran itu justru hari raya. Rasa butuh kepada Tuhan justru yang seharusnya selalu kita terbitkan, dan kita harirayakan. Toh memang, rasa butuh itu kan sifat asli kita. Tidak lain. Maka, kenapa tidak kita hayati saja yang serba ngepas ini dengan rasa penuh senang. Penuh gembira.” 

Lagi-lagi aku tidak membantahnya. Tapi aku juga tidak yakin bisa menempuhnya. Tidak gampang yang demikian itu, terlebih kini kami tinggal di kompleks perumahan. Di mana segala gaya hidup mewah tersaji nyata dan jelas di depan mata. 

“Bunda siap?” tantang aku.

“Siap tak siap ta, Yah. Lagian kenapa pula kita mesti menuntut hal-hal yang tidak ada sekarang? Kenapa kita mesti membandingkan kekayaan kita dengan kekayaan tetangga? Kenapa kita terjebak pandangan sukses itu dengan ukuran banyaknya perabot rumah yang dimiliki? Kenapa kok …,” katanya tak tuntas, dan ia menunduk ke lantai. Kedua telapak tangannya memijit-mijit pahanya.

Aku mencecap pelan kopi bikinan Rahma. Ingin berlama-lama menikmati pahitnya, sebagaimana hidup kaum bawah ini, yang tak kunjung datang kesempatan untuk menaiki tangga sosial. Pagi masih terasa dingin. Dan Rahma pun masih menunduk. Aku jadi kikuk sendiri. Entah, ia larut oleh kata-katanya sendiri, atau gusar mencoba memahamiku. 

“Bunda kenapa?” aku coba tanya balik, buat mengenyahkan kebekuan.

“Nggak apa-apa.” Ia tatap mataku, sangat lekat. “Hidup manusia itu pendek, Yah. Harapan akan ini dan itu yang sifatnya duniawi adalah serakah. Bunda sih tidak menyalahkan Ayah atau tetangga-tetangga yang berharap hidup abadi dengan gemerlap dunia. Cuma buat diri Bunda, Bunda ingin cukupkan dengan yang ada.”      

Tenteram juga mendengar penuturannya. Tapi, bagaimana pun juga ia adalah istriku. Aku suaminya, yang sedianya mengantar dia ke tangga kebahagiaan, bukan malah kesulitan demi kesulitan yang ia reguk. Semenjak kami menikah, tak secuil pun ia meminta lebih dari aku. Itu yang bikin aku kian merinding.

“Santai, Yah! Bunda tidak apa-apa, dan tak meminta apa-apa kok.” 

Ehmmm, dia mengerti suara hatiku ternyata. Bisa membaca pikiranku.

“Ingat kan, Yah, datangnya kemelaratan justru merupakan hari raya bagi kita para penempuh. Maka, mari kita rayakan keadaan ini. Kita jangan lagi menggerutu atau memaki keadaan, seolah kita tidak punya Tuhan saja. Alhamdulillah kita masih bernapas. Alhamdulillah masih bisa ikut ngaji hikam saban Rabu malam. Alhamdulillah Rakai anak kita bersedia anteng di rumah selagi kita di Semarang. Alhamdulillah sulung kita, Isa, betah di pondok, yang notabene makannya tiap hari jauh lebih tidak enak, jauh dari gizi, ketimbang yang kita makan saban hari. 

Kenikmatan yang sedianya kita cari itu kenikmatan ruhani, Yah, bukan rumah mewah. Maka, jangan ragu dengan masih banyaknya kekurangan yang melekat di badan kita. Karena itu justru hamparan anugerah. Justru kesempatan untuk mendekat Tuhan. Kesempatan untuk menyedikitkan keinginan. Kesempatan menjauh dari perbuatan durhaka. Kesempatan melepas segala keterikatan. Kesempatan untuk banyak zikir. Kesempatan….”

“Sudah, sudah!” aku memotong omongannya. “Ayah tidak ingin Bunda ngomongin itu terus.”

“Mumpung masih pagi, Yah, masih fresh, dan jujur Bunda itu tak tahan melihat Ayah berlama-lama murung.”

“Siapa yang murung!” timpal aku, tak rela dikatakan tengah murung. “Udah ah, yuk sarapan!”

Lima belas menit kemudian, kami bertiga duduk melingkari hidangan sarapan di ruangan tengah. Bertiga lahap menyantap nasi hangat, dengan ayam goreng, sambal pedas, dan juga tersedia teh hangat manis. 

“Yang begini ini baru makanan tubuh, kalau yang Bunda ceramahin tadi, soal kesulitan-kesulitan tadi, itu sih makanan ruhani.” hiburku di sela bersantap pagi.

“Bunda ustazah?” timpal Rakai, dan sontak Rahma mendelik kepadanya. 

Ungaran, 11/11/2021

Baca juga: Memilih Sekolah dan Karamah 

Post a Comment

4 Comments

  1. Sungguh aku malu tidak bisa me-resume intisari dari pengajian, matur nuwun sanget sudah menggenapi kekuranganku, semoga menjadi amal jariyah dan amal kebaikan kakanda sekeluarga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe...sami-sami, Pakdhe Mung. Ya, menika sakderma nyerat kemawon kok

      Delete
  2. Dalam sekali. Keterikatan, kemelekatan adalah Penderitaan. Tapi banyak orang yang tidak bisa lepas dari hal itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget, karena dunia telanjur merasuk dalam hati. Sehingga mengikat kesadaran kita. Padahal semestinya Tuhan-lah yang melekat di hati, bukan dunia.

      Delete