Karamah itu Materi Ujian

 Suasana ngaji hikam bersama Gus Sholahuddin

Syekh Ibnu ‘Athaillah berkata, “Di saat tekad seorang salik ingin berhenti pada apa yang tersingkap baginya, suara-suara hakikat pun memperingatkannya, ‘Yang kaucari ada di depanmu!’ Dan di saat pesona alam tampak menggoda, hakikat-hakikatnya pun berujar, ‘Kami hanyalah ujian maka jangan kau kufur!’ (al-Baqarah: 102).

Hikmah ini semacam warning buat kita, supaya hati-hati dari bersitan hati yang kerap menyergap, yang merasa telah sedemikian intim kepada Tuhan. Telah disayang Tuhan dengan bukti tersingkapnya rahasia-rahasia gaib. Sehingga, merasa cukup dan tidak perlu lagi menjalankan ritual fardlu. Tidak perlu berlelah-lelah beribadah sunah. Dan seterusnya. Dan sebagainya.   

Padahal, demikiankah? 

Tidak. Syekh Ibnu ‘Athaillah berujar, “Yang engkau cari masih ada di depan!” Artinya, perasaan-perasaan telah sampai itu hanya sekadar perasaan, bukan yang dituntun agama. Agama menuntun bahwa perjalanan menuju Tuhan itu tiada akhir hingga maut menjemput. Bahwa berjuang menjalankan hak-hak Tuhan itu sesungguhnya proses panjang terus-menerus yang tanpa ada kata akhir. 

Sebagaimana kita baca riwayat hidup Nabi Muhammad Saw., walau beliau adalah manusia agung sepanjang masa, tapi tetap merasa kurang dalam menunaikan hak-hak Tuhan. Beliau menjalankan salat tahajud saban malam seakan ibadah wajib, karena dalam bersyukur kepada Allah selalu merasa sangat kurang. Masih banyak dosa yang belum sempat diistighfari. 

Dengan demikian, pantaskah kita merasa sudah cukup, hanya karena telah diperlihatkan tanda-tanda kegaiban? Syekh Ibnu ‘Athaillah memperingatkan, “Yang engkau cari masih di depan!”

Di bagian kedua, Syekh Ibnu ‘Athaillah menandaskan, “Demikian pula jika tampak keindahan-keindahan alam niscaya hakikat-hakikatnya segera membisikkan ‘Kami hanyalah batu ujian, maka janganlah engkau kafir’.”

Sang syekh merujuk surat al-Baqarah ayat 102, bahwa keindahan yang penuh gemerlap di dunia ini hakikatnya adalah tipudaya setan belaka. Maka, hati-hati jangan sampai terjebak!

“Tampak keindahan-keindahan alam” dalam konteks menuju Tuhan, Syekh Muhammad Said Ramadhan menjelaskan bahwa hal itu bisa berupa, pertama, bertambah banyaknya segala kenikmatan dan sumber-sumber kesenangan duniawi. Kedua, kesanggupan seorang hamba untuk bertindak di luar kebiasaan, ya, karamah-karamah yang kerap menyertai keseharian para wali. 

Nah, menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah, hakikat dari dua keadaan itu adalah tipudaya setan, “maka janganlah kamu menjadi kufur.” (al-Baqarah: 102).

Jadi, sungguh tidak ada jalan lapang untuk menunaikan hak Tuhan. Sungguh, tidak ada titik aman dalam bertuhan. Godaan selalu turut menyertai. Sebagaimana penuturan sang imam dari kota Alexandria, Mesir, Pertama, terbitnya perasaan telah sampai kepada Tuhan, sehingga membersitkan keinginan untuk berhenti beribadah. Perasaan yang sesungguhnya hanya kilatan godaan untuk menguji kesungguhan menunaikan hak Tuhan. 

Kedua, tipudaya itu pun terus mengembang berupa kemudahan-kemudahan fasilitas duniawi yang hadir di kehidupan kita, justru saat khusyuk memenuhi hak-Nya. Lantas kita berpikir: “inilah anugerah yang kuterima, karena aku serius berjalan menuju Tuhan.”

Kita memperoleh anugerah sehat, jarang sakit. Kita memperoleh anugerah kaya, tanpa usaha ekstra memburu pundi-pundi. Kita memperoleh popularitas sebagai orang alim, sehingga menjadi rujukan banyak orang dalam menuntaskan segala problem mereka. Dan, banyak lagi kemudahan, yang kita merasa sebagai akibat kekhusyukan kita.

Ketiga, berupa keajaiban-keajaiban yang mengiring langkah kita, ini pula tipudaya, bahkan lebih berbahaya bagi penempuh. Kita benar-benar akan tesergap perasaan telah menjadi wali. Sebagai kekasih Tuhan, yang segenap sabda-Nya telah menyatu ke diri kita. Kita mendapati diri sebagai sosok yang merasa telah memiliki pengaruh spiritual di tengah masyarakat. Kemudian merasa berhak menjadi juru petunjuk kebenaran, merasa berlimpah karamah.

Itulah keindahan-keindahan dunia yang ditiupkan setan, agar sang penempuh tergelincir. Ilusi keindahan yang merasuki sanubari seorang hamba, yang merasa telah menjadi orang besar, yang merasa telah memperoleh anugerah kekuatan spiritual.

Syekh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan bahwa hal-hal di luar kebiasaan yang diberikan Allah itu jangan malahan menjadi tujuan. Bahkan beliau mengarahkan kita untuk tidak merasa senang telah memperolehnya, karena hal itu hadir sebagai batu uijian. 

Ya, karamah adalah materi ujian untuk menguji kesungguhan seorang hamba, benar-benar menghamba kepada Allah, atau sebaliknya jatuh menyembah kepada kekuatan sendiri. Karamah adalah ujian, masihkah sadar sebagai hamba, yang dalam kondisi apa pun tetap sebagai hamba yang lemah.

Astaghfirullah! Saya memohon limpahan ampunan-Nya.

Begitu.

Ungaran, 10/11/2021

Baca juga: Demi Masa   

Post a Comment

0 Comments