Aku yakin tak ada satu pun penghuni negeri ini tak mengenal dia. Ia pintar, kritis, dan tulisan-tulisannya rutin menghiasi halaman media cetak. Malah saban Minggu pasti nongol tulisan bernas di sebuah tabloid yang berpusat di Solo. Dia pengisi tetap kolom. Seperti banyak orang, aku mengagumi dia. Aku mengikuti forum bulanan di kota kecil Ungaran, dan ia pembicara utama. Ia rutin hadir. Makin menambah kekagumanku tak terkira padanya.
Banyak yang melabeli ia budayawan, tetapi aku lebih senang menyebutnya kiai. Dulu ia jebolan pesantren tersohor di Jawa Timur. Dia fasih berbahasa Arab. Saat dia melantunkan ayat-ayat Alquran terdengar indah di telinga para pendengar. Apalagi kalau dia sudah di atas panggung seakan penyihir. Begitu dia memulai ceramah, ribuan orang seketika tertunduk takjub, takzim, dan serius mendengarkan. Termasuk aku.Rasa-rasanya tak bosan mendengar ia berceramah. Padahal rutin tiap bulan. Materi omongan pun kerap diulang. Materi lawakan juga sama, tak ada yang baru. Namun entah kenapa, aku dan ribuan orang itu tetap loyal hadir ke tanah lapang, menanti dan mendengar ia berceramah.
Semula Rahma tak suka padanya. Cenderung antipati. Gara-garanya sederhana. Istriku itu masih membawa cerita kelam masa lalu. Dulu, dulu sekali sebelum dia tenar, aku dan istriku masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar, ia pernah membangun keluarga, tapi tak bertahan lama. Setelah lahir bocah laki-laki, ia ceraikan istrinya. Si bocah mungil itu ikut ibunya yang menjanda dan pulang kampung. Itulah yang bikin istriku kurang sreg pada kiaiku itu. Ditambah perilaku setelahnya. Ya, dua puluh tahunan kemudian sang pujaanku itu menikah lagi. Walaupun kalau menurut pendapatku ya wajar saja, karena memang lama menduda. Namun lagi-lagi istriku belum bisa terima atas keputusan sang idola menikahi artis yang jauh lebih muda, sepantaran anak laki-lakinya yang ikut mantan istri.
Aku sering bertengkar dengan Rahma hanya lantaran kekukuhanku mengagumi sang kiai. Ya, awal pernikahanku aku rada jengkel padanya. Ia tak setuju aku mengagumi sang kiai pintar sekaligus pengusung ide pluralisme itu. Istriku tetap pada pendirian bahwa keputusan menikahi artis cantik asal Magelang itu sebuah kekeliruan yang tak bisa dimaafkan. Aku tak mengerti letak kesalahan laki-laki menikahi gadis yang terpaut jauh usia itu. “Apa masalahnya?” gumamku dalam batin saat itu. Setiap kali aku cerita tentang kepintaran dan kepedulian sosial sang kiai yang luar biasa pada kelompok pinggiran, juga terhadap etnis minoritas, setiap kali pula emosi Rahma langsung memuncak. Rahma benar-benar membencinya. Sangat benci dan jijik acap kali aku sebut namanya. Aku masih belum mengerti. Istriku juga belum bersedia cerita alasan kebencian pada pujaanku.
Masalah baru terang saat anak pertamaku lahir. Ya, satu tahun aku menunggu istriku menjelaskan duduk perkara yang mengganjal hati. Istriku memaparkan bukan perkara pernikahannya ia benci, melainkan dengan siapa ia menikah. Sebelum menikah dengan artis asal Magelang, ia telah menjalin hubungan kasih dengan seorang artis pula. Seorang bintang layar lebar, berupa anggun, keturunan Arab. Lama ia pacaran dengan si artis itu. Kedua orang tua sang artis telah merestui hubungan mereka, bahkan tanggal pernikahan pun telah disepakati.
Namun apa sebab, tak begitu terang budayawan itu memutus hubungan secara sepihak. Barang dua atau tiga bulan sebelum tanggal pernikahan dengan sang putri anggun nan elok rupawan, di media santer diberitakan budayawan itu telah menikah dengan artis sinetron asal Magelang.
“Benar begitu, Bun?” aku tanya pada Rahma setengah tak percaya saat itu.
Istriku meyakinkan aku, kabar itu benar. Seratus persen benar, bukan kabar burung atau gosip murahan ala infotainmen. Ia dapatkan informasi itu dari Gus Muh, guru spiritual tempat aku dan Rahma mengaji tiap tanggal 21. Kebetulan pula sang budayawan itu juga dulu sempat menjadi murid Gus Muh. Dan, si artis yang sungguh rupawan itu juga mengadukan masalah pada Gus Muh perihal tingkah sang budayawan memutus hubungan dan bikin malu keluarga besarnya. Jadi tak diragukan lagi memang benar begitu adanya. Budayawan itu telah memutus hubungan secara sepihak.
Kini, lima belas tahun berlalu kisah pernikahan sang budayawan dan artis molek asli putri Jawa. Dan, sembilan tahun lewat aku ketahui dari lisan istriku latar masalah kisah tersebut. Ya, sudah sembilan tahun. Sembilan tahun kami lalui, sembilan tahun pula keajaiban aku saksikan. Perasaanku pada sang budayawan tetap tak berubah. Aku tetap loyal padanya hingga saat ini. Aku makin intens mengikuti pengajian bulanan dan ceramah-ceramahnya di media sosial. Aku borong seluruh buku karyanya. Tak jarang pula aku undang teman-teman mendiskusikan isi bukunya. Bahkan aku bikin klub baca di rumah, mendaras bareng-bareng salah satu karya novelnya. Dan, syukur, banyak karib yang mendukung, turut serta meramaikan acara baca bersama di gubukku.
Benar-benar, ternyata tidak hanya aku yang mengagumi dan menyuntuki isi pemikiran buku-bukunya. Aku mendapati kenyataan pengagumnya bertebaran di mana-mana. Setiap kota yang kusinggahi, di situ pula pasti ada komunitas mengusung gagasan-gagasan bernasnya. Bahagia tiada kira, di mana tempat ternyata bertebaran kawan atau sahabat sepemikiran dan satu rujukan: kiai budayawan, sekaligus tokoh pluralis. Kritik-kritik pedas yang kerap ia lontarkan pada pemerintah dan budaya konsumtif masyarakat acap aku unggah dalam status baik Facebook maupun Instagram. Dan, seketika banyak teman menaruh tanda suka dan berkomentar.
Terasa sangat membahagiakan, Nah, Rahma yang sembilan tahun lalu membangun tembok kebencian, lambat-laun meluntur. Ia dapat menerima dan memahami kesalahan pikir yang ia bangun. Aku yakinkan padanya: tiada manusia sempurna, pasti dalam perjalanan hidup di muka bumi ini ada noda khilaf menempel. Termasuk kisah pernikahan yang menimpa budayawanku itu. Ia budayawan, tapi juga manusia. Ia kiai, tapi tetap saja tidak steril dari kesalahan. Jangankan baru pacaran, yang sudah bertahun-tahun membina keluarga bisa saja bubar. Syukur, istriku mulai menerima, apalagi sang kiai memang konsisten mengusung ide-ide pluralis. Malah kini Rahma turut mengagumi seperti aku dan ribuan orang yang saban bulan mengikuti pengajian rutin setiap purnama di alun-alun Ungaran. Istriku telah menamatkan semua buku karya kiai eksentrik itu.
“Yah, Ayah! Serius banget melototi laptop!” seru Rahma tiba-tiba, kemudian duduk di sampingku. Sontak buyarlah lamunanku.
“Iya, ini lho, kiai budayawan....” aku jawab sembari menunjuk layar laptop. Tampak sang kiai sekaligus budayawan mengisi pengajian di lapangan alun-alun Salatiga.
“Ya, Yah! Bunda juga belum pernah lihat. Ceramah terbaru ya?”
“Bagaimana, Bun? Suka kan?” aku tak menjawab pertanyaan istriku, tapi balik meledek, “Sudah Ayah bilang, kiai itu pintar, pembela kelompok minoritas, dan tak mungkin berkhianat.”
“Iya, ya... Bunda keliru dan tergesa mengambil kesimpulan. Terbawa naluri perempuan kali ya.”
“Tepat sekali. Bunda terlalu emosi buru-buru memvonis: kiai bejat, doyan daun muda, yang kinclong, yang....”
“Sudah ah! Nggak usah dibahas lagi. Yang berlalu biar berlalu. Kini kita takzim padanya saja. Terlebih Gus Muh juga telah pulang ke rumah abadi tiga tahun silam,” Rahma menutup percakapan.
***
Malam ini tanggal 15 bulan hijriah, giliran aku ke alun-alun Ungaran. Rahma tidak ikut karena anak-anak masih batuk dan hidung tersumbat. Aku berangkat sendiri menghadiri pengajian bulanan.
“Benar nggak kecewa kan?” aku goda istriku yang sebetulnya juga ingin ikut, tapi kondisi tak memungkinkan. Tak mungkin membawa anak-anak yang lagi tak sehat keluar malam-malam.
“Sudah sana berangkat! Nanti telat dan tak kebagian tempat baru tahu rasa.” Rahma tersenyum melepas aku ke luar rumah. (Dan, duuuh senyumnya itu, sontak melesap ke kedalaman relung hatiku. Jadi pengin di rumah saja, tidak berangkat ke alun-alun)
Lima belas menit perjalanan dari rumah sampai alun-alun. Benar juga dugaan istriku, lapangan alun-alun sudah sesak pengunjung. Hmmm, benar-benar budayawan penuh karisma sekaligus kiai yang sanggup menyihir jamaah untuk loyal padanya. Aku tak kebagian tempat dan terpaksa berdiri jauh dari panggung.
Satu demi satu grup rebana tampil mengisi acara sebelum sang kiai naik ke podium. Satu jam berlalu belum ada tanda-tanda kiai pujaanku keluar dari sekretariat panitia. Grup rebana terakhir telah menuntaskan tugas, dan seorang Arab naik ke podium (yang kemudian kuketahui bernama Habib Yahya Assegaf). Ia mengurai hikmah pengajian malam ini. Garing tanpa kelakar. Penyajiaannya serius. Rasa bosan mulai menyerang, hingga tiba di tengah-tengah uraian, ia menyampaikan permintaan maaf bahwa malam ini sang kiai budayawan tak bisa hadir. Sang kiai sedang di Jakarta mengisi tabligh akbar.
Ah! Tak menunggu acara pengajian selesai aku mundur pulang. Aku kecewa dan bangga sekaligus. Kecewa tak mendengar dan melihat langsung sang kiai budayawan. Namun juga bangga lantaran mendengar ia turut menangani masalah kebangsaan yang kini mulai terkoyak-koyak. Sebetulnya aku sudah lama mengetahui, ia kerap didaulat untuk mengisi pengajian akbar, turut mengurai mengatasi masalah perpolitikan yang memanas hari-hari ini.
Sebagaimana saat berangkat, hanya butuh lima belas menit aku sudah sampai di depan rumah. Rahma membuka pintu sebelum kuketuk.
“Beliau tidak hadir kan?” Rahma menyalami dan mencium punggung tanganku.
“Lho kok tahu beliau tak hadir?” Tampak kulihat rona wajah istriku bahagia. Ia gandeng tanganku masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu.
“Tadi Bunda lihat di televisi, beliau diundang acara live oleh stasiun swasta.” Sembari menyodorkan air putih kepadaku, ia melanjutkan keterangan, “Beliau menjelaskan masalah negeri ini telanjur parah. Maka, soal kepemimpinan ia minta rakyat untuk tak memilih pemimpin dari kalangan non-muslim, yang kafir, apalagi yang beretnis Tionghoa. Pun kalau calon itu seorang muslim, tetap jangan dipilih sekira ia didukung oleh barisan kafir bermata sipit. Terus ….”
Belum tandas Rahma menjelaskan, aku berlalu dari hadapannya. Melenggang ke luar menghirup angin malam seraya mengumpat dalam hati, “Pluralis palsu!”
Ungaran, 19/11/2019
Baca juga: warung makan mas topo
0 Comments