Laisa Kamislihi Syaiun

Karya Muhammad Said Ramadhan

Suatu waktu Aisyah bermanja di hadapan Muhammad Saw. Ia minum dan kemudian diletakkanlah gelas tersebut di atas meja. Lantas Nabi Saw. mengambil gelas itu dan menyeruput tepat di bekas bibir Aisyah.

Ya, salah satu rekam kisah keromantisan Nabi Saw. bersama Aisyah.

Aisyah dalam banyak literatur dilukiskan sebagai sosok berparas cantik, itu sebab Nabi Saw. kerap memanggilnya Humaira. Aisyah juga dikenal sebagai seorang yang cerdas, sehingga patutlah menjadi pendamping Rasul Saw. Berkata Jibril, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi). 

Dan, sejarah pun membuktikan, Aisyah tampil sebagai penuntut ilmu yang cerdas, yang senantiasa menimba hikmah langsung dari sumbernya, Nabi Saw., sang suami. Aisyah tercatat sebagai periwayat banyak hadis, paling tidak, ada 1.210 hadis yang telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. 

Aisyah adalah pendamping yang siaga membantu dan selalu memotivasi sang suami tercinta di tengah permusuhan dan beratnya berdakwah. Ia juga, baru saya ketahui setelah mendengar uraian Gus Baha tentang Isra Mikraj, adalah seorang pengaman konstitusi agama yang kukuh. Kenapa demikian?

Gus Baha menjelaskan bahwa istilah mikraj itu sebetulnya istilah yang tak disepakati ulama. Dalam keyakinan ahli sunah (suni), mengingkari isra itu kafir karena termaktub di Al-Quran. Namun, tak meyakini mikraj itu tidak apa apa, sebagian ulama hanya menghukumi fasik, berdasar riwayat Aisyah yang menandaskan, “Siapa mengatakan padamu bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Tuhannya, ia telah berdusta.” (HR. Bukhari). Bisa pula dicek dalam hadis Muslim.

Sebagaimana lazim kita baca atau kita dengar, peristiwa mikraj merupakan perjumpaan Nabi Saw. dengan rasul-rasul sebelum beliau, dan berikut bersemuka dengan penguasa alam semesta, Allah. Bahkan ada yang menggambarkan, saking dekatnya, jarak Nabi Saw. dengan-Nya sejarak dua ujung busur panah bahkan lebih dekat lagi.  

Aisyah membantah dan membacakan ayat: “Dia tidak bisa dilihat oleh mata, tapi Dia menangkap semua mata. Dia Mahalembut lagi Mahatahu.” (Al-An’am: 103). Juga ayat “Tidak akan terjadi Allah bicara langsung kepada manusia, kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir, atau Ia mengutus utusan, lalu mewahyukan atas izin-Nya hal-hal yang Ia kehendaki. Allah sungguh Mahatinggi lagi Mahabijaksana.” (Asy-Syura: 51).

Begitulah, alasan yang mendasari Aisyah mengingkari mikraj, tak lain tak bukan demi menjaga kaidah agama, laisa kamislihi syaiun, tiada satu pun yang menyerupai Allah (Asy Syura: 11). Bayangkan sekira Nabi Saw. melihat Allah dalam mikraj itu, dan terjadi dialog, pasti kita akan berpikir Allah duduk di atas sebuah singgasana. Nabi Saw. duduk bersimpuh di bawah. Lantas Allah menghibur nabi yang lagi dirundung duka, dan menurunkan titah secara langsung. Kemudian mereka saling berangkulan, dan seterusnya dan sebagainya. 

Penyangkalan Aisyah itu (seakan) mengingatkan kita, umat Muhammad Saw., bahwa Allah adalah wujud mutlak, sempurna, berdiri sendiri, dan tempat bergantung semua yang ada. Tuhan melayani makhluk-Nya dengan hukum dan tradisi Ketuhanan-Nya. 

Kita telah menyakini bahwa yang menghentikan kehidupan manusia, mengatur sirkulasi rezeki, dan yang menabur rahmat, itu semua berkat Allah. Tapi, kita juga paham bahwa ternyata yang bertugas di lapangan adalah Izrail, Mikail, dan sebagainya, dengan pelbagai cara (sebab-akibat). Kita butuh uang misalnya, kita memohon kepada-Nya, dan Allah pun meluluskan dengan cara: usaha dagang kita lancar, atau ada yang mengirimi kita uang, atau ada yang membebaskan utang-utang kita, dan begitu seterusnya.

“Allahlah yang merezekikan si A, tapi dengan wujud riil: ada seorang yang bertandang dan bertransaksi. Namun demikian, tetaplah diistilahkan Allah yang memberi rezeki, Allah yang merahmati. Walau Allah tidak datang langsung mengantar teh gula, atau salam templek kan!” canda Gus Baha. 

Dari situlah, Aisyah jelas hendak mengamankan konstitusi akidah Islam. Bahwa Allah adalah subjek yang tak dapat diobjekkan. Bahwa Allah wujud, tapi tak dapat dilihat, didengar, dibuktikan, dinyatakan, atau dibayangkan. Pokoknya, laisa kamislihi syaiun. Prinsipnya, kita jangan sampai terjebak untuk mendramatisasi wujud Tuhan. 

Sehingga sang Nabi Saw. pun memberi batasan kepada umat beliau untuk tak berpikir dzat Allah, tapi seyogianya menafakuri ciptaan-Nya saja. “Makanya ahli sunah itu yakin, melihat perempuan cantik atau larut dalam gelimang harta itu tidak disebut murtad. Namun, mengeklaim telah melihat Tuhan itu rawan murtad. Karena jelas: laisa kamislihi syaiun.” simpul Gus Baha.

Baca juga: Kisah Aisyah

Post a Comment

0 Comments