Memilih Sekolah

 Rahma bareng dua jagoan

Saatnya masuk SD. Ya, sulungku berusia tujuh tahun. Persisnya enam tahun lebih sembilan bulan. Berarti tahun ini pula, mesti mencari dan mendaftarkannya sekolah. Suamiku masih santai. Malah cenderung cuek. Tak peduli, SD macam apa Isa akan didaftarkan. Sama sekali ia tak pernah mempertanyakan. Sementara aku tak bisa tenang sebelum mendapat kepastian sekolah buat sulungku. 

Sebetulnya aku sudah mengantongi dua sekolahan yang kira-kira cocok buat anakku. Mayoritas tetangga kompleks perumahan, anak-anaknya telah didaftarkan ke sana.  Meski swasta, tetapi bagus. Selain pelajaran umum, pelajaran agamanya banyak. Sehingga aku dan suami tak perlu lagi mengajarkan salat, baca-tulis Alqur’an, dan pembiasaan ibadah rukun Islam lain. Satu hal lagi, kedua sekolah itu full sampai pukul 13.15. Bahkan kalau sudah kelas IV, V, dan VI selesai pukul 15.45. Selaku orang tua, aku bayangkan tak akan lagi kerepotan mendidik anak. Karena sudah ditangani lembaga sekolah. Tak perlu risau memikirkan keseharian anak ketika suami-istri kerja.

Namun suamiku tak menanggapi serius bayangan idealku itu. Malah ketika kusinggung bahwa Isa bakal mendapat pelajaran penuh sehari, ia marah. Bukan lagi cuek, melainkan marah. Benar-benar marah. 

“Sebetulnya yang Ayah inginkan itu SD macam apa sih?” tak tahan akhirnya aku tanya suami. 

“Sebentar, sebelumnya jawab dulu pertanyaan Ayah: kenapa Isa perlu sekolah?”

Ah! Ditanya malah balik bertanya. Kebiasaan mempersulit masalah. “Ya, memang saatnya sekolah kan!” aku jawab sekenanya. 

Terus terang aku belum siap dengan pertanyaan itu. Perlu perenungan lebih dalam. Padahal aku tak biasa memikirkan pertanyaan-pertanyaan "mengapa". Sementara suamiku hobi sekali. Hobi mempersulit diri.

“Nah, kan! Bunda sendiri enggak jelas. Enggak punya konsep. Ingat lho, Bunda enggak boleh main-main! Isa itu tititpan Tuhan, bukan milik kita.”

“Ya, kalau itu Bunda paham.”

“Kalau sudah paham, mestinya enggak sembaranganlah memilihkan sekolah buat Isa?”

“Lho, Yah! Siapa yang sembarangan? Justru Bunda itu sangat hati-hati untuk mendaftarkan Isa sekolah. Makanya Bunda tanya, Ayah itu kepengin  SD kayak gimana? Gitu aja kok.” 

Sesaat kami terdiam. Lagi-lagi kebiasaan suamiku. Masih pagi telah mengajak debat. Memang aku kesulitan menemukan titik temu dengan suami kalau menyangkut pendidikan anak. Aku lirik jam di dinding. Masya Allah! Sudah pukul 05.30. Aku harus cepat-cepat belanja buat sarapan. Hari Minggu biasanya mengantre. Mesti berebut sayuran segar dengan ibu-ibu tetangga. 

“Lho, Bun! Ke mana? Ngomongnya belum selesai. Main ngacir saja.” hardik suamiku. Belum puas ia memojokkan aku. 

“Ya, nanti dilanjut. Bunda mau beli sayuran dulu. Dan tolong anak-anak dibangunin! Biar enggak kesiangan ke kolam renangnya.”

Aku bergegas ke warung Bu Mas’ud. Kira-kira 100 langkah sampai sana. Dan ternyata benar dugaanku. Mbak Ratna, Mbak Dian, Mbak Nur, dan Bu Rita sudah memilah-milah kacang panjang, bayam, kangkung, wortel, daun kemangi, ikan lele, tempe, tahu, ketela, minyak goreng. 

“Aduh enggak kebagian sayuran nih!” aku basa-basi ke mereka. Bu Mas’ud sang pemilik warung mengulas senyum ramah. 

“Masih banyak nih, Mbak Rahma.” sahut Mbak Dian.

“Eiya, Isa mau sekolah di mana, Mbak? “  tanya Mbak Ratna.

“Belum tahu, Mbak. Saya masih bingung.” aku belum siap dengan pertanyaan itu.  

“Udah enggak usah bingung! Daftarin aja ke Assalam!” sahut Bu Rita.

“Iya, Mbak Rahma. Si Arel juga telah saya daftarkan ke sana.” sambung Mbak Nur.

“Atau bareng Kian ke Al-Qomah!” ajak Mbak Dian.

“Yardan saya masukkan ke Al-Burhan Pudak Payung. Ada armada antar jemput. Jadi saya enggak pusing-pusing lagi bagaimana pulang-perginya.” lanjut Mbak Ratna.

“Wuah menarik juga tuh, Mbak Ratna. Kalau Isa sih masih saya rundingkan sama Ayahnya. Bu Mas’ud berapa nih semua?” 

Cepat-cepat aku mengalihkan perbincangan. Aku tak tahan dengan para ibu tetangga yang membanggakan anak-anaknya telah mendapat tempat sekolah favorit. Sementara suamiku sampai hari ini belum bisa diajak kompromi.  Usai menyerahkan lembaran uang kepada Bu Mas’ud, aku pamit meninggalkan mereka. Tampak mereka masih asyik memilah belanjaan sekaligus ngobrol memamerkan prestasi sekolah anak-anak.

***

Kolam renang Watu Gunung sudah dipadati pengunjung. Ya, Watu Gunung. Salah satu tempat favorit kami menghabiskan hari Minggu. Tidak jauh dari rumah kami. Hanya 1 km. Isa dan Rakai sangat menyukai. Areanya luas. Di tengah-tengah ada danau buatan. Dikelilingi pohon-pohon besar dan batu-batu alam sebesar rata-rata almari. Juga berdiri anggun tiga gazebo berpencar mengeliling danau. Gazebo berornamen joglo, bangunan khas masyarakat Jawa tempo dulu. Sebuah tawaran tempat nyaman buat bersantai. Menikmati rindang pohon dan sejuk udara Gunung Ungaran. Kami langsung menuju lokasi kolam renang, pojok sebelah barat. Atau ke kanan dari pintu masuk. Sementara lahan parkir berada di sebelah kiri danau.

“Isa, Rakai, dah sana! Main dan nyebur ke kolam. Ayah, Bunda duduk di sini.” perintah suamiku pada anak-anak. 

Kami duduk di gazebo menghadap kolam renang, sekaligus bisa memandang hijau Gunung Ungaran.  Kalau di sekitar danau berpencar tiga gazebo, di kolam renang ini berjajar lima gazebo ukuran sama menghadap arah selatan, arah Gunung Ungaran. Aku lihat Isa dan Rakai sudah membaur dengan anak-anak lain bermain air. 

“Nah, sekarang tolong Ayah jelasin, kenapa alergi sekolah?” aku buka omongan di tengah riuh para orang tua mengawasi anak-anak.

“Wuih masih ingin dilanjut nih diskusi tadi pagi.”

“Iyalah, biar Bunda tahu alasannya kenapa Ayah enggak semangat mendaftarkan Isa sekolah. Biar Bunda juga bisa menjelaskan pada ibu-ibu. ”  

“Emang wajib ya ngejelasin ke mereka?”

“Ya, setidaknya Bunda punya jawaban kalau ditanya. Ah, Ayah susah banget sih.”

“Berarti Bunda selama ini grogi kalau ditanya tetangga? Enggak percaya diri? He-he-he....”

“Udah! Mau jelasin enggak? Jangan alihkan omonganlah!”

“Sabar Cah Ayu! Begini, sebelumnya jawab dulu, kenapa Bunda sangat menginginkan Isa sekolah?”

“Ya, biar pintar kan.”

“Itulah masalahnya.”

“Lho, kok malah masalah?” aku melongo belum paham arah omonga suami.

“Ya, Bunda. Sekolah di negeri kita ini, apa pun itu, tidak ada yang menjadikan orang pintar. Tidak ada. Yang terjadi adalah menemani anak-anak belajar.”

“Tapi kan toh akhirnya pintar?” aku coba menimpali, sambil mengawasi anak-anak.

“Pintar bagaimana dulu? Pintar menghafal memang iya. Oke begini, supaya tidak putus logikanya, mesti dirunut dari awal. Sepahaman Ayah, yang diadakan di sekolah-sekolah itu pengajaran bukan pendidikan. Pendidikan itu dimaksudkan untuk menanamkan nilai kemuliaan ke dalam akal budi. Pada siapa? Kepada yang masih perlu dibentuk. Yaitu anak-anak dan remaja. Mereka yang berusia 0 tahun sampai 20 tahun. Mereka masih perlu dididik. Pendidikan adalah pemuliaan atau pembentukan kepribadian manusia melalui pembiasaan baik sehari-hari. Jadi lewat interaksi informal. Interaksi dalam keluarga.”

“Jadi menurut Ayah, sekolah itu tidak penting?” 

“Bukan tidak penting, Bun. Sekolah tetap penting. Penting. Namun bukan yang utama. Adanya sekolah itu untuk membantu keluarga, para orang tua dalam membentuk anak-anak pada bidang intelektual. Nah, proses pengembangan intelek itu disebut proses mengajar-belajar. Proses pembelajaran. Proses pengajaran. Yaitu proses menemani anak-anak belajar. Dan ini bersifat formal “

“Sebentar Yah, Bunda masih belum bisa bedain antara pengajaran dengan pendidikan. Menemani anak-anak belajar. Bersifat formal. Pendidikan itu informal. Ah masih belum mudeng.”

“Ya, tidak ada pengajaran informal. Pengajaran itu ya bersifat formal. Sistematis. Punya kurikulum. Sementara pendidikan adalah pembentukan karakter atau kepribadian. Dan itu pembiasaan maka bersifat informal. Tepat dan memang hanya dalam keluarga. Atau kalau model orang tua kita dulu, anak dititipkan ke orang pintar, kiai atau ulama. Ngenger! Entah apa istilah bahasa Indonesianya. Karena formal, maka pengajaran, setidaknya yang kita lihat saat ini, akhirnya terjebak pada penimbunan keterangan pengetahuan semata. Anak-anak diajak menghafal bukan memahami. Anak-anak digiring menekuni suatu profesi. Sekolah diarahkan hanya untuk mempersiapkan anak-anak kelak mencari dan mendapat pekerjaan. Sekali lagi, tidak ada sekolah yang menjadikan orang pintar.”

“Nah kalimat terakhir itulah yang Bunda belum sepenuhnya paham. Sekolah tidak menjadikan orang pintar. Maksudnya?”

“Pintar yang Ayah pahami adalah dewasa sebagai pribadi. Nah, sekolah tidak akan sempat memperhatikan nilai-nilai mulia yang menentukan bobot seorang manusia. Lantaran formal maka pengajaran dan persekolahan itu pragmatis. Sesungguhnya sekolah tidak pernah serius mencita-citakan membentuk pribadi yang berpenghayatan nilai-nilai kebajikan. Nilai-nilai moral. Konsentrasi sekolah adalah membentuk para pelajar menjadi roda-roda dalam proses ekonomi dan teknologi. Udah begini saja, Bunda jawab yang jujur! Katakan Isa sekolah, lulus, kemudian masuk SMP, SMA, dan barangkali perguruan tinggi, lantas menjadi tukang di sebuah perusahaan. Pertanyaannya, pintarkah dia?”

“Ya, pintar sebagai tukang.” sedikit aku mulai paham jalan pikiran suamiku.

“Tepat, itulah yang Ayah maksud. Pintar sebagai jongos, atau kacung yang mengabdi pada perusahaan. Lebih serem lagi kalau mengabdi pada perusahaan yang menghisap darah sesama. Mengeruk kekayaan alam negeri ini. Atau menjual kedaualatan tanah air kita pada asing. Padahal Bunda juga tahu bahwa kemuliaan tak cukup bermodal kompetensi, tapi juga bertanggung jawab dan penuh perhatian pada sesama.”

“Oke Yah, pertanyaan singkat Bunda begini, karena Isa dan Rakai kelihatannya sudah mau selesai tuh: Ayah masih ingin menyekolahkan Isa enggak? Dan sekolah macam bagaimana yang Ayah idealkan?”

“Sudah Ayah tebak. Pasti ujung pertanyaan Bunda itu. Sekali lagi, Ayah tidak alergi sekolah. Tolong dicatat! Ayah tidak antisekolah. Yang Ayah benci adalah keberadaan lembaga pengajaran yang  mengantar anak-anak menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak berinisiatif alias pembeo saja. Tak menjadikan anak berkepribadian tetapi sekadar individu anggota sekawanan hura-hura. Kemudian sekolah macam bagaimana? Ya, sekolah yang membiarkan. Sekolah yang tak seragam. Sekolah yang tak menggiring Isa menjadi anak penurut. Pakaian, warna sepatu, warna kaus kaki, gaya rambut, tidak diseragamkan. Anak boleh berambut gondrong. Satu lagi, jam pengajarannya tak lebih dari pukul 12.00. Sehari cukup dua hingga empat jam saja.”

“Ah, kalau itu mah susah. Sekolah alam pun belum tentu cuma dua sampai empat jam. Biasanya selesai di atas pukul 12.00. belum tentu juga anak boleh berambut gondrong. Lantas Isa enggak disekolahkan?”

“Ya terserah Bundalah! Ayah paham, kok. Bunda enggak siap dengan omongan para ibu-ibu rempong itu kan?”

Dalam hati aku membenarkan pernyataan suamiku. Terus terang aku memang tidak siap bertanya jawab dengan para tetangga soal sekolah anak-anak. Aku tak sanggup melenggang dalam pandangan sinis mereka. Hmmm, sudah pukul 10.30. Anak-anak telah selesai berendam.  Usai bersih-bersih, kami lanjutkan menyusuri jalanan setapak area Watu Gunung. Kemudian mengaso di gazebo pinggir danau. Isa dan Rakai asyik menikmati bebatuan yang rapi mengelilingi danau. Berlarian dan meloncat antar batu-batu besar. Sembunyi di balik batu. Dan tepat pukul 12.00 kami pulang.

***

Hari-hari ini, berada di rumah serasa tak nyaman. Apalagi sore hari. Para tetangga pada berkumpul di teras rumahku. Teras yang sebetulnya kecil. Namun karena tak berpagar, ibu-ibu suka menghabiskan senja di sini. Mengobrol santai terutama soal anak-anak. Tentang kenakalan dan sekolah mereka. Tentang cita-cita atas anak-anak. Tentang masa depan dan koneksi lapangan kerja. Sementara aku, hanya diam mendengarkan obrolan mereka. Ya, sampai hari ini anakku belum jelas akan sekolah di mana. Malah suamiku angkat tangan. Menyerahkan pilihan sepenuhnya padaku. 

“Kalau saya sudah mantap dengan Assalam lo, Jeng.” kata Mbak Nur.

“Sama, Mbak Nur. Malah Papanya Rian juga berencana, setelah lulus SD langsung diteruskan ke SMP Assalam.” timpal Bu Rita.

“Al-Qomah juga bagus kok!” sahut Mbak Dian tak mau kalah.

Riuh mereka berceloteh. SD Assalam bagus. Al-Qomah juga. Aku tertarik. Namun suamiku, meski tak vulgar melarang, kerap menyebut kedua lembaga sekolah itu tak manusiawi. Sekolahnya robot. Malah menyebut, sekolah para  bebek. Memang suamiku, kalau ngomong suka sembarangan. Tak melihat siapa lawan bicara. Aku akui, pernyataan dan argumentasinya logis. Aku paham dan suka miris membayangkan Isa nanti mesti bawa tas punggung yang berisi banyak buku. Sudah badannya mungil, malah ditambahi beban memanggul tumpukan buku. Begitu yang aku lihat pada Rian, sulung Bu Rita. Atau Dewa, bungsu Pak Heru yang duduk di kelas III SD Al-Qomah. Tas punggung kedua anak itu penuh buku dan tampak berat. 

Ibu-ibu itu masih betah mengobral sekolah. Tuhan! Ke mana aku harus mendaftarkan Isa sekolah? Ke SD negeri? SD swasta? Atau sekolah alam? Bukan pilihan yang mudah. Sekolah alam agak mendekati apa yang menjadi dambaan suami. Namun biayanya mahal. Tak ada armada antar-jemput. Dan jaraknya sangat jauh dari rumahku. Aku tak yakin suamiku sedia mengantar. Menilik obrolan kemarin siang di Watu Gunung, ia mengacuhkan lembaga sekolah. Astaghfirullah, Ya Allah! Ampuni suami saya!

“Bunda! Isa sekolah bareng Yardan ya? SD Al-Burhan.” tiba-tiba, sulungku berteriak dari halaman. Membuyarkan lamunanku dan memecah keriuhan ibu-ibu. 

“Bagus, Sa!” seakan kelompok paduan suara, mereka menjawab serentak. Ada pun aku, hanya mesam-mesem. Terbayang wajah suamiku. Ia sinis mengumbar ejekan. Ah! 

Ungaran, 23/03/2016: 13.09, dan 10/11/2021; 12.35

Baca juga: Mengejek Diri

Post a Comment

1 Comments