Memoar Arsiparis Kolonial

 Seri Tetralogi Buru Pramoedya

Roman Jejak Langkah ditutup dengan penangkapan Minke di bawah pimpinan komisaris polisi, Pangemanann, dibuang ke Ambon. Lantas berlanjut menyusuri Rumah Kaca, tetralogi Pulau Buru terakhir, semula terbayang akan memperoleh detail kisah Minke di Kota Ambon. Ternyata tidak. Sama sekali saya tak mendapat kelanjutan jatuh-bangun Minke. Dalam Rumah Kaca, seakan Pramoedya hendak mengecoh logika pembaca yang telanjur memusat pada sosok Minke. Sang aku, pencerita, bukan lagi Minke, melainkan Pangemanann. Bukan tokoh yang mengusung kejujuran, kemanusiaan, dan pembenci ketidakadilan, melainkan pelaku keputusan sekaligus pembisik Gubermen, pengarsip dan peneliti gerak-gerik pribumi.

Kecewa! Semula begitu. Namun memasuki pertengahan bab 2, saya mulai menemukan keasyikkan membaca Rumah Kaca. Justru dari Rumah Kaca, saya mendapat pemahaman tak kalah rumit dengan pergulatan batin yang mengiring Minke, Nyai Ontosoroh, dan tokoh-tokoh (baik) lain. Lewat Rumah Kaca, Pramoedya membuka topeng penutup wajah busuk kolonial. Pangemanann—seorang komisaris polisi, arsiparis, dan ahli kolonial—menyuguh data: kolonial akan selalu membungkam tokoh dan organisasi-organisasi pribumi, pembesar-pembesar pribumi takut kehilangan jabatan, dan gagasan-gagasan orang Belanda (Eropa) dan pribumi mengenai nasionalis.

Pangemanann tak lain seorang pribumi (Menado) berpendidikan Sorbone (Perancis) menggunakan kemampuan dan pengetahuan untuk memunahkan pribumi. Ia mengagumi Minke, bahkan menganggap sebagai guru, tetapi karena alasan pekerjaan, persoalan etika atau moral hanya terdapat dan manis dalam teori. Ia tak sanggup mempertaruhkan status sosial dan pemecatan dini, maka segala tipu daya pun dilakukan. Gerakan perlawanan orang-orang pribumi mesti dihentikan. Ia sadar perbuatannya salah, terkutuk, dan hina. Malah menyebut diri sebagai hama tanpa bentuk dalam bungkusan seragam berpangkat. Namun lagi-lagi atas nama jabatan, karier, dan keluarga, tak soal mengorbankan prinsip dan nurani. Demi membiayai kebahagiaan istri dan anak-anaknya, segala ajaran yang bagus dan indah-indah mengawang lantas terlupakan. 

Hidup itu sederhana, yang pelik cuma liku dan tafsirannya, begitu ia tegaskan pada Paulette, istrinya. Pada anak-anaknya—Bernardus, Hubertus, Andre (Mark), dan Dede (Desiree)—berharap agar tak mencontoh perilaku sang ayah. Ya, seorang ayah (Pangemanann) yang kehilangan prinsip, tapi mendamba anak-anaknya menjadi manusia bebas dari pretensi dan ambisi. Menjadi orang-orang berhati murni, berprinsip dan mempribadi. Rumah Kaca, oleh Pramoedya Ananta Toer, sebagai memoar seorang pribumi yang menjadi mata-mata kolonial. Menghamba pada Gubermen demi nafkah dan kesenangan-kesenangan hidup. Bergelimang di dalam lumpur.

Bermula surat perintah Gubernur Jenderal Idenburg untuk menyingkirkan Minke. Pangemanann menyusun rencana penyingkiran tanpa pembunuhan. Sebuah tindakan di luar hukum. Penyelidikan atas rumah tangga Minke diadakan. Ia kirim surat palsu pada Prinses Kasiruta. Ia kirim bandit Robert Suurhof dan teman-temannya untuk merongrong kantor redaksi Medan, memancing emosi dan menurunkan mental anggota SDI. Kemudian terjadilah: vonis Raad van Indie atau Dewan Hindia Batavia atas Minke untuk menjalani pengasingan ke Ambon. Dan Pangemanann pula yang mengantar pembuangan Minke. Menjemput paksa dari rumah kediaman di Buitenzorg—kini Bogor—memasuki rumah baru di Jalan Benteng Kota Ambon.

Bagaimana nasib Prinses Kasiruta? Sebagaimana Minke, Prinses dan keluarga Sukabumi juga menerima perintah dari Gubermen untuk meninggalkan Pulau Jawa menuju Maluku. Begitu pula Mr. Hendrik Frischboten dan istri, Miriam De la Croix, harus keluar dari Hindia. Ahli hukum, pengasuh rubrik hukum koran Medan, seterusnya tidak boleh lagi memberikan penyuluhan hukum di Hindia dan harus tinggal di Belanda. 

Rumah bekas kediaman Minke bersama istri, Prinses Kasiruta, selanjutnya ditempati Pangemanann beserta keluarga. Rumah besar lagi indah, berdinding batu dan lebih mewah dari rumah sebelumnya di Betawi, sepenuhnya milik Pangemanann. Hadiah Gubermen setelah berhasil memutus ikatan Minke dengan SDI dan Medan.

Suasana Kelas Pram di rumah Kang Putu

Tidak hanya seluruh isi rumah tangga Minke yang disita, tapi semua yang berhubungan dengannya. Ya, semua harta benda milik SDI Pusat yang berada dalam kekuasaan Minke tak luput dari pembekuan. Juga perumahan penerbitan Medan di Bandung, benda bergerak maupun tak bergerak: benda tak bergerak termasuk rumah untuk para pekerja penerbitan; benda bergerak  termasuk uang  di dalam dan di luar Bank; kios-kios Medan di Bandung, Buitenzorg, Betawi dan kota-kota besar di Jawa; perusahaan impor kertas, barang tulis-menulis dan alat-alat kantor di Betawi; hotel Medan di Jalan Kramat Betawi, tak tersisa semua dibekukan. Dan pembekuan itu dilaksanakan bukan berdasar keputusan pengadilan, melainkan di luar hukum. 

Nah, sebuah gambaran kesewenang-wenangan kolonialisme awal abad ke-20. Namun ironis, pola kolonialisme itu masih berlaku hingga hari ini di negeri kita. Penguasa bermain mata dengan pengusaha mengeruk kekayaan alam dan menyingkirkan penduduk asli. Para intelektual dan pekerja kebudayaan tulus berusaha meringankan beban yang menghimpit rakyat justru diawasi dan dimatikan hak ekspresi. Sampai hari ini: kebebasan berkeyakinan, berpendapat, berserikat, dan menggarap sawah atau ladang masih di bawah bayang-bayang militerisme. Serasa dalam pengawasan anjing herder yang sewaktu-waktu siap melahap, begitu kita lengah.

Sepeninggal Minke dari Jawa, keanggotaan SDI meningkat dua kali lipat, malah semakin beringas memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap pejabat-pejabat negeri. Pada saat bersamaan, Hadji Samadi, pimpinan SDI Cabang Sala mengeluarkan pernyataan telah mendirikan Syarikat Islam dengan dia sebagai pemimpin. Cabang-cabang SDI segera menyesuaikan diri dengan menamakan diri Syarikat Islam dalam suatu konperensi darurat di Sala. Gubermen bukan hanya tidak menyukai Minke, melainkan juga semua anggota Syarikat. Kemudian keluar larangan bagi semua pejabat negeri dari atas sampai bawah menjadi anggota Syarikat, dan agar mereka juga tidak memberikan peluang bergerak bagi organisasi itu. Pangemanann merumuskan tindakan yang harus diambil: mendiskreditkan pimpinan Syarikat yang tersangkut sebagai perusuh dan kepala huru-hara. Syarikat harus dibikin jadi ciut. Berita-berita hendaknya dititikberatkan pada tindakan kriminal anggota-anggota Syarikat, ke seluruh Hindia dan internasional. Penilaian internasional terhadap Syarikat harus jatuh dan melupakannya sebagai organisasi yang punya harga untuk hari depan.

Syarikat masuk perangkap. Gelombang huru-hara berhasil diciptakan. Penyerangan terhadap  etnis Tionghoa oleh Pribumi meluas: Gresik, Kuningan, Madiun, Caruban, Weleri, Grobogan, Kertosono, Nganjuk, Pacitan, Lamongan, memuncak di Mojokerto, kemudian berbalik ke Jawa Tengah, Kudus. Syarikat masuk pengadilan dan terbukti terlibat. Hadji Samadi ciut dan tak sanggup menahan tekanan Gubermen. Kembali Syarikat mengadakan konperensi nasional di Sala. Atas saran Hadji Samadi, si orang baru yang belum jelas jasanya dalam organisasi Syarikat, diangkat menjadi ketua umum. Ya, dialah Tjokro, yang lantas memboyong kantor Syarikat ke Surabaya. Hadji Samadi menyerahkan segala-galanya pada Tjokro agar terbebas dari pekerjaan berpikir dan bertanggung jawab terhadap organisasi. Termasuk pemboyongan kantor ke Surabaya tidak lain dari keinginan Hadji Samadi ingin selamatkan Sala, terutama perniagaan dan keluarga di Laweyan.

Pribumi menyerang Tionghoa, tak lain hanya bertujuan menjatuhkan Syarikat dari dalam. Pemerintah Hindia Belanda berhasil menciptakan suasana kebencian. Dan aneh, pola kebencian antar etnis, terutama terhadap Tionghoa, sampai hari ini masih bercokol pada sebagian besar masyarakat. Etnis Cina masih dianggap orang lain dan sebagai golongan minoritas. Penindasan, penghinaan, hingga pelecehan terhadap mereka seakan sah dilakukan masyarakat yang mendaku pribumi. Dan negara absen untuk urusan ini. Masih jelas dalam ingatan kasus pelecehan 1998, tapi hingga hari ini kasus dibiarkan menguap, belum ada penjelasan resmi dari negara. Siapa dalang hingga proses pengadilan belum pernah kita dengar. Bertolak belakang dengan pemerintah kolonial berani membawa kasus huru hara (terlepas sebagai sandiwara): penangkapan, pemeriksaan, hingga pengadilan. 

Halaman selanjutnya, saya digiring untuk membayangkan Tjokro, tentu saja dalam perspektif Kolonial, sebagai “kaisar tanpa mahkota.” Tjokro menganggap julukan itu bukan sebagai ejekan, melainkan tanda kehormatan. Dia seorang kaisar atas Syarikat. Datang dari salah sebuah gudang Borsumij Surabaya dan menduduki jabatan puncak setelah Minke diasingkan dan Hadji Samadi ciut hati menatap kekuasaan kolonial. Kemudian Tjokro dielu-elukan sebagai Ratu Adil bagi orang Jawa primitif. Artinya Tjokro gagal meneruskan cita-cita Minke membawa Syarikat sebagai organisasi modern, yang berbasis pemahaman bangsa ganda. Ia menyempitkan Syarikat jadi bangsa tunggal: Jawa. Itu pula yang terjadi dengan Boedi Moeljo di bawah Tomo. Tjokro mengganti Medan yang telah dibekukan dengan Peroetoesan.

Kemudian meneropong aktivitas tiga serangkai: Wardi, D. Douwager, dan Tjiptomangun mendirikan Indische Partij, Partai Hindia, sebuah partai politik kali pertama di Hindia. Kalau Tjokro tinggal mengambil alih segala yang telah dimulai oleh Minke, Indische Partij sedikit-banyak meneruskan gagasan Minke. Mempersatukan unsur-unsur manusia modern di Hindia, peranakan Eropa dan terpelajar Pribumi sekaligus. Dalam jumlah anggota memang tak berarti dibandingkan Syarikat, tapi dalam kesadaran politik lebih unggul. Syarikat gemuk kebanyakan anggota dan tak bisa berbuat apa-apa. Indische Partij hanya ratusan anggota tapi kaya keinginan tanpa batas, disalurkan melalui koran De Expres.

Syarikat oleh Minke didedikasikan untuk mencari masalah dan melayani massa dari kalangan bebas, kasta Waisya, bukan kasta Satria (kaum Priyayi) yang hidup dari berkah Gubermen. Boedi Moeljo merupakan pabrik penghasil kaum Priyayi baru. Sementara Indische Partij lebih tepat sebagai kasta Brahmana, karena hanya bermodal gagasan dan semangat. De Expres mesin otak Indische Partij menggunakan bahasa Belanda, bahasa kekuasaan politik, tapi tirasnya belum bisa melampaui prestasi Medan. Bahkan Peroetoesan juga belum sanggup menyamai koran rintisan Minke.  

Tiga serangkai Indische Partij makin nyaring menyuarakan protes pada Pemerintah Gubermen. Akhirnya jelas: satu per satu  digiring serdadu. Wardi dan Douwager waktu ditawari pembuangan di dalam atau di luar Hindia, memilih yang kedua, mereka berangkat ke Eropa. Tjipto semula memilih yang pertama, tetapi akhirnya memutuskan memilih negeri Belanda. Pangemanann merumuskan bahwa mereka ditangkap bukan sebagai pemuka Indische Partij, bukan sebagai politikus, melainkan jurnalis yang mengancam keamanan dan ketertiban umum. 

Setelah memadamkan Indische Partij, tinggal dua nama lagi yang masih tercatat dalam Rumah Kaca Pangemanann: Marco dan Siti Soendari. Marco, anak rohani Minke, meneruskan karier sebagai pengarang, tokoh masyarakat, pemidato, jurnalis, pencetak, dan burung penjara. Bergiat mengobarkan perlawanan tapi miskin konsep. Makin giat makin kehabisan isi, dan makin menjadi kasar, lantas penjara. Ya, kerap keluar-masuk penjara, maka disebut burung penjara. Ia tergila-gila dengan Soendari. Bahkan sampai ke negeri Belanda nekat ia tempuh demi mendapat cinta Soendari. 

Siti Soendari lulusan HBS Semarang, kelahiran Pemalang. Aktivis perempuan menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis. Setelah lulus HBS mengajar di sekolah dasar swasta Boedi Moeljo Pacitan. Ayahnya jebolan STOVIA, teman Minke, dan menjabat kepala Pegadaian Negeri Pemalang. Soendari mempunyai kakak laki-laki, setelah lulus HBS meneruskan HBS di Nederland dan Hoge Handelsschool (Sekolah Tinggi Niaga) di Rotterdam. Mengingat aktivitas Soendari bakal menggoyahkan tradisi feodal, kolonial Belanda berkepentingan untuk membatasi ruang geraknya. Gubernur Jawa Tengah telah mengisyaratkan pada asisten residen Pekalongan, agar ayah Soendari sudi mengendalikan sang putri. Gubernur, Residen, dan Pangemanann bersepakat: malu menangkap seorang gadis remaja hanya karena memiliki keyakinan dan pendapat beda dari Gubermen. 

Intimidasi ditempuh. Residen memerintahkan Bupati Pemalang agar melaksanakan paksaan halus pada orangtua Soendari segera mengawinkan putrinya. Bupati Pemalang memanggil orangtua Soendari dan mengharuskan memilih: kehilangan jabatan atau pensiun tanpa hormat dan kehilangan putrinya atau membahagiakan putrinya dengan suatu perkawinan yang terhormat dan jabatan tetap utuh. Bila sang ayah belum punya calon, Gubermen bisa menyediakan daftar putra-putra bupati atau calon-calon dokter STOVIA. Dan bila sang ayah memilih yang pertama, anak laki-lakinya akan dikeluarkan dari Sekolah Tinggi Niaga di Rotterdam. Prosedur sama pernah menimpa Kartini. Kartini tak sanggup melawan sang ayah terpasung dalam tradisi feodal, sementara Soendari keras kepala memilih jalan kebebasan. Ia terbang ke Rotterdam, Nederland. Kemudian Marco Kartodikromo menyusul Soendari. 

Setelah Marco dan Siti Soendari keluar dari catatan Rumah Kaca, masalah baru mengadang Pangemanann. Ia mendapat perintah dari Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum untuk menjemput Minke di Tanjung Perak, Surabaya. Tak hanya menjemput, ia juga harus mendapat tanda tangan perjanjian, Minke tak akan mencampuri politik dan organisasi selama-lamanya. Minke yang bernama terang Raden Mas Tirto Adhi Soerjo menolak tanda tangan. 

Kelas Baca Pram di Kedai ABG

Dalam narasi hari-hari terakhir, Minke tak mengetahui kalau seluruh aset miliknya telah disita Gubermen. Hotel Medan di Pasar Senen sudah berpindah tangan melalui lelang jadi Hotel Capitol milik seorang Arab. Toko Medan di Sawah Besar telah alih fungsi menjadi toko besi. Kantor redaksi Medan di Jalan Braga 1 Bandung juga senyap. Putar-putar mengunjungi tempat bekas usaha dan rumah kenalan, semua asing. Bahkan seorang kenalan dokter menolak ia kunjungi karena sebelumnya sudah mendapat peringatan Gubermen agar tak menerima kehadiran Minke. Puncak petualangan: Minke meninggal karena sakit tak terobati. Dokter Bernhard Meyersohn berada dalam tekanan, terpaksa diam tak menangani penderitaan Minke. 

Minke meninggal dalam kondisi memilukan. Tak seorang pun mengenal dan mengetahui selain Pangemanann dan Goenawan. Akhirnya kisah pun bermuara dengan kehadiran Nyai Ontosoroh. Semula sang nyai menyangka Minke masih hidup, pergi ke Buitenzorg, Sukabumi, dan Bandung mencari Minke. Sampai saat Pangemanann menunjukkan makam Minke kepada Nyai Ontosoroh. Kedatangan Nyai Ontosoroh membuka mata kesadaran Pangemanann akan kebesaran Minke dan keagungan wanita Pribumi. Hal itu Pangemanann tunjukkan dengan menyerahkan seluruh naskah Minke (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah) dan naskahnya, Rumah Kaca kepada Nyai Ontosoroh. Ya, Nyai Ontosoroh jadi penutup tetralogi Pulau Buru, seakan isyarat bahwa karya tetralogi ini, Pramoedya persembahkan buat perempuan-perempuan mandiri dan bebas. 

Begitulah.

Ungaran, 06/02/2016: 17. 11   

Baca juga: Review Jejak Langkah

Post a Comment

0 Comments