Mengalah

 Duo Kiddos

Sore itu seperti sore-sore biasa yang lain pada bulan Maret, cuaca mendung. Hujan gerimis mewarnai sore di Kota Ungaran. Ahimsa dan adiknya, Rakai, berada di rumah Tante Dewi. Tante Dewi, adik Ayah, tinggal satu kompleks perumahan dengan mereka. Hanya beda blok. Mereka datang menghadiri undangan ulang tahun Lala, putri tunggal Tante Dewi.

Teman-teman sekompleks sudah banyak yang hadir, termasuk teman-teman satu kelas Lala dari SD Isriati. Rumah Tante Dewi nyaris tak bisa menampung mereka. Padahal rumah itu termasuk  paling besar di kompleks Perumahan Bukit Asri. Rumah berlantai dua. Ruang tamunya dua kali luas rata-rata rumah di kompleks. Terlebih lagi ruang tengah. Ruangan yang cukup besar, berlantai kotak-kotak dari keramik berukuran raksasa.

Lala berdiri di ujung ruang tengah di antara kedua orang tuanya, Tante Dewi dan Om Bagas. Mereka menghadap meja kecil. Kue tar berukuran 30 x 20 sentimeter dengan sebelas lilin menyala di atas meja tersebut. Ahimsa dan Rakai berdiri di samping Tante Dewi. Sementara teman-teman yang lain mematung di hadapan mereka. 

“Anak-anakku semua, terima kasih ya telah hadir pada acara ulang tahun kesebelas Lala. Tante bangga pada kalian semua. Hujan-hujan, tapi tetap berangkat ke sini.” Tante Dewi mengedarkan pandangan kepada teman-teman Lala. Kemudian dia menoleh ke putri cantiknya. “Nah, Sayang! Sekarang tiup lilinnya!”

Ahimsa, Rakai, dan segenap teman-teman Lala, serempak meneriakkan, “Tiup...! Tiup...! Tiup...!”

Saat Lala meniup lilin satu per satu, teman-teman mendendangkan happy birthday to you. Dan, seusai lilin kesebelas padam, tepuk tangan pun menggemuruh di ruangan besar itu. Lantas Lala memotong kue tar itu menjadi bagian kecil-kecil.  Ia membagikan kepada Tante Dewi, Om Bagas, Ahimsa, dan Rakai. Selang beberapa detik kemudian teman-teman yang lain menghambur mendekati meja kecil tersebut, mengambil potongan kue tar seraya menyalami Lala. 

Lala, anak perempuan Tante Dewi, yang memakai pakaian tidak biasanya tak henti mengulas senyum bahagia. Ya, tidak sebagaimana biasa. Roknya mengembang lebar dan kedua lengan gaunnya juga menggelembung. Seperti sedang pentas saja. 

Setelah selesai berfoto, teman-teman berpamitan. Mereka berhamburan ke luar sambil menenteng tas kertas mungil berisi cokelat. Tinggal Ahimsa dan Rakai yang masih bertahan di sana. 

“Mas Isa bawa cokelat ya! Nanti buat barengan dengan Mas Rakai!” seru Lala sembari menyerahkan bingkisan dos yang berisi cokelat.

***

Duo Kiddos

Bola matahari telah menenggelam di cakrawala. Semburat matahari pelan-pelan menghilang dari pandangan. Cahaya keemasan berangsur menjadi keremangan. Dan, sebentar lagi gema azan magrib akan bersahutan. 

Ahimsa dan Rakai beriringan menyusuri jalan paving block di bawah lampu penerang tiap rumah warga kompleks menuju rumah. 

Assalamu‘alaikum.” Ahimsa dan Rakai bersamaan menyapa saat berdiri di ambang pintu rumah mereka.

Wa‘alaikum salam,” sahut Ibu yang sedang duduk di ruang tamu. 

“Wah, bawa apa itu, Nak?” tanya Ayah yang keluar dari ruang dalam.

“Cokelat, Yah,” jawab Rakai.

Ahimsa dan Rakai bergantian mengulurkan tangan, bersalaman dan mencium punggung tangan kedua orang tua mereka.

“Ayo, Kak, buka dosnya!” Rakai tampak tak sabar ingin segera menikmati cokelat istimewa dari keluarga Lala.

“Sabar ta, Dik! Hitung dulu terus kita bagi rata.” 

Kakak-adik itu cepat-cepat membuka dos. Dan, ya, cokelat dengan berbagai rasa campuran. Strowberi, cappucino, durian, dan keju.

“Adik mau yang banyak!” pinta Rakai.

“Ya, nggak bisa begitu ta, Dik. Kita bagi sama. Kakak lima belas, Adik juga.”

“Nggak mau! Adik mau dua puluh!” seru Rakai.

“Bunda! Adik itu lo, nggak mau berbagi rata!” Ahimsa menoleh ke Ibu.

“Ya, kasihan kakak ta, Dik! Adik mau berapa?” tanya Ibu.

“Adik mau dua puluh,” jawab Rakai seraya mengucek mata.

“Adik! Ayo dong kasihan Kakak Isa. Besok Adik bisa minta lagi ke Tante Dewi,” rayu Ibu.

“Nggak mau ... hu-hu-hu....” Tangis Rakai meledak. 

Ibu menghela napas putus asa, lalu menyikut siku Ayah. 

“Udah, udah! Kakak Isa saja yang ngalah!” Ayah menatap mata Ahimsa. Kemudian berpaling pada Rakai, “Dan, Adik sekarang diam! Tuh, sekarang Adik dah punya dua puluh cokelat.”

***

Detak jam terus bergulir. Sudah pukul 22.00. Ayah, Ibu, dan Rakai sudah tertidur. Namun, Ahimsa belum bisa memejamkan mata. Dia masih terjaga. Dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia belum bisa menerima perintah ayahnya untuk selalu mengalah pada Rakai. Benaknya berkecamuk. Dia membayangkan betapa enak jadi Lala. Tante Dewi selalu membawakan oleh-oleh cokelat untuk Lala. Dan, Om Bagas tak pernah menyuruh Lala mengalah. Sementara dia! Ya, Ahimsa harus selalu mengalah pada adiknya. Dia langsung menciut bersemuka dengan Ayah yang memintanya untuk berbaik-baikan pada Rakai.

Ah, alangkah bahagia Lala. Anak tunggal. Tak pernah berebut. Fasilitas apa saja ada. Rumah besar. Bahkan ruang tengah luas bak lapangan sepakbola. Setiap pagi Lala diantar ke sekolah dengan mobil.

Ahimsa berpikir, kenapa Ayah lebih sayang pada Rakai? Mengapa Ibu lebih memihak adiknya? Padahal jelas sekali adiknya itu masih kecil. Ahimsa ingin sekali membantah, tapi ia merasa tidak berani. Karena itu ia diam saja. Namun ia menahan kemarahan menggelegak di dalam hati. Ia marah, tapi ia tak bisa. Ia tahu tidak boleh membenci ayahnya, apalagi jengkel kepada ibunya. 

“Lo, Sayang, belum tidur?” suara Ibu tiba-tiba dan sontak membuyarkan lamunan Ahimsa.

Ahimsa hanya menggeleng campur kaget. Dia tak menyadari ibunya bangun. Lala dan kehidupan keluarganya yang semula menari dalam benak Ahimsa serta-merta melayang lenyap. 

“Ayo tidur, Sayang! Udah hampir pukul sebelas tuh. Besok pagi sekolah lo!” bujuk Ibu.

***

Pagi yang cerah. Matahari telah menyorot penuh dari ufuk. Cahayanya membias pada papan-papan reklame sepanjang Jalan Pattimura, Ungaran. Ahimsa duduk di belakang ibunya, berkendara sepeda motor menuju sekolah. Pagi itu, mereka turut memadati jalan raya. Berebut kecepatan dengan para pengguna jalan menuju tempat tujuan masing-masing. 

“Nak, jangan lupa nanti beli roti di kantin ya!” kata ibunya. “Kakak tadi kan belum sarapan.”

“Ya, Bun.”

Tepat pukul 07.05, mereka memasuki halaman parkir SD Assalam. Pelataran parkir itu lengang. Ya, mereka memang sudah telat kurang-lebih setengah jam dari kebiasaan. Ahimsa dan mayoritas peserta didik SD Assalam biasa tiba pukul 06.30. Padahal sekolah baru memulai waktu belajar pukul 07.30.

“Ini Rp 5.000,- buat jajan roti.”

“Makasih ya, Bun,” sahut Ahimsa seraya mencium tangan sang ibu. “Assalamu‘alaikum.” 

Wa‘alaikum salam” jawab Ibu sembari mengangguk dan mengulas senyum kepada Ahimsa.

“Eh, sebentar, Sayang!” seru Ibu menghentikan langkah Ahimsa. “Tadi pagi Ayah nitip uang buat jajan siang Kakak. Terserah Kakak nanti mau jajan apa. Ayah hanya berpesan, Kakak jangan bilang ke Adik kalau dapat uang jajan banyak! Karena Dik Rakai kan belum saatnya pegang duit.”

Ibu mengulurkan lembaran uang kepada Ahimsa. Ahimsa kaget. Ia tak menyangka ayahnya akan memberi tambahan uang saku. Ia pun menerima dua lembar uang sepuluhan ribu rupiah tersebut. Lantas ia mencium kembali punggung tangan ibunya. Ia tak mengucap sepatah kata pun. Mulutnya terasa terkunci. Ia membalik badan dan setengah berlari menuju pintu gerbang sekolah. Mata Ahimsa berkaca-kaca. Ia tak kuasa menahan rasa haru. Ibunya. Ayahnya. Mereka, ternyata tak seburuk yang Ahimsa sangka.  

Ungaran, 19/03/2017: 13.47; dan 13/11/2021: 01.27

Baca juga: Pengin HP

Post a Comment

0 Comments