Mungkinkah Sekolah Tomoe?

Totto-Chan

Mendidik anak tidak sekadar mengajari membaca, menulis, dan berhitung. Memang perlu, tapi tidak mencukupi. Jauh lebih utama adalah mengakrabkan hal ihwal sehari-hari.

Betapa mengakrabi peristiwa adalah pintu mengenal Tuhan. Dan sejak dini, anak mesti dididik untuk menghayati peristiwa-peristiwa keseharian. 

Tetsuko Kuroyanagi mengalami pendidikan macam itu. Pendidikan yang merangsang dia untuk memperhatikan hal-hal remeh yang acap kali luput dari perhatian banyak orang. Dalam Totto-Chan, ia menceritakan: para orangtua murid sekolah Tomoe mesti membekali anak dengan “yang dari laut” dan “yang dari gunung”. 

“Yang dari laut” adalah makanan yang berasal dari segala yang hidup di air. Sementara “yang dari gunung” merupakan makanan dari segala yang hidup dan tumbuh di darat. Sebelum acara makan, Tetsuko dan teman-temannya diminta menyebutkan bekal “yang dari laut” dan “yang dari gunung” mereka masing-masing. Sebuah pembiasaan untuk memperhatikan. Pembiasaan mencermati asal muasal yang akan mereka makan. 

Sayang, Tomoe Gakuen itu terbakar habis dalam Perang Dunia II. Sekolah Tomoe yang unik itu hancur, dan kita hanya mengetahui dan mencecap sisa aroma pendidikan yang membebaskan dalam buku autobiografi Tetsuko kecil, Totto. Kita merasakan denyut seorang pendidik yang menghayati segala hal yang dididiknya. Pendidik yang memahami kesulitan anak. Pendidik, yang lantas mengajak murid, bekerja sama menemu solusi. 

Namun syukur kemudian saya mengenal Charlotte Mason. Seorang pendidik sekaligus filsuf jauh sebelum Tetsuko Kuroyanagi belajar di Tomoe. Sebagaimana gambaran di Tomoe Gakuen, Charlotte ini pun bukan seorang guru biasa. Ia lahir di Inggris pada tahun 1842, enam tahun sebelum Karl Marx dan Engels menerbitkan Manifesto Komunis

Charlotte adalah perempuan progresif yang mengusung pendidikan liberal, yakni pendidikan untuk semua, tanpa membedakan ras, gender, dan kelas sosial. Ia merumuskan prinsip pendidikannya, yang merupakan turunan dari filosofi Plato, pengetahuan adalah ranah budi. 

Karena budi, Charlotte merumuskan pendidikan itu usaha pemuliaan karakter. Karakterlah yang menjadi parameter prestasi belajar. “Karakter magnanimity.” ungkap Charlotte. Yakni kesanggupan untuk berpikir tinggi, sekaligus hidup membumi.

Gambaran seseorang yang telah mempribadi. Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi yang berwawasan luas dan berkebajikan. Ada tiga prinsip menuju magnanimity. Pertama, pendidikan adalah atmosfer. Anak menghirup atmosfer nilai, keyakinan, pengetahuan, hingga persoalan gaya bicara, berpakaian, ketika marah, bercanda, menyapu lantai, atau mencuci piring, dan sebagainya. 

Sebagai atmosfer mengisyaratkan, orangtua, guru, dan siapa saja yang bersanding dengan anak, mesti serius menggarap diri. Saat ini juga, tidak bisa ditunda-tunda. Harus bersungguh-sungguh menjalani proses menjadi orang dewasa. Yang mengerti visi hidup. Yang memahami psikologi perkembangan anak. Dan yang (sekaligus) tidak menjadi benalu di tengah lingkungan sosial.

Kedua, pendidikan adalah disiplin. Sembari menghirup atmosfer, si anak juga dilatih kebiasaan-kebiasaan luhur. Ada pembiasaan. Juga simulasi. Yang terjadwal. Sehingga orangtua/pengasuh/guru-anak terlibat dalam kerjasama: menyeharikan kebiasaan-kebiasaan baik.

Ketiga, pendidikan adalah kehidupan. Prinsip yang melatari pentingnya bacaan berkualitas, living books. Prinsip yang menegaskan bahwa anak terlahir sebagai pribadi utuh. Pribadi yang tak hanya kebutuhan raga yang mesti kita perhatikan, tetapi juga kebutuhan jiwa. 

Kebutuhan raga penting dipenuhi. Karena ia yang menopang kelangsungan hidup. Namun, Charlotte memandang bahwa hidup kita tak akan memadai tanpa menengok kebutuhan jiwa. Jiwa juga butuh asupan untuk tumbuh. Bahkan dalam tradisi tasawuf, pemenuhan gizi spiritual ini merupakan pokok ajaran.  

Apa itu makananan jiwa? Apa itu asupan spiritual? Charlotte mengatakan bahwa ide atau gagasan besar itulah makanan spiritual. Dengan gagasan besar, anak akan siap terjun ke kancah kehidupan sebagai pribadi yang berkarakter: cerdas sekaligus bermoral. Dan pendidikan sedianya bisa menghidangkan menu itu. Pendidikan, selain sebagai formasi kebiasaan-kebiasaan baik, adalah sebagai  perjumpaan gagasan-gagasan besar. Gagasan yang terhebat, termulia, dan terbaik.

Dari mana gagasan atau ide itu kita peroleh? Bisa dari mana saja, apa saja, dan dari siapa saja. Namun untuk kebutuhan praktis, bisa kita peroleh dari buku-buku, baik fiksi maupun nonfiksi yang bercita rasa sastrawi dari para penulis yang berdedikasi tinggi. Charlotte menyebutnya living books

Charlotte menerapkan buku-buku terbaik dari para penulis hebat sebagai basis belajar. Buku-buku yang bermutu sastrawi. Buku yang kemudian bisa menggugah dan mengembangkan karakter luhur anak. Jadi jelaslah, selain mencipta atmosfer dan melatihkan kebiasaan-kebiasaan baik, pendidik kudu menghidangkan living books. Niscaya magnanimity bertumbuhkembang dalam diri anak.

Nah, karena bermuara pada pemuliaan karakter, dalam konteks sekarang, saya kok melihat hanya pendidikan keluarga dan pesantren yang pas, bukan lembaga sekolah.  Di keluarga, anak menghirup apa adanya keseharian rumah dan orangtua. Yang akan membekas kuat dalam benak sang bocah dan lambat laun menjadi karakternya. Pun dengan pesantren, guru, pengasuh, kiai, dan murid atau santri setiap hari hidup bersama-sama. Siang malam makan, bermain, belajar, dan bergaul bersama-sama. Santri menghirup atmosfer belajar dari keseharian secara nyata dan baik. 

Dua institusi ini, keluarga dan pesantren, terbukti lebih mudah dan ampuh menanamkan gagasan-gagasan luhur dan menumbuhkan keseharian yang bersahaja. 

Namun, adakalanya justru orangtua yang acap kali menjadi batu sandungan masa depan anak. Lantaran orangtua gagal menggarap diri, mendewasakan diri. Orangtua tak sabar menata kebiasaan-kebiasaan baik kepada anak. Orangtua enggan menyandingkan sang buah hati dengan buku-buku berkualitas. 

Akhirnya, orangtua hanya pasrah begitu saja menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah, yang saya tahu jelas-jelas terbukti tidak menampilkan kehidupan apa adanya, selain kepentingan penyuplai tenaga kerja. Saya jarang melihat dan mendengar seorang guru sekolah mau tampil apa adanya di hadapan peserta didik. Yang umum saya dengar, guru tampil serba tahu dan suka berceramah.  

Padahal keseharian yang apa adanya itulah yang membekas jelas di benak. Tanpa rekayasa, tanpa topeng. Sementara di sekolah, para guru lazim mematut diri mesti kelihatan berwibawa, harus kelihatan tidak bodoh. Akhirnya, atmosfer pendidikan formal saat ini bak fashion show, seperti peragaan, jauh banget dari gambaran pendidikan yang dialami Tetsuko kecil, si Totto-Chan. Atmosfer sekolah hari ini masih lebih mengedepankan tata tertib dan disiplin tinggi, tapi minim keteladanan. Minim bacaan yang living books. Minim eksplorasi diri sang bocah.

Lantas, mungkinkah sekolah Tomoe dikembangkan? Entahlah! 

Ungaran, 15/11/2021

Baca juga: Pendidikan Bertanya 

Post a Comment

3 Comments