Nomor Handphone Itu

Di lemahbang

Aku biasa bangun pagi. Paling tidak pukul 05.00 sudah mematung di depan layar televisi, sembari menyeruput kopi racikan istriku. Kalau tidak selera pada acara televisi, buka Facebook di laptop jadi pilihan.

Pagi ini, entah kenapa, aku tak tertarik sajian televisi. Semua stasiun, tak terkecuali, tiba-tiba saja serasa membosankan. Berita olahraga, gosip selebritas, ceramah agama, dagelan Senayan dan Istana, sama sekali tak menggoyahkan hatiku untuk melirik. Meski layar kotak itu tetap menyala.

Melihat ocehan di jejaring sosial serasa lebih menarik ketimbang jadi pemirsa televisi. Bisa interaktif, meski tak saling kenal, tak pernah bertatap muka. Berjejaring sosial sama dengan berkesempatan menuliskan pikiran, menulis gerundelan. Syukur, ada yang menanggapi atau setidaknya membubuhkan tanda suka. Tebih terasa lagi kalau ada yang membagikan pikiran tersebut ke beranda lain.

Nah, pagi ini, kusentuh nama akunku. Mencari-cari apa yang patut kuhidangkan hari ini buat menyapa karib, meski sekali lagi belum pernah ketemu. Tentang kebosananku atas televisi! Ceramah ustadz yang nyaris tak menyentuh persoalan keseharian masyarakat urban! Yang tak punya keberanian mengkritik atas ketimpangan sosial! Yang hanya berenda-renda dengan surga-neraka, fadhilah salat berjamaah, atau terutama bersabar.

Ah, entahlah. Apa yang mesti kutulis hari ini masih mengawang. Kugaruk kepala, tak kunjung datang ide yang hendak ditulis.

Lama aku menatap layar laptop. Terpaku membaca satu demi satu unggahan status kawan-kawan. Namun, sekali lagi, tak kunjung terbit pikiran yang hendak kutulis. Hingga, “Yah, lagi ngapain? Itu lo, baju-baju yang kotor sudah numpuk.” Lantang suara istriku sontak menyadarkan: hari ini jadwalku mencuci.

Ya, aku dan istri telah bersepakat, dua hari sekali jatah mencuci. Dan bersepakat pula, dalam kondisi apa pun, akulah yang berkewajiban mencuci. Tidak istriku, mesin cuci, apalagi jasa binatu.

Kutinggalkan laptop dan bergegas ke kamar mandi. Menuang sedikit air dalam ember lebar yang biasa kugunakan merendam cucian. Satu deterjen ukuran 45 gram kutuang ke dalamnya. Aduk memutar ke kiri dengan tangan kiri pula. Hal itu terinspirasi celoteh seorang kawan: memutar ke kiri adalah wujud perlawanan terhadap kapitalisme. Lantas: baju, celana, kaus, seragam sekolah anak, seragam istri, sarung, kain kerudung istri, kaus kaki, dan semua kumasukkan dalam rendaman. Kurang-lebih sepuluh menit aku biarkan terendam.

“Ayah, nggak capek kan mencuci sendiri?” tanya istriku kemudian, setelah melihatku selesai merendam semua pakaian kotor.

“Ya, nggaklah, Bun! Kan memang ini sudah jadi tanggungan Ayah. Lagipula Ayah juga suka kok,” jawabku.

Ya, sembari menunggu deterjen merata, aku tengok sebentar layar laptop yang belum kumatikan. Ternyata sudah banyak unggahan status yang melenggang. Seraya menyeruput kopi yang tinggal separuh, kubaca sekilas-sekilas semua kabar yang tersiar, karena memang tak ada perbaruan pikiran yang menggugah. Belum ada yang perlu dikomentari, paling banter hanya beri tanda suka.

Bau khas deterjen belum menyengat. Berarti aku masih harus menunggu beberapa menit lagi. Sudah tak sabar, kedua belah tanganku ini ingin segera menjamah rendaman. Akan aku kucek, urut satu demi satu, dari milik istriku, anak sulungku, bungsu, dan terakhir milikku. Lantas aku bilas berbarengan, sembari mengkhayal tentang keharmonisan keluarga.

Entahlah, awal persisnya bagaimana, tahu-tahu beberapa bulan ini aku sangat menikmati aktivitas mencuci. Beda dari bulan-bulan sebelumnya, apalagi ketika anak sulungku belum masuk sekolah. Saat itu aku benar-benar malas. Belum bisa merasa kenikmatan mencuci. Mencuci adalah beban, pekerjaan rumah yang membosankan. Malah pernah, suatu ketika, tak jarang aku menggunakan jasa pencuci saking tak enak hati melihat tumpukan pakaian kotor. Pernah pula aku merayu istri agar sedia menyisihkan uang belanja buat beli mesin cuci. Dan, syukurlah, hingga kini mesin cuci tak pernah hadir di tengah-tengah kesempitan ruangan gubuk mungilku ini.

Ya, bulan-bulan ini aku amat menikmati. Mencuci jadi momentum atau kesempatan menghitung-hitung kesalahan diri sendiri. Ketika menyikat daki yang melekat ke pakaian istri, bayang istriku yang kecapekan, seharian mengatur kebutuhan dan menjaga stabilitas keluarga, tercetak jelas dalam benak. Istriku yang pontang-panting menyayangi kedua jagoan tak sepatutnya kulalaikan. Kaus kakinya yang kukucek adalah kaus kaki yang ia gunakan buat menemaniku jalan-jalan. Pun lembaran kain kerudung, kubayangkan helai rambutnya yang ia lindungi dari terik panas matahari dan jangkauan mata liar lelaki iseng.

Begitu pula ketika menyentuh rendaman pakaian kedua anakku. Kejadian yang sudah kulewatkan bersama mereka pun jelas-jelas menari di pelupuk mata. Berkait dengan ketaksabaranku menghadapi kelucuan, keusilan, dan kelincahan anak-anak. Betapa aku tak mengerti menanggapi mimpi-mimpi mereka. Betapa galak aku ketika menimpali kecengengan mereka. Ya, aku gagal paham menyikapi minat sang sulung dan si bungsu. Terakhir, pakaianku. Hmmm, bersama kaus, baju, atau celana yang kukucek, serasa turut menyaksikan pikiran, perasaan, dan tingkahku yang acap memaki keadaan. Belum ikhlas atas situasi yang seolah tak pernah mendukung rencana-rencanaku. Gampang naik pitam, begitu disinggung masalah pekerjaan.

“Yah, sudah sepuluh menit lebih!” suara istriku yang tak jemu mengingatkan. Selalu ia mengontrol. Sudah lebih dari sepuluh menit, aku duduk di depan laptop. Dan, kini, bau khas deterjen telah menyengat, tujuh langkah dari tempatku duduk menuju kamar mandi. Artinya, deterjen konsentrat memang benar-benar sudah merasuk dan menggerus bau kotor pakaian. Lantas kuberanjak, tinggalkan layar laptop, dan tak menyisakan setetes pun kopi dalam cangkir. Sembari tak ketinggalan menenteng kursi kecil, kulangkahkan kaki, mendekati ember yang menyembulkan rendaman itu.

Sebelum aku kucek, satu, satu aku angkat lagi. Aku periksa, terutama seragam istriku, yang kerap meninggalkan lembaran uang dalam saku. Ya, supaya tak larut bersama buih. Hancur tak bisa digunakan lagi. Ternyata tak salah dugaanku, ada lembaran yang harus diamankan dari gerusan deterjen. Bukan lembaran uang seperti biasa, melainkan kertas memo yang terlipat. “Untung belum hancur! Ah kebiasaan naruh sembarangan,” batinku. Namun, deg! Hatiku berdetak kencang. “Jangan lupa nanti sore telepon aku ke nomor 0xxxx! Dan ingat, jangan sampai ketahuan Kafha!” Itulah tulisan tangan yang tertera jelas di atas kertas lipatan dalam saku istriku.

“Tulisan siapa ini? Cowok atau cewek? Kenapa harus main rahasia, tanpa sepengetahuanku? Aku belum kenal nomor ini....” Segudang pertanyaan terus meneror hatiku.

Lagi aku perhatikan tulisan tangan itu. Bentuk huruf membulat. Huruf kecil yang digunakan bulat, terbuka, dan menyerupai huruf cetak di buku-buku. Ah, buntu. Belum terpikir tulisan siapa gerangan.

Kurang ajar! Aku mengucek tak lagi satu-satu seperti biasa, tapi serampangan. Tak lagi urut, tapi sekenanya. Tidak ada lagi ritual menghitung kesalahan diri. Sebaliknya, curiga pada istri. Kembali aku mengingat-ingat.

Kertas lipatan itu dalam saku seragam yang kemarin pagi istriku pakai. Berarti kemarin sore orang itu menelepon. Kemarin sore pula aku tak di rumah. Aku menarik napas dalam-dalam. Coba menenangkan gemuruh di dada, yang tiba-tiba dilanda cemburu. Berkali-kali aku mengucek pakaian, tetapi aku tetap gelisah. Aku kucek dan sikat sekuatnya.

Usai mengucek, aku bilas sembari menahan geram. Aku tak bisa menghilangkan “jangan-jangan”. Ya, jangan-jangan orang itu.... Ah, aku takut meneruskan. Jangan-jangan istriku punya.... Ah, tidak! Tuhan, jangan sampai sangkaanku jadi kenyataan. Namun tulisan tangan itu terus membayang.

Kebiasaanku membilas cucian: milik istri, kedua anakku, dan milikku, satu-satu kugabung, seakan dalam satu ikatan, dengan beberapa kali perasan. Begitulah. Kucelupkan dan kuangkat, gabungan satu-satu pakaian kami berempat. Berulang-ulang hingga tak menyisakan buih dan bau kotor. Yang kubayangkan saat membilas dengan menggabungkan tak lain adalah kebersamaan kami yang kukuh. Harmoni dan keteguhan kami sebagai keluarga kecil yang kompak dan saling menguatkan. Tak ada yang sia-sia dan tak secuil pun angkara bebas mengeram dalam hati.

Namun hari ini! Huh, serasa omong kosong.

Hmmm, anak-anakku masih kecil, sementara aku terus menua. Namun istriku.... Duh, nomor siapa itu?

“Yah, udah selesai belum? Sudah hampir setengah tujuh nih, saatnya sarapan dan Isa juga belum mandi,” lagi-lagi suara istri dari dapur mengingatkan agar aku segera memungkasi ritual mencuci.

“Iya, sedikit lagi!” Aku menjawab sembari menggelengkan kepala, menahan emosi. Namun istriku tak melihat perubahan roman mukaku pagi ini. Ia masih sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.

“Oh iya, Yah, Bunda nanti siang ke pasar ya! Tolong nanti Ayah yang jemput Isa!”

Diam-diam aku menggeram. Sendirian.

Ungaran, 20/01/2016: 17.54

Baca juga: Sukinah

Post a Comment

0 Comments