Sukinah

Sukinah

“Saya masih ingat, Mas. Saat itu, 16 Juni 2014. Iring-iringan polisi dan tentara yang panjang menuju rombongan kami, ibu-ibu petani. Mereka gagah-gagah. Kontras dengan kami, yang hanya ibu-ibu desa bercaping dan berkerudung seadanya.”

Perempuan desa, saban hari menggeluti sawah, tapi tak lantas hitam. Kulitnya bersih. Rambutnya lurus. Sorot matanya tajam, seakan memendam kemarahan yang mendalam. Dia mengenalkan dirinya Sukinah. Dia mempersilakan aku duduk di atas ambin, pojok kanan  di bawah jendela. Ambin itu satu-satunya perabotan di dalam ruangan utama rumahnya. Ya, rumah yang nyaris tanpa perabotan.

Ditemani Japar, suaminya, Sukinah yang mengenakan kemeja panjang biru sampai bawah lutut, kembali mengoceh.

“Coba Mas rasakan! Keinginan petani itu kan tidak neka-neka. Kami hanya menginginkan hidup rukun. Kami tak pernah bersaing mencari keuntungan. Buat apa uang banyak-banyak, kalau sudah mencukupi kebutuhan makan. Bisa bayar listrik. Membiayai anak sekolah. Maka, datangnya pabrik semen itu, benar-benar mengganggu ketenteraman warga desa di sini. Sepertinya pengusaha semen itu tidak mikir, usahanya bakal merusak sawah-sawah. Merusak ladang. Mematikan sumber air. Membunuh sapi-sapi. Lah, kalau air habis, kami akan minum apa? Terus padi-padi itu akan tumbuh pakai apa, kalau nggak ada air. Lantas sapi-sapi kami juga akan kelaparan, kalau tak ada jerami.”

Matahari hari ini cukup menyengat untuk udara Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Menjelang tepat tengah hari, angin Pegunungan Kendeng Utara membuat aku berkali-kali menguap. Ya, kemungkinan akibat tadi bersepeda motor 4 jam dari Semarang. Namun aku harus menyimak. Aku mesti mencatat detail penjelasan Sukinah. Aku lirik Japar manggut-manggut, seolah-olah membenarkan omongan istrinya. Aku ingin menyela dan menanyakan sesuatu pada Sukinah, tapi dia kembali melanjutkan paparan.

“Anehnya, Mas. Bupati Rembang, bahkan Gubernur yang ganteng dan langsing tinggi itu tak pernah menunjukkan keprihatinan atas pendirian pabrik semen. Malah sebaliknya, mendukung dan melindungi semen.”

“Melindungi bagaimana, Mbak Nah?” Alhamdulillah aku bisa memotong ceritanya. 

“Ya, jelas ta, Mas. Awal-awal sudah saya ceritakan. Saat peletakan batu pertama pabrik P.T. Semen Indonesia, di sana telah berbaris menyeramkan rombongan serdadu. Bersenjata lengkap. Sementara kami, ibu-ibu petani, hanya bermodal semangat. Modal niat menyelamatkan Kendeng. Coba, Mas bayangkan! Apakah wajar, serdadu lengkap pada zaman sekarang menghalau warga petani yang tak bersenjata? Padahal kami bukan penjahat. Kami tak memberontak. Kami setia pada tanah leluhur. Namun mereka justru memperlakukan kami layaknya musuh. Memperlakukan kami seperti penjahat negara. Nah, Bupati Rembang berdiri di belakang mereka. Melindungi semen dan menuding kami sebagai penghambat pembangunan.”

“Pernah juga, Mas. Suatu hari, Bapak Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda...”

“Sebentar, Mbak. Tenda! Apa maksudnya?” Kembali aku menyela.

“O, Mas belum tahu soal tenda perjuangan?”

“Ya, hanya lamat-lamat mendengar sih, Mbak. Namun tak mendetail. Beberapa kawan di Semarang juga pernah cerita, tapi saya belum puas kalau tak mendapat keterangan langsung dari Mbak Nah.”

“Ah, Mas ini bisa saja. Ha ha ha....”

Syukurlah. Sejuk rasanya. Aku melihat dan mendengar Sukinah tertawa lepas. Sejak awal menginjak kaki di pelataran rumahnya, hanya mendapat sambutan raut muka perempuan lusuh. Sepasang mata waspada. Ya, aku maklum. Sukinah pantas curiga atas kehadiranku. Namun pelan-pelan, kecurigaannya mengendur ketika kusebut nama Emon dan Mas Doni. Entahlah. Seberapa dekat hubungan dua karibku itu pada Sukinah. Aku tak tahu. Namun lantaran kedua nama itu, aku bisa melenggang memasuki Desa Tegaldowo dengan gampang. Nama yang cukup ampuh menghapus kecurigaan Sukinah dan Japar.

“Begini, Mas. Saya ulang lagi. Biar nanti kabar yang Mas dapatkan tidak lagi katanya. Pada saat peletakan batu pertama, kami menghalangi iring-iringan aparat tentara dan polisi. Kami menghalangi laju mereka dengan merebahkan tubuh di tengah jalan. Dan, aparat keamanan itu marah. Mereka mengangkat tubuh-tubuh kami. Kami meronta. Kami tak sudi menyingkir ke tepi jalan. Tekad kami sudah bulat. Peletakan batu pertama itu harus digagalkan. Namun, Mas. Polisi-polisi itu bertindak kasar. Brutal. Kami diangkat dan dilemparkan begitu saja ke semak-semak. Kami seperti kucing, yang diseret-seret ke tepian jalan. Bahkan ada ibu yang bajunya robek ditarik polisi. Ada pula yang mulut dan hidung memar karena tamparan tangan polisi.”

“Itu kejadiannya siang hari, Mas. Mereka berhasil masuk, setelah kami terduduk lemas di tepian. Duri-duri semak yang menancap kaki dan sebagian tubuh, sudah tak kami rasakan. Ya, tak sebanding dengan rasa sakit kami menyaksikan aparat keamanan dan pejabat pemerintah yang tuli dan buta atas nasib kami. Sakit, Mas. Benar-benar sakit. Katanya negeri ini sudah merdeka. Negeri ini sudah bebas dari penjajah. Namun apa yang kami terima? Bukan pengayoman dari seorang bupati. Bukan welas asih dari seorang gubernur. Melainkan hinaan dan tuduhan. Kami dihina layaknya kucing atau anjing hutan, yang begitu gampang dilemparkan ke semak belukar. Mereka begitu enteng merobek baju dan memukul kepala kami.”

“Nah, malam hari, kami memutuskan bermalam dan mendirikan tenda di lokasi itu. Sejak itu, secara bergiliran, ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan berjaga di tenda hingga hari ini. Nah, bisa Mas hitung, sudah berapa tahun kami menghuni tenda. Dan, sama sekali belum ada tanggapan serius dari gubernur, apalagi bupati.”

Sukinah terus bertutur. Japar setia mengiyakan setiap kalimat yang meluncur dari mulut istrinya. Aku duduk di tengah mereka. Sesekali aku melongok ke jendela. Aku merasakan matahari siang ini bersinar garang. Aku merasa pula kegeraman dan ratapan pilu perempuan desa itu. Aku hampir saja menangis. Menangisi keteguhan Sukinah dan kesetiaan Japar. Kiranya tak sungkan pada Sukinah, air mataku sudah menderas.       

“Begitulah, Mas. Nah, Pak Ganjar, Gubernur yang boros janji itu menyempatkan mampir ke tenda.”

“Kapan, Mbak?”

“Wah, Mas, saya sudah lupa kapan Pak Ganjar menyambangi kami. Namun yang saya ingat dan itu sangat-sangat membekas. Mungkin seumur-umur tidak akan bisa saya lupakan, ketika Gubernur bertanya ‘Sudahkah membaca Amdal?’ Ya, sepontan saya jawab, ‘Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu. Yang kami tahu ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami’.” 

“Terus tanggapan Gubernur apa, Mbak?” 

“Walah, Mas. Dia itu bukan menanggapi keluhan kami, melainkan malah minteri. Dia balik bertanya, kenapa warga tidak protes atas kehadiran perusahaan tambang. Ya, kami jengkel kan, Mas. Dia itu sok bijaksana, dengan berdiri sebagai penengah. Berdiri di antara P.T. Semen Indonesia dan kami, warga Gunem. Dia menantang kami untuk berdialog bersama pihak semen, dan dia wasitnya. Namun apa, Mas? Sampai hari ini, janji itu hanya sebatas janji. Sudah hampir dua tahun, tenda kami pertahankan, selama itu pula pabrik terus beroperasi. Saban hari truk-truk besar terus saja lalu-lalang di depan tenda kami.”

“Itulah, Mas. Coba Sampean pikir?” sahut Japar, “Apakah pantas Gubernur yang tak bisa  meyakinkan warga hidup tenang ini, terus didukung? Kalau saya ya, tidak. Gubernur seperti itu ya, pantas dibuang ke sungai atau dimasukkan karung. Digantung di dahan pohon mahoni dan dipukul ramai-ramai.”

Hmmm, aku tak menyangka, Japar yang semula diam, tiba-tiba menyahut dan omongannya tak kalah pedas dari Sukinah. Ya, Japar mewakili kepiluan para suami Tegaldowo dan Timbrangan. Ratapan kesedihan yang sebenarnya. Ratapan yang tak dibuat-buat. Aku saksikan Japar memandang hamparan halaman rumah, sambil berlinangan air mata.

Melihat air mata suaminya mengucur perlahan, Sukinah beranjak dari hadapanku, masuk ke dalam. Entah apa yang kemudian dia lakukan di belakang. Mungkin saja mau menambahi hidangan. Kesempatan singkat itu lantas aku maksimalkan untuk mengorek keterangan dari Japar, kenapa membolehkan istrinya bertahan di tenda. 

Setengah berbisik dan berkali-kali menyeka air mata, Japar menjelaskan: “Ya, kalau laki-laki yang mendiami tenda, tidak akan bertahan lama, Mas. Pastilah, tak lebih dari seminggu sudah dipaksa bubar oleh polisi. Dan, pasti pula bentrokan tak terelakkan. Nah, kan lain kalau yang bertahan di tenda para ibu. Paling-paling hanya adu suara, tak sampai terjadi kekerasan fisik yang mematikan.”

“Eh, omong apa kalian? Kok bisik-bisik.” Sukinah keluar dari ruangan dalam sambil membawa kendi dan sapu tangan. Sukinah menyerahkan sapu tangan kepada Japar. Lantas Japar menyeka air mata dan bintik-bintik keringat pada wajah serta leher. 

“Ah, nggak ada apa-apa, Mbak. Tenang saja. Nggak ada hubungannya dengan Gubernur atau Bupatilah.” Aku mencoba mencairkan suasana. Memang hari ini, matahari serasa mengganas. Panasnya sangat menyengat. Berkali-kali pula aku menyeka keringat.  

“Siapa mereka?” Tiba-tiba Sukinah tercekat dan menunjuk ke luar. Aku dan Japar tanpa aba-aba bersamaan melongok ke jalan. Aku menggeleng tak mengenal mereka. Japar juga tak mengetahui. Sukinah serius memandang dua sosok tinggi gelap itu mendekat. Japar tampak waspada. Rasa takut tiba-tiba menyelimutiku. Aku bayangkan tubuhku kecil. Sekiranya berkelahi tak mungkin menang. Apalagi berhadapan dengan dua orang. Dua sosok itu mendekat rumah Sukinah. Kami bertiga diam. Tegang. Terutama aku, yang seumur-umur belum pernah berhadap-hadapan langsung dengan preman, polisi, atau tentara. Inilah gara-gara orang yang haus informasi. Namun tidak dibarengi bekal bela diri yang cukup. Sial! 

“Mas, di pojok dekat pintu belakang ada tongkat. Jaga-jaga saja, kalau kemungkinan buruk terjadi, langsung saja Mas gunakan!” bisik Japar di samping telinga kiriku.

“Ya, Mas.” Aku berusaha tegar, sembari terus melangitkan bacaan salawat dan Ayat Kursi. Mataku tajam mengawasi dua sosok hitam itu. Kulit mereka gelap. Berkaus dan celana panjang hitam. Aku terus melafalkan Ayat Kursi. 

Dan, aneh! Rasa takutku tiba-tiba menghilang. Aku tak mengerti pasti, jin atau malaikatkah yang menyusup ke dalam perasaanku. Aku maju ke luar rumah, mengadang dua sosok asing itu. Dua orang itu terus melangkah mendekat. Lima belas langkah dari hadapanku. Salah satu dari mereka menyulut rokok. Sementara mulut kawan satunya tampak menggigit batang korek api atau ranting, belum jelas. Sukinah dan Japar masih berada di dalam. Aku tetap waspada mengawasi. Ya, mereka makin dekat. Mendekat. Namun kawan, sungguh aku sama sekali belum pernah mengenali mereka. Belum pernah melihat raut muka mereka, baik langsung maupun lewat media sosial.

Keringat membanjiri sekujur tubuhku. Kalimat takbir dan tahlil tak henti-henti aku lantunkan dalam hati. Sontak aku terenyak. Tangan halus menyentuh pergelangan kakiku. “Ayah! Bangun, Yah! Sudah pukul 06.00.” 

Ungaran, 20/04/2016: 17.39 

Baca juga: Pesan Rahma

Post a Comment

0 Comments