Selalu Ada Perintah

Muhammad Zuhri

Tak sedikit orang pintar di sekitar kita. Terlebih di era media sosial, wawasan para cerdik berserakan. Saya bisa beredar ke sana kemari menyimak di balik dinding mereka. Acap kali mencatat petuah bijak mereka. Lantas buku-buku mereka pun turut memenuhi rak perpustakaan di rumah. Lengkap sudah. Saya dapat berlindung di balik kewaskitaan mereka. 

Selesai? Tidak!

Kebijaksanaan mereka tak serta merta mengendap dalam benak. Meski berulang kali membaca, bahkan ada yang sempat saya ikuti paparan langsungnya di sebuah seminar atau diskusi kecil. Itu sebatas wawasan. Tidak lebih, saya tetap berdiri di sini, dia dan siapa saja dari mereka berada di atas singgasana masing-masing. 

Benar adanya, seseorang tidak dapat menjadi seperti apa yang dilihat, didengar dan diinginkannya. Itu hanya referensi. Hanya sebatas tumpuan angan-angan.

Memang, sebagian dari mereka ada yang berhasil memprovokasi. Bahkan mengintimidasi hingga berhari-hari saya tak nyaman di atas tempat tidur. Salah satunya, saya sebut saja, almarhum Wijaya Herlambang yang mengulas dua kutub pekerja kebudayaan. Saya terprovokasi untuk selalu memilah “si A itu siapa dan di posisi mana”, dan terus begitu berhari-hari. Saya menyangka ulasannya benar-benar mewujud dan bergentayangan di sekitar saya. 

Namun lambat laun provokasi itu meredup dan akhirnya menghilang. Kembali ke semula bahwa itu semua hanyalah ilusi, dan saya tetap berdiri di sini. Ia kembali menjadi kilasan referensi saja. Tidak lebih. Bahwa segala paparan khazanah itu tidak lantas menginternal, walau mati-matian saya mengendapkannya. Bahwa perolehan dari safari orang lain tetap tidak menjadi aset  safari saya. 

Bahwa saya berada di tengah para cerdik pandai, sekali lagi memang.  Saya bersua dengan mereka. Bahkan terus terang saya terbantu. Namun, toh saya tetap bukan dia, bukan mereka. Saya tidak menjadi bagian dari rahasia kehidupannya. Pernah saya takjub menyaksikan kegigihannya dalam banyak hal malah, tapi ada titik yang justru meluruhkan saya. Dan lagi-lagi apa yang dilihat, serta apa yang diinginkan, tak lantas menjadi: inilah saya. 

Sehingga tepatlah, insan itu merupakan rahasia Allah (menyimpan misteri). Memasuki lorong diri adalah menyusuri jalan rahasia yang entah akan sampai kapan menemu ujung. Agama telah menuntun. Ceramah dan syair tausiah bertebaran. Kitab suci saban waktu terbaca. Praktik ritual tak ketinggalan. Ketenangan pun saya peroleh. Namun benarkah ketenangan itu yang saya tuju? Tak sesederhana itu. Karena acap kali saya memperoleh ketenangan, tapi saat bersamaan istri galau, dan anak-anak merengek minta perhatian. 

“Kita berjalan menuju Tuhan,” kata petuah. Ah, apalagi itu, sangat dan teramat sangat abstrak. Berarti pengin yang konkret? Tidak juga. Sebab yang konkret akan selalu beriringan dengan kebosanan. Terus? Itulah rahasianya. 

Sampai suatu hari, ketika ada kesempatan untuk berdua, saya wadul ke Muhammad Zuhri, sosok yang sedemikian melekat di hati saya. Seorang guru yang tak menggurui, tapi mengembangkan dan menyadarkan kehambaan. Dan khas seorang tua yang bijak, ia tidak menunjuk saya itu begitu dan seterusnya. Ia hanya mewanti-wanti agar saya tak tergelincir pada tragedi kesadaran. 

Tragedi pertama, kesadaran itu bagaikan pelita yang menyala. Cahayanya terus berkembang hingga titik optimal. “Nah, hati-hati!” katanya, bahwa ketika merasa diri lebih terang dari semua yang lain. Itulah saat kelahiran Iblis di dalam diri manusia, tragedi kesombongan. 

Tragedi kedua, kita adalah makhluk sosial. Hidup bersama orang lain. Dan kita menyadari pula, fasilitas hidup yang ada di depan kita ini sangat terbatas. Nah, ketika kesadaran akan kelangkaan bersinggungan dengan kesadaran akan kebersamaan hidup, maka lahirlah tragedi “sikap mementingkan diri sendiri”. Dan itulah momen kelahiran Setan di dalam diri kita, tragedi keserakahan.

“Jadi Iblis dan Setan itu di sini,” kata Pak Muh sembari menunjuk dada saya. “Bukan di sana dan mereka. Jangan berkhayal! Jangan berprasangka!”

Sungguh, milik Allahlah ciptaan dan perintah itu.” (al-A’raf: 54). Tempo itu Pak Muh mengutip ayat tersebut, buat menguatkan saya agar tidak jatuh dalam tragedi. Dan, syukur “ciptaan dan perintah” itu masih bertahan mengiang-iang di benak saya hingga hari ini. Terlebih, setelah ada dua bocah yang telah memperbaharui status saya, sebagai ayah atas Ahimsa dan Rakai. 

Dua bocah yang sungguh telah bikin saya dan Rahma berarti. Kami serasa bermakna dan memiliki kehidupan. Betapa mereka adalah amanah Tuhan, yang dititipkan ke pundak kami. Betapa mereka menjadi penguji, seberapa serius kami bertanggung jawab sebagai orangtua, selaku ayah-bunda mereka. Betapa mereka adalah parameter, sukses-gagalnya kami bersaksi bahwa Tuhan itu ada. 

Ya, kami adalah tanda untuk turut mengisi benak mereka. Tanda bahwa Tuhan itu ada. Kami hadir di hadapan mereka menjadi saksi Tuhan itu nyata, bukan ilusi. Bukan semata doktrin kosong yang wajib mereka yakini. Benar, kami mesti jadi saksi. Saksi bahwa kami adalah hamba-Nya yang saban hari tak kunjung bosan bermunajat. Yang berdoa sepenuh hati, berharap keridaan, ampunan, bantuan, hidayah, dan selanjutnya, dan seterusnya. 

Kami menjadi tanda di hadapan anak-anak sebagai guide, filosofer, dan orangtua pembelajar. Sebagai guru yang tak menggurui. Yang tak banyak berceramah. Yang tidak sibuk menjelaskan detail kosakata. Pendek kata, orangtua yang tak meremehkan kemampuan atau potensi intelektual anak.

Kami hadir menjadi saksi, yang kudu sigap memikul amanah, yang menjadi hak mereka berdua. Kami mengada mesti menjad bukti, untuk pantang lelah menghidangkan banyak menu bergizi, baik demi pertumbuhan dan kesehatan badan maupun budi mereka. 

Ya, kami harus bisa menyingkirkan buku garing dari santapan kalbu anak-anak. Ganti dengan living book. Kami tidak semestinya mengurung mereka untuk menekuni satu pemikiran atau pekerjaan tertentu, seraya menutup kemungkinan pada bidang-bidang yang lain. Kami wajib hati-hati menyikapi arus spesialisasi, yang kian menderas hari-hari ini.

Jangan sampai mereka merintih dan memprotes, “Tuhan, katanya Engkau maha pemberi rezeki, tapi kenapa kami kelaparan? Tuhan, kalau memang Engkau ada, datangkan asupan yang menghidupkan kemanusiaan kami!” 

Nah betapa, “Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Selalu ada perintah di balik ciptaan.” tutur Pak Muh mengingatkan.

Ungaran, 17/11/2021

Baca juga: Rindu Pak Muh

Post a Comment

0 Comments