Sering terdengar: anak-anak sekarang terlampau lemah daya konsentrasi, kurang membaca, kurang motivasi, kurang mampu mengungkapkan pikiran secara verbal, kurang mampu mendengar secara mendalam, kurang bagus keterampilan motoriknya, dan semacamnya.
Kegelisahan yang kerap saya dengar, setiap kali mengikuti diskusi buku, atau seminar parenting. Benar-benar menggelisahkan, wabilkhusus fenomena generasi tanpa buku. Ya, krisis membaca. Di mana maksud membaca, si anak tidak sekadar bisa menyuarakan huruf-huruf. Tapi, bisakah ia menceritakan ulang atau menuliskan kembali atau berdiskusi dan berargumentasi tentang isi bacaan.Persoalan membaca itu, dan saya mengimaninya, kini tidak sekadar soal minat baca yang rendah, tapi jauh yang lebih penting adalah keterampilan membaca, dan ternyata memang masih teramat kurang. Minat baca rendah, kita tahu itu, yakni anak atau siapa saja yang tahu cara membaca tapi memilih untuk tidak membaca. Membaca belum menjadi sumber kesenangan. Mereka lebih suka mencari informasi dari media audiovisual ketimbang membaca tulisan, terlebih buku.
Lantas, akibat minat baca rendah, mereka terjerat pada situasi kemampuan membaca yang rendah. Akhirnya, menganggap membaca buku itu terlalu membosankan dan sulit. Tidak sabar mengikuti urutan ide yang tersaji di buku. Tidak terbiasa berkonsentrasi dalam rentang waktu panjang.
“Agar bisa membaca dengan baik, benak harus terlatih menggunakan bahasa, berefleksi, dan tekun mengatasi kesulitan. Benak harus dilatih menangkap makna bacaan.” kata Ellen Kristi dalam suatu diskusi kecil di CMid Semarang. “Maka, jangan keburu puas melihat anak bisa membunyikan kalimat. Kita baru boleh puas atas kemampuan membaca anak kalau dia sudah mampu menaklukkan teks sungguhan dengan tata bahasa, kosakata, dan mutu literer yang tinggi.”
Apalagi kita, sebagai oragtua, sadar tak sadar turut menyuburkan krisis membaca. Di hadapan anak-anak, kita enggan membaca buku. Kita tidak suka membaca. Sekiranya membaca pun tak lebih dari tabloid, koran, majalah kriminal, atau malah sekadar khusyuk baca pesan singkat, whatsapp, facebook, dan sejenisnya. Nah bayangkan, bagaimana literasi anak-anak jika saban hari terpapar oleh perilaku kita yang aliterasi!
Sudah jamak, para orangtua, para guru akan menyalahkan peranti gawai, sebagai wujud lari dari tanggungjawab mereka dari mendekatkan anak kepada buku. Padahal orangtua dan guru ibarat pengemudi harus tetap membimbing anak-anak menuju masa depan yang lebih cerah. Merawat generasi yang haus pengetahuan, yang telaten menyuntuki buku sebagai sumber informasi.
Nah, sebagai pengemudi, jangan jadikan gawai sebagai alasan untuk memasrahkan kemudi pendidikan kepada anak. Jangan membiarkannya nyaman dengan piranti teknologis untuk menjelajah ke mana pun dia melenggang tanpa pengawasan. Jangan biarkan pula arah kehidupan anak disetir oleh desakan teman sebaya atau budaya populer di sekelilingnya.
Ellen mengingatkan, kerja otak anak itu sangat terpengaruh oleh lingkungannya, bukan hanya oleh faktor keturunan. Artinya, kita betul-betul tak boleh meremehkan proses pendidikan. Banyak bermain di alam bebas akan merangsang otak secara berbeda dibandingkan banyak bermain video games. Biasa membaca buku-buku bermutu sastra akan mengaktifkan sel otak yang berbeda ketimbang membaca buku-buku teks pelajaran yang cenderung membosankan. Diajak mengobrol secara hangat dan penuh respek akan membentuk jejaring syaraf yang berbeda dibandingkan diperintah-perintah secara diktator dengan nada marah. Sering diajak bepergian ke tempat-tempat baru membentuk otak dengan cara yang berbeda dari terus-menerus jadi anak rumahan.
Tugas orangtua, lanjut Ellen, menyediakan sebanyak mungkin baik kebutuhan tubuh jasmani maupun benak anak. Menyediakan meja yang disiapkan dengan seksama penuh berisi makanan lezat, sehat, dan beragam. Anak-anak akan mengambil apa yang mereka butuhkan, mengunyah, dan mencernanya sendiri dengan gaya mereka masing-masing. Karena pembelajaran sejati berlangsung dari dalam, bukan dipaksakan dari luar, maka supaya pendidikan itu optimal, anak-anak harus diberi kesempatan berefleksi, bergulat dengan pikiran-pikiran mereka sendiri.
Dari situlah, saya membaca nada keprihatinan seorang Ellen Kristi dan kawan-kawan praktisi Charlotte Mason yang lain, karena sekarang ini marak: materi tulisan digantikan oleh materi bergambar, materi informasi pengetahuan didominasi oleh konten audio-visual. Generasi sekarang menjadi generasi media sosial pembaca status, di mana kapasitas berbahasanya terbatas hanya sanggup mencerna bacaan pendek, instan, dan dangkal makna. Kalau disodori buku sungguhan, apalagi yang tebal, langsung menyerah.
Namun, fenomena penggunaan gadget yang berlebihan dewasa ini, sebetulnya hanyalah dampak. Ada sesuatu yang krusial, yang mengganggu pikiran saya, yang jauh membikin miris. Yakni fenomena ayah-ibu yang makin tak punya waktu untuk anak-anak. Fenomena orangtua yang tak sabar menghadapi kebutuhan anak-anak. Fenomena orangtua yang merasa lebih nyaman lembur menggarap pekerjaan kantor ketimbang menghabiskan waktu dua jam untuk mendampingi anak-anak tanpa bantuan orang lain.
Akhir pekan yang berharga, malah dihabiskan untuk melepas anak di arena bermain mal, bermain sendiri, sementara kita sibuk browsing internetan dengan smartphone. Anak bermain ditunggui pengasuh, sementara kita justru asyik berbelanja.
Sehingga wajar saja, keterampilan berbahasa anak mengalami masalah. Kemampuan memahami bacaan, dan menulis tak terasah. Maka, suka tak suka kita harus mau meluangkan waktu dan tenaga. Di tengah kesibukan kita sehari-hari, kita luangkan hadir sebagai mentor anak-anak. Mengajak anak bermain, berdiskusi, hinggai melatihnya berpikir secara logis dari argumen ke argumen.
Pajang buku-buku bacaan berkualitas di ruang tamu dan kamar tidur anak. Jangan biarkan anak terpapar oleh buku picisan yang berbahasa ala kadar. Atur jadwal nonton TV, main game online. Syukur lagi jika di rumah tidak ada TV. Syukur jika orangtua bisa membatasi diri menggunakan gawai.
Dan, pelan-pelan bikin acara (ini yang pokok ingin saya ungkapkan): sesi reading group di rumah. Yakni acara baca buku yang diikuti seisi keluarga. Ayah-ibu, dan anak-anak duduk bareng melingkar baca novel (usahakan novel yang “berat” dan tebal) seminggu sekali selama 1,5 jam.
Proses pembacaan ala siput sawah (pinjam istilah dari Sigit Susanto), akhirnya, karena dalam sekali pembacaan paling banter kita hanya menyelesaikan dua sampai lima halaman. Dan, pengalaman yang kami lakukan satu novel selesai dalam waktu setahun. Jadi teknisnya, si ayah atau ibu membacakan teks secara lantang, yang lain menyimak. Kemudian, dari kalimat ke kalimat dikupas secara detail. Berikutnya, masing-masing mengungkapkan atau menarasikan ulang hasil bacaan setelah sesi pembahasan teks secara mendetail itu selesai.
Dengan demikian, segenap anggota keluarga terbiasa dengan bacaan yang ada di buku.
Kafa billahi syahida!
Ungaran, 04/12/2021
Baca juga: Bikin Taman Buku di Rumah
13 Comments
Astagfirullah, semoga Alloh mengganti kekurangan saya sebagai ibu menjadi sahabat literasi anak-anak di rumah. Takutnya nanti kalau saya meninggal, mereka malah mendoakan gawainya, bukan orang tuanya.
ReplyDeleteAaaamiiiin...thanks ya, Mbak, telah berkenan mampir ke sini. Dan, makasih juga turut menandaskan betapa "anak lebih sayang gawai ketimbang ortu."
DeleteBuruk muka, cermin dibelah. Anak suka main hp, eh hp yg disalahkan. Ya seperti pisau bermata dua. Mau kita manfaatkan gawai dgn bijak, atau cuma buat senang2 tiada makna. Banyak cerita anak berkualitas, tersedia di internet. Diakses dgn hp, diunduh gratis, dinikmati secara mendalam seperti buku cetak. Saya salah satu yg berkontribusi dalam platform cerita anak dari India, dalam.berbagai bahasa termasuk Indonesia dan Jawa, banyak buku anak bagus di sana untuk menumbuhkan minat baca. Tinggal bagaimana kita sebagai orangtua mengarahkan
ReplyDeleteMantap, Mbak Queen....
DeleteDari kecil aku suka ngajakin anakku untuk setiap bulan nabung buku. kalau pas bayi aku kenalin buku cerita yang dari bantal itu loh.. makanya sekarang anakku ceriwis banget suka story telling hehe... Tapi memang tantangan sih kalo sama gadget mah
ReplyDeleteHehehe...tetep ya, gadget tetetp jadi tantangan
DeleteSeru jg kayaknya kalau bikin sesi membaca dirumah seperti ini.. bener juga ya lama kelamaan kalau kebiasaan membaca ini punah bs jadi kemunduran peradaban kali ya
ReplyDeleteSeru pokoknya, Mbak
Deleteteknik yang seru untuk mulai menanamkan minat baca pada anak ya. kalau saya dulu itu karena bapak saya langganan koran, jadi saya kepo dan ikut baca artikel korannya.
ReplyDeletewah keren masa kecil Mbak
DeleteSerius ini bagus banget. Minat baca di negara kita memang rendah sekali. Jadinya harus dibiasakan sejak dini. Sepertinya teknik ini mau aku terapkan juga deh di rumah 😄
ReplyDeleteHehehe....makasih puja-puji dan perhatiannya.
DeleteBagus banget metodenya ya Mas Ardie baca bareng novel yang agak susah dicerna terus dibahas bersama, biasanya buku apa saja yang dijadikan diskusi bareng ya mas?
ReplyDelete