Isa

 Bertiga di depan Al-Mabrur

Memang cengeng. Saat itu, 13 Agustus 2019, saya, Rahma, dan Rakai berkunjung ke Pondok Magelang, menengok Isa. Saya benar-benar tak kuasa membendung air mata yang terus merembes dari dalam. Rakai dan Rahma melihat itu. Mereka berhasil menangkap mata saya basah, ketika Isa dengan suara sedu sedan meminta saya untuk selalu membacakan al-fatihah seusai salat fardu.

Dan kian haru, Isa memeluk saya, masih dengan terisak-isak menandaskan, “Saat lantunkan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in itu tasydidnya dibaca jelas ya, Yah!”

Saya pererat pelukannya. Saya ciumi pipi, kening, dan jidadtnya. Detik kemudian, Rakai dan Rahma pun turut memeluk. Kami berharu biru di sebelah kantin, di halaman belakang pondok, jelang pamitan. 

“Udah yuk ke kamar!” ajak Rahma memecah keharuan. Mereka bertiga berjalan di depan. Saya di belakang seraya mengabadikan kebersamaan mereka. Juga secepat mungkin saya mengelap sisa basah di pipi hingga tandas, yang sebelumnya tak kunjung henti mengucur dan bikin mata merah. (Malulah pada si ragil, masak gagah begini nangisan!)

Demikianlah, adegan yang sampai hari ini sungguh tak dapat saya lupakan. Sulung saya itu mendadak tampak dewasa. Ia mengerti betul bahwa ayahnya jarang berdoa, malah cenderung malas. Sehingga ia sedemikian menekan supaya saya turut mengimbangi laku prihatinnya di pondok dengan mendawamkan al-fatihah untuknya.

Ya, Isa begitu dewasa. Dalam obrolan kami di sudut belakang pondok sebelum dan sesudah zuhur, berlanjut setelah asar, ia lebih banyak mendengar. Ia menjawab seperlunya saat ditanya. Dan sesekali menjelaskan persoalan pelik, yang luput dari perhatian saya. Pun ia begitu tanggap, peka. Saat saya, Rahma, dan Rakai turun dari sepeda motor, ia mendekat. Ia yang mengawali untuk memeluk Rakai. Kemudian mencium punggung tangan Rahma dan memeluknya. Lantas ke saya. Ia yang mengangkatkan tas, tanpa harus kami instruksi. Satu hal lain yang menarik, ia tidak lagi menyebut dirinya “aku” atau “saya” tetapi “kakak”. Ia tidak lagi menyebut keakuannya, tapi perannya, kakak.   

Ia juga tak mengeluh. Tidak menuntut. Termasuk ketika minta dibawakan kamus bahasa Inggris, ia tak mendamba buku baru. Ia hanya ingin dibawakan buku yang ada di rumah, bukan yang baru dibeli. Bahkan ia tak mencantumkan handuk baru, dalam daftar permintaan yang dikirim di secarik kertas ke kami, padahal sedari seminggu awal di pondok handuknya kabur entah ke mana. “Lantas Kakak handukannya pakai apa?” tanya Rakai.

“Kakak pakai sarunglah, Dik.” Jawabnya lembut dan sontak menyembabkan mata saya. (Dasar cengeng!)

“Kenapa Kakak nggak bilang?” timpal Rahma.

“Nggak apa-apa, Bun,” lirih Isa. 

Nah, kemudian begitu kami tiba di dalam kamar, tumpahlah. Rahma dan Rakai, juga Isa berpelukan erat. Ibu beserta kakak-beradik itu sesenggukan. Saya lagi-lagi turut menitikkan air mata di sebelah mereka. Menangis dalam diam. Saya melihat Rahma mengencangkan pelukannya. Ya, ibu dan anak itu saling memeluk dan saling membisikkan sesuatu. Mereka seolah berbagi pesan, hendak mencerahkan masa depan dengan menanggungkan keprihatinan di hari ini. 

“Ayah panasin motor ya,” saya berdalih menyiapkan kondisi sepeda motor demi kelancaran ke Ungaran. Saya keluar kamar tak tahan melihat mereka terperangkap haru. Sembari menghitung jalanan berundak, saya terus terbayang wajah Isa yang kalem. Sorot mata sayu, tapi menyembunyikan kedalaman keinginan dan pengetahuan yang  luas. Saya teringat ketika ia menerangkan gas metana, dan sapi penyumbang besar gas ini. “Metana ini bakal mempertipis lapisan ozon, Yah, sehingga suhu meninggi.”

Isa menjelaskan secara singkat ke saya dan Rahma bahwa kentut sapi itu lebih berbahaya efeknya ketimbang karbon dioksida. Ia menggambarkan situasi kehidupan dewasa ini yang nyaris jatuh ke jurang. “Kita seperti berada dalam bus yang tergelincir di tepi jurang, Yah. Pilihannya jelas: menunda kiamat atau mempercepatnya. Akan terus mengonsumsi daging sapi, sehingga produksi metana terus berlangsung dan meningkat atau sebaliknya.”  

Nah, Isa tanpa berujar seperti memilih untuk melakoni keprihatinan di pondok. Saya membayang sulung saya itu saban malam mengetuk pintu langit, agar Tuhan terus memayungi bangsa dan dunia dari murka-Nya. 

Pukul 17.30 kami bertolak dari pondok. Isa melambaikan tangan. Kemudian kami mampir magriban di Masjid Agung Magelang. Dan, tiga jam berikutnya, kami tiba di rumah Ungaran. Sebuah perjalanan ala siput sawah.

Dan, malam ini, ingatan saya akan saat itu menguat. Kini Isa tengah menikmati liburan di rumah. Siang tadi ia beserta rombongan santri yang sedaerah asal Ungaran tiba di Masjid Al Mabrur, Masjid Agung Ungaran. Ia kian dewasa. Kelihatan tenang. Ia makin teguh menempuh jalan prihatin yang ditetapkan pondok sebagai laku hidup. 

Sungguh, betapa jauh dengan saya, yang tak segera menyelami syariat-Nya. Lumayan Rahma, yang acap menjalani ritual sunah. Rakai sedikit-sedikit meniru laku tirakat maknya. Sementara Isa, benar-benar melenggang jauh, telah berketetapan hendak turut menyirami bunga-bunga layu. Ia melakoni ngrowot, tidak mengonsumsi nasi. Ia bertirakat terutama buat saya yang tak kunjung membaik. 

Ungaran, 10 Desember 2021

Post a Comment

15 Comments

  1. Mantap, semoga menjadi anak yang saleh.

    ReplyDelete
  2. selama ini hanya 'nyawang' wali santri yang nganter ke pondok, udah terasa haru-nya. entah nanti kalau mengalami sendiri. semoga kuat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baru nyawang ya? Hehehe.... Asyik pokoknya kalau ngalami langsung

      Delete
  3. aaaah saya terharu banget bacanya..... saya sendiri sampai sekarang kayaknya blum bisa ngelepas anak buat nyantri.... kayak ga tega gitu.... makanya salut sama temen2 yang bisa tegar melepas anak-anak ke pesantren

    ReplyDelete
    Replies
    1. Awal saya juga nggak tega, Mbak, cuma karena si sulung pengin banget, ya udah tega tak tega harus ngelepas anak...

      Delete
    2. semoga sukses yaaaaahh anak ayah .... aamiin

      Delete
  4. Aku jadi ikut terharu membacanya. Pasti rasa bangga menyelimuti ya, aku pun sebagai pembaca berasa jadi orang tua yg bangga sama anak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, tak kupungkiri, saya bangga pada anak-anak...

      Delete
  5. Ikut terharu bacanya. Sosok Ayah kebanyakan begitu, ya, Mas. Ingin terlihat tegar di depan anak, padahal sebenarnya menahan air mata, hehe. Sukses buat Mas Kafha dan putranya, ya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Mbak...gengsi kalau tampak cengeng di hadapan anak. Hehehe... Makasih, Mbak Vero

      Delete
  6. saya pernah dengar kalau didikan pondok itu bisa membuat pribadi lebih dewasa dan siap menjalani kehidupan. semoga jadi anak yang saleh ya, Rakai!

    ReplyDelete
  7. Semoga anaknya sukses ya mas... Aamiin... Memang proses melepas anak untuk mondok itu rasanya nano nano ya...

    ReplyDelete