Jangan Hanya Fokus Politik!

Identitas Politik Umat Islam

Review Identitas Politik Pak Kunto (4)

Masih saja ada (dan tidak sedikit) yang fanatik bahwa politik dianggap begitu menentukan, seolah ia adalah satu-satunya kekuatan sejarah. Memang politik penting, tapi pentingnya politik terbukti tidak sebesar dugaan “oknum”. Kuntowijoyo mengungkapkan, “Jangan mengagamakan politik, menganggap politik sebagai agama.”

Kenyataan menunjukkan, kekuasaan politik tidak jadi determinan untuk perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Negara bisa mengalami pasang surut, tapi acap pula sejarah ekonomi orang Cina justru maju terus. Politik tidak banyak menentukan kekuatan ekonomi, ini terbukti dalam usaha franchise, bisnis transnasional seperti perhotelan, dan perdagangan bebas melintas batas teritorial negara.

Politik juga tidak dapat mencegah tumbuhnya mobilitas sosial. Seperti dulu pada penerapan asas tunggal Pancasila, seolah efektif membungkam kekuatan sosial, tapi justru mobilitas kelas menengah terpelajar malah meluas.

Budaya sebagai kekuatan juga lebih awet ketimbang politik. Puisi-puisi Hamzah Fanshuri dari Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, masih berpengaruh hingga republik ini berdiri menggantikan kesultanan Aceh yang sempat berjaya pada abad puisi itu lahir. Kasidah Burdah dan Barzanji, dari Timur Tengah, pengaruhnya masih terasa di sini dan hari ini, melampaui batas waktu dan negara (kekuatan politik).

Pelarangan buku-buku novel, pencekalan terhadap seniman, dan pemanggungan musik yang dikecam, justru menaikkan pamornya di tengah masyarakat. Keingintahuan orang-orang terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer lebih besar, justru saat kekuatan politik memvonis sebagai karya terlarang. 

Terakhir dan ini yang terutama, agama tidak bisa diatur oleh kekuatan politik. Agama tumbuh tidak dengan logika kekuasaan, tapi logika kepercayaan. Agama memiliki vitalitas yang berbeda dengan politik, misal gagal melintasi jalur permukaan, agama akan bergerilya di bawah. 

Dalam sebuah tulisan, Kuntowijoyo menyayangkan semangat ormas Islam membidani berdirinya partai politik Islam. Kuntowijoyo prihatin, dan saya turut dia dalam membaca sejarah, bahwa tidak seyogianya umat Islam mempertaruhkan sepenuh hidup untuk dan dalam politik. 

Sekali lagi, politik memang penting, tapi tidak utama. Politik itu berjangka pendek. Lagi-lagi sejarah menunjukkan, kekuasaan Islam di Spanyol, yang tujuh abad itu (VIII-XV), sama sekali tidak ada bekasnya sekira tak ada arsitektur Islam di sana. Juga di India, bahwa kekuasaan Mughal, yang tujuh abad pula (XII-XIX), sama sekali tidak mengubah India menjadi mayoritas muslim, selain hanya sisa bangunan supermegah, Taj Mahal.

Juga Belanda, yang konon salah satu misinya menyebarkan ajaran Kristen, meski bercokol 300-an tahun di bumi Indonesia, tetap tidak bisa meng-kristen-kan seluruh penduduk. Mayoritas penghuni negeri ini adalah muslim, berkat usaha para ulama (wali) yang bergerak secara budaya, tidak dengan cara-cara politik.

Kuntowijoyo menggambarkan bahwa agama ibarat sinar terang tunggal yang memancar dan kemudian terurai dalam pelbagai sinar. Uraian yang bermacam-macam itu mewujud kehidupan sosial, kebudayaan, sistem pengetahuan, iptek, filsafat, mitos, politik, dan sebagainya. Nah, betapa memiskinkan sekira umat Islam hanya fokus pada politik, sementara banyak sinar yang lebih terang dan menjanjikan masa yang panjang. 

Almarhum doktor sejarah itu teramat sedih menyaksikan kekayaan agama menjadi miskin karena putra-putra terbaik umat Islam dijuruskan hanya ke politik. Karena menurutnya, politik itu gampang. Rumusnya cukup dengan retorika, demagogi, dan mobilisasi massa. Hasilnya pun menonjol di permukaan, seperti sekian orang dalam lembaga legislatif, dan orang “kita” yang jadi eksekutif, yang duduk di yudikatif.

Padahal di tengah gemuruh zaman sekarang ini, sepertinya kita membutuhkan banyak energi umat Islam yang sanggup bekerja sendirian. Yang gigih bekerja di bawah permukaan. Yang tidak larut dalam kekonyolan kolektif. 

Pendeknya, kita butuh kehadiran umat yang cerdas. Umat yang tidak gampang terbuai oleh janji-janji menggiurkan. Umat yang tidak mudah menggadaikan tanah dan air miliknya dengan limpahan pundi-pundi, yang sebetulnya nilainya hanya bersifat sesaat.

Yang demikian itu, tidak selesai jika putra-putri terbaik umat Islam diserahkan ke gelanggang politik. Mereka dipaksa ikut bertarung, yang justru sama sekali tidak berdampak buat kemajuan pola hidup dan pemikiran umat. 

Pertarungan untuk memperebutkan kursi RI-1, biarlah menjadi konsumsi para petualang politik. Sementara kita, cukup sebagai penonton dari jarak yang lumayan jauh. Sebab, ada kebutuhan yang tak kalah mendesak ketimbang permasalah politik, daripada persoalan RI-1. Pertama, menegaskan kembali bahwa Islam itu sederhana. 

Sehingga, Islam bisa diterima di mana-mana. Dan, rumusan yang dipakai, “Jangan memutlakkan yang relatif, dan jangan merelatifkan yang mutlak.” Besar harapan, umat bisa membedakan antara agama dan kebudayaan. Hakikat dan hiasan, yang mutlak dan yang relatif. Dan, kerja-kerja politik itu bersifat relatif. 

Kedua, menjadikan Islam sebagai agama yang terbuka. Betapa keterbukaan serasa menyusut di ruang gerak Islam dewasa ini. Islam kerap dilantangkan sebagai agama yang hanya pas dengan bahasa Arab, dan harus mengadopsi kebudayaan Timur Tengah. Islam kerap ditarik-tarik untuk mengembangkan sistem khilafah ala Daulah Umayyah, Abasiyyah, dan Turki Utsmani. Padahal, konon Rasul Saw. menganjurkan umat untuk belajar ilmu ke Cina. Kemudian generasi tabi’in dan setelahnya, umat belajar filsafat dari Yunani, Persia, dan India.

Ketiga, mengukuhkan jati diri. Hal ini penting juga kita upayakan dengan menginventarisasi, mendokumentasi, dan melestarikan simbol-simbol Islam. Sejarah misalnya, sebagai salah satu aspek dari simbol, serasa merana, karena pahlawan-pahlawan muslim tidak dikenal kemuslimannya dalam masa 1945-1950. Baru-baru ini saja, ada greget seusai film Sang Kiai rilis di pasaran, tapi selebihnya, sejarah Islam masih kurang.

Sejarah Islam masih kental dengan gerakan-gerakan anti-NKRI. Seperti DI/TII, Gerakan NII, Gerakan Aceh Merdeka, Peristiwa Tanjung Priok, Malari, dan lain sebagainya. Islam seolah melulu berkaitan dengan upaya penegakan sistem politik Islam. Yang tidak berwajah Islam harus dilawan. Padahal tidak demikian.

Islam, sekali lagi, justru pernah berjaya di panggung peradaban dunia karena membuka diri dan mengembangkan filsafat, ilmu, sejarah, bahasa, sastra, dan seni.

Ungaran, 05/12/2021

Baca juga: Bicara Demokrasi  

Post a Comment

0 Comments