Kung Iman

Iman Suligi

Kung Iman, begitu Iman Suligi biasa disapa, memang seorang inovator literasi. Sedari kecil, semenjak kelas V Sekolah Rakyat (kini Sekolah Dasar), Kung Iman sudah akrab dengan dunia baca, dan terus mendedikasikan diri untuk menebar semangat baca hingga hari ini. Ia bikin Kampoeng Batja. Ia gelar acara nonton bareng film, menulis bareng, dan pelbagai pameran lain yang berkaitan literasi.

Berbincang dalam episode pertama, Jumat, 29 Januari 2021, Aku, Buku, dan TBM, program bincang santai Pengurus Pusat Forum TBM, yang dipandu Heny Wardatur Rohmah, Iman Suligi menuturkan betapa koran dan majalah merupakan menu hariannya sejak bocah, tahun 60-an. Ayahnya adalah agen koran Suara Rakyat, dan majalah Terang Bulan. Bahkan mulai kelas VI, ia turut menekuni sebagai agen majalah.

Semenjak itu pula, ia mengaryakan buku-buku koleksi dengan menyewakan, dan ternyata banyak yang tertarik. Waktu pun terus bergulir, dan kedekatannya dengan buku makin menemu titik terang, tatkala didaulat untuk menjadi penjaga perpustakaan, saat SMA. Kemudian, ketika kuliah di Surabaya, ia pun memaksimalkan waktu di luar kuliah dengan mengkhidmati buku di perpustakaan.

Lantas, selagi sebagai seorang pendidik di Jember, ia dipercaya untuk mengurus perpustakaan sebuah kampus di Jember, sembari tetap menekuni sanggar baca yang ia buka di teras rumahnya.

Tahun 2000-an, usai pensiun sebagai guru, ia bikin Kampoeng Batja. Taman baca, yang semula mungil di teras rumahnya, kemudian dipindah ke tempat yang lebih luas, yang kini ditempati sekaligus sebagai pusat Kampoeng Batja. “Saat pembukaan Kampoeng Batja ini bersamaan dengan acara maulid nabi yang diisi dengan nonton bareng film Laskar Pelangi!” kenang Kung Iman. 

“Masuklah era medsos,” lanjut Kung Iman, “kegiatan Kampoeng Batja pun mulai dikenal luas. Sehingga banyak yang berkunjung dari mana-mana. Sopir-sopir angkot jadi mengenal bahwa di Jemberlor, Kabupaten Jember adalah Kampoeng Batja. Dan, saya senang sekali tatkala mahasiswa-mahasiswa ada yang magang di sini.”

Dan, tak dipungkiri, memang. Kegiatan mengakrabkan buku, belumlah kegiatan yang gampang mengundang perhatian. Buku belum menjadi kebutuhan utama. Daya baca kita masih terbilang rendah. Namun, sang kakek Iman Suligi pantang patah. Seiring kecakapan media sosial, ia perluas jalinan relasi. Selain, terus mengembangkan sudut baca-sudut baca, ia pun menggarap para lansia akan kebutuhan bacaan-bacaan nostalgia. Ia juga menyasar para guru ngaji plus para santri. Bahkan tempat-tempat yang tak identik dengan buku macam salon kecantikan juga dibidik. 

Tentang sudut baca, Kung Iman punya kisah unik. Sudut baca itu semula untuk pelajar sekolah. Teknisnya, si pelajar mengajukan proposal dengan syarat harus ditulis tangan, di masukkan amplop, dan dikirim via pos. Setiap sudut baca itu akan peroleh bantuan berupa satu unit rak buku, satu lembar karpet berukuran satu meter persegi, dan 20 buku berbagai jenis. Namun, meski ada banyak proposal yang masuk, tak satu pun sudut baca mewujud  

Begitulah, suka-duka usaha literat seorang penikmat buku. Dan, bagi Kung Iman, mengakrabkan bacaan kepada lingkungan adalah panggilan jiwa. Sehingga, Iman Suligi benar-benar menikmatinya. Ia acap sedih kala anak-anak di sekitarnya, kemampuan menulis teramat biasa, sehingga lahir kemudian kegiatan “Puisi Berantai”. 

Walhasil, Kung Iman mengimani bahwa keberhasilan itu proses panjang. Tidak perlu terburu-buru sukses. Toh, yang utama membuat orang terpenuhi kebutuhan pengetahuannya. “Teruslah memberi, dan memberi! Karena, yang demikian itulah Gerakan literasi dijalankan.” ungkapnya. 

Begitu.

Baca juga: Terpikat Forum TBM

Post a Comment

0 Comments