Pancasila: Merangkum Kepentingan

Identitas Politik Pak Kunto

Review Identitas Politik Pak Kunto (5) 

Kekuatan negara (politik), salah satu kelebihannya, adalah menghadirkan ideologi. Dan, negara kita telah menetapkan Pancasila sebagai ideologi dasarnya. Pada era Soeharto, Pancasila berbarengan dengan ideologi “pembangunan”. Secara de jure Pancasila memang tetap sebagai dasar negara, tapi de facto gagasan pembangunan lebih dominan, untuk tidak mengatakan Pancasila tenggelam di bawah “pembangunan”.

Kemudian sekarang, era reformasi, ideologi-ideologi berbasis aliran bermunculan. Islam salah satunya, oleh sebagian kalangan hendak didesakkan untuk turut mewarnai negara. Islam dibangkitkan kembali sebagai ideologi, sebagaimana dulu tahun 1955. Sebagian kalangan itu memahami bahwa umat Islam sedianya tidak begitu saja meniru apa-apa dari luar Islam. Mereka menghendaki semua berpulang pada Al-Quran dan Sunah. Mengembalikan konteks kepada teks. 

Namun, seperti ada yang luput dari perhatian mereka, bahwa “bahasa dakwah”, subjektivikasi teks itu tidak efektif menjadi bahasa politik. Terbukti, umat Islam selalu kalah bersaing, baik dalam berpolitik praktis maupun dalam intellectual war. 

Bak juklak dan juknis, Kuntowijoyo merumuskan kepentingan politik umat Islam itu terdiri tiga perkara. Pertama, moralitas publik dan politik, yaitu sabilillah, jalan Tuhan. Kedua, perubahan struktur, bukan perubahan sistem, yaitu sabilil mustadh’afin, jalan kaum mustadh’afin, kaum tertindas. Sejak zaman SI, Tjokroaminoto  sudah berteriak, “Islam adalah agama orang miskin dan orang tertindas.” Dan ketiga, mekanisme politik yang baik: demokrasi, HAM, rule of law, dan civil society.  

Berpegang tiga perkara itu, kita akan bisa berpikir tentang substansi di balik peristiwa, bukan aksiden di permukaan. Kita tidak lagi gelisah dan gampang terpukau kepada peristiwa-peristiwa permukaan yang tampak gebyar, menggembirakan dan penuh harapan. Kita akan bekerja sesuai dengan teori, strategi, dan metode yang lurus. Pendek kata, umat mampu menempatkan Islam sebagai ilmu, bukan sebagai ideologi. 

Islam sebagai ilmu bergerak dari teks ke konteks, sedangkan Islam sebagai ideologi sebaliknya, menarik konteks ke teks. Islam sebagai ilmu merupakan upaya deideologisasi. Dan, perlu dicatat bahwa deideologisasi ini bukan deislamisasi. Deideologisasi juga berarti Islam inklusif. Karena, ketika jadi ideologi, Islam bersifat tertutup, bersifat ekslusif. Umat tidak berpikir untuk menganggap orang non-Islam sebagai saudara. Tidak biasa berpikir bahwa persoalan kenegaraan, kebangsaan adalah persoalan bersama yang lintas agama. Tidak mau berpikir bahwa rahmat itu untuk semua.

Maka, kebiasaan cara berpikir “kita melawan mereka” harus diganti “we versus it”. “It” itu adalah kemiskinan, dan kesenjangan. “It” di situ adalah upaya demokratisasi yang tiada ujung, yang terus maju. Dan, “it” ini adalah permasalahan, problematika bangsa.      

Nyatalah, bahwa sebagai moralitas publik dan politik, serta harapan pentingnya sebuah perubahan struktur, ada kontinuitas antara perbuatan Ilahiah dengan perbuatan kemanusiaan. ”Islam itu agama yang gelisah dengan kemiskinan dan kesenjangan!” ungkap Kuntowijoyo.

Zakat fitrah, contohnya, perbuatan kemanusiaan untuk membebaskan sesama dari belenggu kemiskinan, itu bermula dari upaya menyempurnakan ibadah puasa yang sebulan penuh, yang merupakan perbuatan Ilahiah. Dan, bahkan orang yang tidak kuat berpuasa, sebagai gantinya membayar fidyah, memberi makan fakir miskin. 

Jelas sudah, berislam tidak bisa dipisahkan dengan pembelaan kepada yang kekurangan. Bahkan orang yang tak peduli kehidupan ekonomi orang miskin, dikecam Tuhan sebagai pendusta seluruh hukum moral (baca surah Al-Maun). Juga di ayat lain, Tuhan bertanya retoris, “Dan, bagaimana kalian sampai menolak berperang di jalan Allah dan (untuk membela) orang-orang yang tak berdaya baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak.” (Al-Nisa’ [4]: 75).

Nah, tentang demokrasi sebagai rumusan mekanisme politik, sebagai satu dari tiga kepentingan politik umat Islam, ada satire menarik dari Kuntowijoyo, yang termuat dalam fabel-fabel politiknya, Mengusir Matahari, terbit Oktober 1999, Pustaka Hidayah.

Fabel-fabel Politik Kuntowijoyo

Bahwasanya, ada pandangan skeptis dari generasi muda saat itu bahwa demokrasi sebatas pidato-pidato, ramai-ramai, bagi-bagi kaus, dan potong knalpot. Dan, Kuntowijoyo menolak pandangan tersebut. Menurutnya, yang begitu itu, yang serba arak-arakan, yang gemar melanggar lalu lintas karena mumpung pawai politik, hingga jotos-jotosan, bukanlah demokrasi, melainkan anarki. 

Realitas demokrasi saat itu ada tiga, yaitu demokrasi gajah, demokrasi kuda, dan demokrasi anjing. Pertama adalah demokrasi gajah. “Perhatikan gajah dan pawangnya,” kata ayah, dalam fabel politik yang ditulis Pak Kunto, untuk menjelaskan soal demokrasi gajah.

“Ada tiga ekor gajah. Pawang membawa cemeti di tangan kanan dan roti biskuit di saku. Dialah yang memberi perintah dan hadiah. Ketika cemeti berbunyi sekali, gajah-gajah berdiri dengan dua kaki, menghormat penonton. Cemeti berbunyi dua kali, mereka duduk di kursi besi yang tersedia. Cemeti tiga kali, mereka antre, belalai dibelitkan ke ekor di depannya.

Setiap kali selesai satu gerakan, pawang memasukkan biskuit ke mulut-mulut gajah. Pawang membunyikan cemetinya sekali, gajah-gajah berdiri. Pawang membuka topi lalu membungkuk. Pertunjukan selesai dan dengan patuh gajah-gajah mengikuti pawang masuk.”

Dari satire itu ada dua hal. Pertama, sudah ada target yag ditentukan oleh sang pawang. Kedua, si pawang selalu memberi hadiah. Jelas, bahwa demokrasi yang sudah ditentukan targetnya, berarti demokrasi tertutup, dan hanya terjadi di masyarakat yang tertutup. Hadiah di situ adalah upah, yang diberikan atas kepatuhan masyarakat menjalankan perintah atasan. 

Terus yang kedua, demokrasi kuda. “Penunggang harus menyatu rasa dengan kudanya.” ungkap Kuntowijoyo. “Mereka harus menjadi satu tim, seolah-olah mereka adalah tubuh yang satu. Kehendak mereka harus disatukan. Kalau harus meloncati rintangan kayu, penunggang dan kudanya harus tahu persis kecepatan yang diperlukan, dari mana mereka mengambil start, dan kapan meloncat. Hal yang sama berlaku waktu mereka  harus meloncat karena tanah berlubang atau batu bersusun. Jadi, kuncinya ialah menyatu rasa, loro-loroning atunggal, terdiri dari dua tapi sebenarnya mereka satu.”

Prof. Dr. Kuntowijoyo menggambarkan bahwa mengatur orang itu tak ubahnya seperti mengendalikan kuda. Harus menyatu rasa dengan kuda, sekira kuda ingin merumput, kita mesti paham. Mesti bersatu. Walau demikian, toh hakikatnya tetap saja, bahwa yang menentukan arah tetap si penunggang kuda. Bahwa kuda tetap menjadi kuda tunggangan, tidak bebas seperti kuda liar. 

Kemudian yang ketiga, demokrasi anjing. Pak Kunto melukiskan, ada seorang tua berkacamata, dan kerap batuk-batuk, menuntun dua ekor anjing berbulu tebal. Sang anjing berlari-lari kecil, kadang di depan, kadang di belakang, kadang di samping. Anjing-anjing itu kadang berhenti untuk mengendus sesuatu, kencing, bahkan saling membau waktu berjumpa dengan kawannya.

“Kalau sedang sakit, jangan jalan-jalan, Pak.”

“Bagaimana ta kamu ini,” jawab sang tua, “Apa mau dunia kiamat. Coba bayangkan, pagi-pagi aku harus membawa mereka keluar. Kalau tidak, mereka akan protes. Ribut seharian. Tidak doyan makan. Kencing di sofa. Buang hajat di lantai. Padahal, aku mau santai.” 

Begitulah, betapa sang empunya anjing terpaksa menurut, seolah-olah anjing yang berada di atas angin. Anjing menjadi yang dipertuan. Anjing bisa sewenang-wenang mengatur sang tuan, yang mau menang sendiri. 

Maka, demokrasi gajah, demokrasi kuda, dan demokrasi anjing, bukanlah pilihan. Lantas bagaimana? 

Kita bersyukur punya Pancasila, sehingga demokrasi yang kita dambakan bukan macam demokrasi gajah, kuda, ataupun anjing. Pancasila juga bukan liberal, yang mementingkan perorangan, pun bukan sosialis atau komunis yang berprinsip kolektivitas. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi “bukan”, bukan liberal, bukan komunis. Bukan asal jadi penurut, atau seolah menyatu rasa, apalagi sampai terjadi kesewenang-wenangan. 

Pancasila juga menghendaki adanya ketaatan vertikal (ketuhanan) sekaligus berorientasi kemanusiaan, penghargaan atas perbedaan, dan keadilan sosial, dengan jalan musyawarah. Pendeknya, Pancasila telah merangkum tiga kepentingan: sabilillah, jalan Tuhan; sabilil mustadh’afin, jalan kaum mustadh’afin; dan rule of law, civil society, atau demokrasi.

Ungaran, 09/12/2021  

Baca juga: Jangan Fokus Politik

Post a Comment

0 Comments