Pemuda Jujur dan Mulia

 Fiqhus Sirah karya Dr. Muhammad Said Ramadhan

Fiqhus Sirah (2)

Masih bersama Syekh Muhammad Said Ramadhan. Masih menyusuri hikmah-hikmah di kehidupan awal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam. Nah, melanjutkan catatan sebelumnya, pada kesempatan ini tentang usaha Rasulullah Saw. menggembalakan kambing, dan pernikahannya dengan Khadijah.

Ada tiga pelajaran penting yang dapat kita simpulkan dari usaha Muhammad Saw. menggembalakan kambing. Pertama, selera tinggi dan perasaan halus, dua sifat yang memperindah kepribadian nabi pamungkas, Nabi Muhammad Saw.

Seusai Abdul Muthalib, sang kakek, berpulang kepada Ilahi, Muhammad Saw. masuk dalam pengasuhan pamannya, Abu Thalib. Lantas memasuki usia remaja, Rasulullah Saw. berusaha mencari rezeki dengan menggembalakan kambing untuk meringankan sebagian beban nafkah dari pamannya. 

Barangkali hasil yang diperolehnya tidak begitu banyak dan penting bagi pamannya, tetapi upaya beliau itu merupakan akhlak yang mengungkapkan rasa syukur, kecerdasan watak, dan kebaikan perilaku.

Kedua, adalah pengabaran buat kita hari ini bahwa harta yang terbaik adalah harta yang diperoleh dari usaha sendiri dan imbalan “pelayanan”, bukan yang diperoleh tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan yang diberikan kepada masyarakat.

Ketiga, para aktivis dakwah (dakwah apa saja) tidak akan dihargai orang manakala mereka menjadikan dakwah sebagai sumber rezekinya, atau hidup dari mengharapkan pemberian dan sedekah orang.

Oleh karenanya, para aktivis dakwah sedianya mencari nafkah melalui usaha sendiri. Atau sumber yang mulia yang tidak mengandung unsur meminta-minta, agar terbebas dari baik “utang budi” maupun “investor budi”.

Satu hal lagi yang penting, sangat penting malahan, bahwa Muhammad Saw hingga awal masa remaja, pertama, beliau juga memiliki seluruh karakteristik yang manusiawi. Beliau mendapati pada dirinya apa yang terdapat pada setiap pemuda, berupa kecenderungan-kecenderungan fitrah yang telah ditetapkan Allah kepada manusia muda.

Kedua, sungguh pun demikian, sesungguhnya Allah melindungi beliau dari semua bentuk penyimpangan. Karena itu, kendatipun belum mendapat wahyu, beliau telah mendapat perlindungan yang tersamar yang menghalanginya dari memperturutkan nafsu sebagaimana lazimnya pemuda dari kurun kapan dan di mana pun. 

Sehingga, dua hal penting itulah yang meyakinkan kita, bahwa beliau benar-benar dalam pemeliharaan Tuhan. Yang lepas dari pembinaan dan pengarahan siapa pun. Sebab, semua orang di sekitar beliau, baik keluarga, kaum, maupun tetangga, asing sama sekali dari jalan yang ditempuh pemuda Muhammad Saw.

Riwayat-riwayat menceritakan bahwa beliau tidak pernah sama sekali menitipkan kambing gembalaannya kepada temannya untuk turun ke rumah-rumah Makkah, misalnya. Mencari orang-orang yang begadang dan berhura-hura. Akhlak yang sedemikian rupa itu, beliau kemudian dikenal sebagai al-Amin, seorang pemuda yang terpercaya.

Berkat kejujuran dan kemuliaan pribadi Muhammad Saw., Khadijah, seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya, pun mengaguminya. Singkat kisah, selanjutnya Muhammad Saw. menjalankan usaha perniagaan Khadijah, yang juga merupakan kelanjutan mencari nafkah yang telah dimulainya dengan menggembala kambing. 

Khadijah terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan yang dijalankan Muhammad Saw. Khadijah akhirnya benar-benar tertarik pada kejujuran beliau. Khadijah menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Muhammad Saw via Nafisah binti Muniyah. 

Nah, sehubungan dengan pernikahan Rasulullah Saw. dengan Khadijah, kesan pertama yang didapat bahwa Rasulullah Saw. sama sekali tidak memperhatikan faktor kesenangan jasadiah. Seandainya beliau memperhatiakn hal tersebut, sebagaimana pemuda seusianya, niscaya beliau mencari orang yang lebih muda atau minimal orang yang tidak lebih tua darinya.

Tampaknya, Rasulullah Saw. menyetujui tawaran dari Khadijah lebih karena kemuliaan akhlaknya di antara kerabat dan kaumnya. Sampai-sampai Khadijah pernah mendapat julukan ‘Afifah Thahirah (wanita suci).

Biduk keluarga mulia itu pun berlangsung hingga Khadijah meninggal dunia pada usia 65 tahun, sementara Rasulullah Saw. telah mendekati usia 50 tahun, yang selama itu beliau monogami. Padahal usia antara 25 sampai 50 tahun merupakan masa bergejolaknya kecenderungan untuk menambah istri.

Dan, seandainya beliau mau memadu Khadijah, jelas beliau akan mendapatkan istri tanpa bersusah payah menentang adat atau kebiasaan masyarakat saat itu. Terlebih, beliau menikah dengan Khadijah yang berstatus janda dan jauh lebih tua.

Begitulah, Nabi agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam

Ungaran, 08/12/2021

Baca juga: Hikmah Semasa Kecil

Post a Comment

0 Comments