Tangan Menuding

Kenangan Pak Muh dan friend

Saya langsung teringat ini: “Boleh jadi derita, malapetaka, bencana, atau apa saja itu, adalah sebuah tangan yang menuding.”

Ungkapan Pak Muh dalam suatu obrolan santai di Posko Gempa Yogyakarta, Mei 2006. Saat itu, gempa bumi tektonik mengguncang Yogyakarta dan sebagian wilayah di Jawa Tengah, Klaten, Pak Muh bersama Yayasan Barzakh bikin Posko Bencana Alam. Dan saya salah satu relawan di situ.

Saya langsung teringat itu begitu Yai Sholah, Rabu malam, 29 Desember 2021, membacakan hikmah Syekh Ibnu Athaillah, “Jangan sekali-kali menuntut kekalnya warid setelah cahayanya melimpah kepadamu dan engkau mendapatkan rahasia-rahasianya. Cukuplah Allah untukmu dari segala sesuatu, dan tidak ada sesuatu pun yang menggantikan kebutuhanmu kepada Allah.”

Bahwa seusai rahasia keagungan ketuhanan itu tampak di hati, pesan Syekh Ibnu Athaillah yang diungkap Yai Sholah, jangan sekali-kali berharap sesuatu yang datang pada hati itu kekal bercokol dalam diri kita. Sebab yang kita butuhkan Allah, bukan “keinginan baik yang datang kepada hati”.

Ya, acap kita rasakan, keinginan baik itu datang ke hati tanpa memerlukan usaha keras. Sehingga menggoda untuk terus mempertahankannya. Ia datang pada hati, baik berupa kesempitan maupun kelapangan, baik kesedihan maupun kegembiraan, itu sekadar utusan-Nya.

Bahwa apa dan siapa pun itu adalah ibarat pengantar, sekadar tangan yang menuding kepada Allah. Bahwa bencana itu hadir. Bahwa suara azan yang membersitkan rasa bertuhan itu datang, adalah untuk mengenalkan Tuhan. Maka, sang syekh mewanti-wanti, jangan sampai kita jatuh mengabdi kepada pengantar, takjub kepada tangan yang menuding. Sebab yang terutama adalah yang ditunjuk, Allah Swt.

“Jangan menuhankan pengetahuan tentang Tuhan! Jangan menuhankan suara azan! Jangan mendewa-dewakan agama, mendewa-dewakan seorang rasul, wali-wali! Yang kita kejar adalah sampai kepada Tuhan, bukan momen-monem ketuhanan. Yang kita sembah Allah, bukan kondisi kedekatan.” tandas Yai Sholah.

Ngaji Hikam bersama Yai Sholahuddin

Hikmah selanjutnya, “Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum bertemu dengan-Nya. Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum sampai kepada-Nya.”

Makin menguatkan supaya kita tidak terdikte oleh selain Allah. Bahwa kita akan benar-benar sebagai hamba Allah, jika tidak sedetik pun mempersilakan hati untuk mengabdi kepada benda-benda, sosok mulia dan peristiwa-peristiwa. Bahwa benar-benar hamba Allah sekira menunaikan hak-hak ketuhanan.

Menunaikan hak Tuhan, artinya menjadi saksi bahwa Allah itu ada. Bahwa kita hamba Allah yang hanya akan mengabdi kepada-Nya. Wujudnya, jika kita mendengar ada hamba-Nya yang menderita, misalnya, kita segera mengulurkan bantuan. Kita merealisasikan harapan atau doa-doanya. Kita dipakai Tuhan untuk menjadi saksi bahwa Tuhan itu ada. Untuk menjawab doa-doa si hamba yang kurang beruntung, sehingga akhirnya ia yakin bahwa Allah itu memang ada. Bahwa Allah telah mengabulkan doanya.

Hal itu meneguhkan, sebagai hamba-Nya kudu bertanggungjawab untuk membuktikan bahwa “Setiap hal yang hilang dari kita akan ada gantinya. Akan tetapi, jika Allah hilang dari kita, takkan ada pengganti-Nya.”

Betapa sedianya kita hanya untuk-Nya. Betapa kita hanya menginginkan kekekalan bersama-Nya. Sehingga benar, betapa naif sekira masih risau, masih galau tatkala kehilangan sesuatu selain Dia. Bukti bahwa kita belum terhubung dengan Tuhan. Bukti bahwa kita belum sampai kepada-Nya. Bukti kita belum mengerti nikmat yang sejati.

Syekh Ibnu Athaillah mengungkapkan, “Walaupun bentuknya beragam, nikmat terwujud lantaran penyaksian dan kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, meski bentuknya beragam, siksa terwujud lantaran keberadaan hijab-Nya. Jadi, sebab siksa adalah keberadaan hijab dan sebab kesempurnaan nikmat adalah dengan memandang wajah-Nya yang mulia.” 

Ya, kenikmatan itu akan menjadi nikmat yang sesungguhnya jika kita tetap merasa menyaksikan kehadiran Allah. Jika tidak demikian, berarti azab. Jika kita memperoleh nikmat, berupa apa saja, tapi malah kita terhalang dari Allah, itu adalah penderitaan yang sesungguhnya. Maka tak mengherankan, kita kerap mendengar ada seorang wali yang menyukai derita, menikmati sakit. Sebab dalam derita, ia sedemikian syahdu bersama Allah.

Bila hati masih merasa risau dan sedih, berarti masih terhalang untuk menyaksikan-Nya.” singkat hikmah Syekh Ibnu Athaillah. 

Penandasan, sesungguhnya hakikat kehidupan itu adalah pagelaran hamdallah, terang Yai Sholah. Yang pada malam sebelumnya, dalam Ngaji Selapanan, Minggu, 26 Desember 2021, Yai Ubaidillah juga mengetengahkan bahwa Allah tetap terpuji, apa pun keadaan yang membelit kita. Bahwa kita gagal mengapai tujuan, misalnya, bukan berarti kita bebas menyalahkan-Nya. Justru sebaliknya, kita harus cepat-cepat menghapus segala dugaan rendah terhadap takdir-Nya. 

Sekali lagi, meskipun hidup kita masih susah, masih belum mapan, dan memang tampaknya sulit untuk mapan, tetap Allah yang terpuji. Karena, bukanlah suatu kemapanan hidup, melainkan Allah, yang semestinya menjadi tujuan kita.

Kiranya demikian, bukan mustahil kita bisa berjarak dengan stres, dengan galau, dengan segala risau saat menghadapi keruwetan hidup. Sebab Tuhanlah Yang Mahasegala. Namun, ini bukan berarti kita masa bodoh terhadap dunia. Bukan begitu. Karena sesungguhnya berikhtiar itu tidak mengharuskan kita sampai kepada yang dituju, tapi hanyalah suatu cara yang mesti ditempuh.  

Ingat, “Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum bertemu dengan-Nya. Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum sampai kepada-Nya.”

Tidak gampang, bukan? Ya, tapi memang harus begitu untuk menjadi pribadi yang merdeka. Mengutip Al-Junaid, “Kau tidak akan menjadi hamba Allah yang sejati sebelum kau memerdekakan diri dari segala sesuatu selain Allah. Kau pun tidak akan mendapatkan kemerdekaan sejati sebelum kau menjadi hamba-Nya.”

Ya, begitulah. Untaian hikmah yang bisa saya petik dari kebun Yai Sholah, Rabu malam itu, dalam Ngaji Hikam pada penghujung tahun 2021. 

Dan sungguh, saya langsung teringat ungkapan Pak Muh, setelah peristiwa 27 Mei 2006, “Boleh jadi derita, malapetaka, bencana, atau apa saja itu, adalah sebuah tangan yang menuding.” 

Benar, ibarat tangan menuding yang mewartakan Dia di mana-mana.

Ungaran, 31/12/2021

Baca juga: Penting Belajar Hakikat

Post a Comment

0 Comments