Umi Kulsum: Buku dan Karir

Rapat PP Forum TBM

“Saya senang dengan sejarah, terutama sejarah Islam!” ungkap Umi Kulsum, S.S., M.Hum. dalam bincang santai Aku, Buku, dan TBM yang dipandu Heri Maja Kelana, Pengurus Pusat Forum TBM, Jumat, 5 Februari 2021. Umi, yang tak lain adalah Kepala Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat, menuturkan betapa kisah Jaka Tingkir, pendiri Pajang dan yang kemudian menjadi cikal kehadiran Mataram, itu sangatlah mengesankan.

Petualangan Jaka Tingkir, atau yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya setelah menduduki tahta Pajang, sedemikian menggugah sekaligus menghibur bagi Umi kecil, saat itu baru berusia sembilan tahun. Perasaan rendah dirinya pun terobati oleh buku-buku koleksi ayahnya. Ia membacai buku-buku itu.

Memang, semula ia harus umpet-umpetan, menyembunyikan diri dari pengawasan ayahnya, lantaran buku yang dibaca bergenre dewasa.  Jaka Tingkir, salah satunya, yang sedianya diperuntukan bacaan remaja usia SMA, tapi Umi, yang kelas tiga SD, menyuntukinya.

Namun, lambat laun orangtuanya membebaskan, bahkan kemudian mempersilakan sang putri untuk melahapnya terlebih dahulu sebelum buku-buku itu dibawa dan dipajang di perpustakaan sekolah.

“Sejarah itu penting.” tegas sang ibu Kepala Kantor Bahasa lagi. “Kita harus belajar dari sejarah.”

Dan, hal itu terbukti, kini selagi menjabat sebagai pimpinan Kantor Bahasa, ia merasa berkah tak bertara dari hasil bacaan buku-buku semenjak dini. Banyak wawasan yang didapat. Banyak pemahaman yang mengendap dalam benaknya. “Kita jadi tahu, bahwa Islam pernah berjaya. Dan kita jadi bergairah untuk mengembalikan kejayaan tersebut. Terus gini, sewaktu saya jadi peneliti, sekira tidak banyak baca, bagaimana mungkin saya akan memiliki banyak bahan untuk ditulis!” terangnya bersemangat.

Kemudian, ini juga tak kalah menarik, ibu kepala Kantor Bahasa itu tak pernah sekalipun menyuruh anaknya untuk gemar membaca. Baginya, contoh nyata itu jauh lebih efektif ketimbang perintah. Maka, sehari-hari ia meneladankan kepada anak semata wayangnya betapa buku itu penting. Buku itu teramat perlu, malah. Ia baca buku di hadapan anaknya. Ia pula, melengkapi seisi rumah dengan buku-buku: di ruang tamu, di kamar tidur, dan sebagainya.

Syahdan, Umi seolah hendak mewejang di hadapan sang anak, bahwa kemauan membaca itu bersierat dengan karir hidup, dengan kualitas hidup. Buku adalah karib seiring dalam berkarir. 

Nah, sebagai kepala Kantor Bahasa, sudah tentu ia bersinggungan dengan pegiat literasi, pegiat TBM. Seperti, ketika pemilihan Duta Bahasa NTB, Kantor Bahasa menjalin kerjasama dengan Forum TBM setempat. Pun jalinan kerjasama yang lain, serta saling kunjung TBM-Kantor Bahasa tidaklah asing bagi sang ibu pimpinan.

Sehingga, tidaklah mustahil sekiranya pelestarian bahasa lokal NTB (Sasak, Samawa, dan Mbojo) akan menyasar tepat, sebab jalinan apik Kantor Bahasa dengan para pegiat TBM. TBM, kita mafhum, adalah wahana yang luwes menyelenggarakan acara mendongeng dengan bahasa daerah, pembacaan puisi dalam bahasa lokal, dan pagelaran kesenian atau kebudayaan daerah yang lain. Di TBM, masyarakat umum bebas menikmati rasa seni, sekaligus mengenyangkan dahaga rohani atau lapar intelektual. 

“Dan, semenjak di sini, tahun 2019, saya betul-betul menyaksikan TBM-TBM itu bersemangat. Para relawannya, sungguh saya terkesan.” katanya.

Begitulah. Akhirnya, Heri pun menutup bincang santai, seraya mengingatkan acara yang sama dengan narasumber yang berbeda, Jumat berikutnya. 

“Terima kasih, Kang Bojes (sapaan akrab Heri Maja Kelana)! Terima kasih, Forum TBM!” batin saya terus mendengungkan kalimat ini, usai acara talkshow Aku, Buku, dan TBM

 Baca juga: Kung Iman

Post a Comment

0 Comments