Ummi dan Al-Amin

Fiqhus Sirah karya Muhammad Said Ramadhan

Fiqhus Sirah (3)

Muhammad Said Ramadhan memaparkan, uzlah yang dijalani Muhammad Saw. menjelang pengangkatan sebagai Rasul, menunjukkan pentingnya uzlah. Betapa pun seorang muslim memiliki akhlak mulia dan melaksanakan segala macam ibadah, belum sempurna sebelum menyendiri dalam waktu-waktu tertentu untuk mengadili diri sendiri. Merasakan pengawasan Allah dan merenungkan fenomena-fenomena alam.

Hikmah dari program uzlah ini, bahwa tiap jiwa memiliki sejumlah penyakit yang sulit diobati kecuali dengan mengadilinya dalam suasana hening, jauh dari keramaian dunia. Betapa sifat sombong, ujub, dengki, riya, adalah penyakit-penyakit yang dapat membelenggu jiwa, yang hanya dapat diusir dengan merenungkan hakikat diri secara rutin.

Hal lain adalah pembinaan mahabbatullah di dalam hati. Bahwa menumbuhkan perasaan cinta kepada Tuhan tidak bisa semata dengan rasionalitas. Bahwa semangat berkorban harta dan nyawa demi keyakinan, tidak akan tumbuh begitu saja hanya dengan mengandalkan kedahsyatan akal. Tetapi dengan memperbanyak tafakur tentang ciptaan dan nikmat-nikmat-Nya. Dengan merenungkan keagungan dan kebesaran-Nya.

Kemudian, ketika sedang tenggelam dalam khalwat di Gua Hira, Muhammad Saw. dikejutkan oleh Jibril yang berkata, “Bacalah!” Hal ini menjelaskan bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi yang bersumber dari inspirasi atau intuisi. Namun Muhammad Saw. benar-benar menerima kebenaran yang bersumber dari luar, yang tak berkaitan dengan inspirasi, pancaran jiwa, atau intuisi.

Dekapan Malaikat terhadap beliau kemudian melepaskan hingga tiga kali dan setiap kali mengatakan “bacalah” merupakan penegasan terhadap hakikat wahyu Al-Quran. 

Selanjutnya, timbunyal rasa takut dan cemas pada diri Muhammad Saw. ketika mendengar dan melihat Jibril, hingga beliau memutuskan berhenti berkhalwat dan segera pulang, mengabarkan kepada kita, betapa beliau sama sekali tak tebersit akan mendapatkan wahyu. Tidak pernah merindukan risalah. Wahyu tidak datang bersamaan atau untuk menyempurnakan usaha beliau dalam beruzlah. Buktinya, beliau justru gundah. Beliau terkejut dan malahan mengira Jibril itu makhluk Jin yang tengah merasukinya.

Beliau menggigil sekujur badan dan meminta Khadijah menyelimutinya. Jelas hal itu tidak dibuat-buat. Beliau benar-benar mengalami perasaan takut, terkejut. Beliau sebelumnya sama sekali tidak berpikir hendak menjadi seorang nabi. Beliau menjalani uzlah bukan lantaran ambisi supaya diangkat sebagai rasul. Maka, jelas sudah, prinsip aqidah Islam bukanlah hasil olahan pikiran dan renungan seorang Muhammad Saw.

Wahyu bukan hasil intuisi. Bukan suatu pemikiran gila seorang Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam. Kemudian, terhadap pertanyaan, “Jika memang wahyu lewat perantaan Jibril, mengapa para sahabat tidak ada yang melihat Jibril? Bahkan Khadijah, sang istri, juga sama sekali tak melihatnya?” 

Muhammad Said Ramadhan menjelaskan bahwa untuk menyatakan keberadaan sesuatu, tidak disyaratkan harus dapat dilihat. Hal itu karena penglihatan manusia terbatas. Bukankah setiap sesuatu yang jauh dari jangkauan mata kita, bukan berarti tidak ada kan? Adalah mudah bagi Allah untuk memberikan kekuatan penglihatan kepada siapa saja yang dikehendaki, dan yang lain tidak bisa melihatnya.

Buta warna misalnya, menunjukkan bahwa ada sebagian warna yang buram oleh sebagian orang, tapi jelas oleh yang lain. Jadi tidaklah aneh, jika Muhammad Saw. akhirnya mendapat karunia dapat melihat bahkan bercakap-cakap dengan Jibril, sementara yang lain tidak.

Berikutnya yang tak kalah penting untuk dicatat, sepanjang kenabian, Muhammad Saw. memerintahkan para sahabatnya agar mencatat Al-Quran segera setelah diturunkan. Adapun untuk hadits, beliau memerintahkan supaya dihafal saja. Hal itu, agar jangan sampai terjadi campur aduk antara kalam Allah dengan sabda Nabi.

Terus fenomena wahyu itu sendiri juga menarik. Nabi Saw. sering ditanya tentang beberapa masalah, tetapi beliau tidak langsung menjawab. Beliau terlebih dahulu menunggu diturunkannya wahyu untuk menjawab pertanyaan tersebut, dan kadang beliau harus menunggu lama. Baru setelah ayat turun, beliau memanggil si penanya dan membacakan ayat Al-Quran yang masih fresh dari langit. 

Kadang dalam beberapa hal, Nabi Saw. melakukan sesuatu, kemudian turun ayat sebagai teguran atau koreksi. Maka, jelaslah, betapa ke-ummi-an beliau, menunjukkan orisinalitas Al-Quran sebagai wahyu Tuhan. Beliau tidak mungkin akan menerangkan sejarah nabi-nabi sebelum beliau, termasuk fenomena alam akhirat yang akan datang, sekira tidak ada petunjuk langsung dari Tuhan. Beliau ummi, tidak bisa membaca dan menulis, sehingga mustahil mengetahui informasi-informasi kejadian masa silam, tanpa bimbingan Tuhan lewat Jibril.

Nah, kejujuran Muhammad Saw. menjadi modal dasar dan besar dalam menyampaikan risalah Islam, di tengah para sahabat yang lebih melek aksara. Mereka yang kritis, akhirnya dengan mudah menerima bahkan meyakini apa yang Muhammad Saw. sampaikan, lebih karena sebelum menjadi nabi, Muhammad Saw. dikenal sebagai orang yang jujur dan terpercaya.

Beliau Saw. begitu mudah mengusir keraguan sahabat-sahabat, karena pancaran kedua mata dan pikiran beliau itu jernih. Sedari dini beliau terbebas dari jamah budaya yang menggelapi kehidupan Makkah. Beliau adalah ummi. Juga al-Amin.

Begitu.

Ungaran, 13/12/2021

Baca juga: Pemuda yang jujur lagi Mulia

Post a Comment

0 Comments