Berlepas Dua Terompah

Foto kegiatan Menanam di Boja, Kendal

Pesan Kearifan Pak Muh (3)

“Binatang saja cemas meninggalkan anak-anaknya di dalam sangkar yang tak aman. Tetapi manusia yang berakal bisa tenang melihat masyarakatnya nyaris terancam bencana.” ungkap seorang misterius kepada Ubaid.

Pak Muh menggambarkan dirinya, lewat tokoh Ubaidillah, terperenyak mendengar ungkapan dari sang misterius itu. Buru-buru ia mengejar hingga ke lorong depan rumahnya, tapi orang aneh itu telah lenyap di tikungan. 

Kepala Ubaid kian pusing. Hingga kemudian, dari radio yang tergolek di meja tulisnya mengalun qira'atul Qur'an, mengabarkan keterlibatan seorang mukmin di tengah lingkungan. “Engkaulah sebaik-baik umat yang dikirim buat manusia, untuk menyuruh melakukan yang benar dan mencegah yang mungkar, dan kamu tetap beriman kepada Allah.” (Ali Imran:110). 

Sebaik-baiknya umat..., kata-kata itu diulang-ulang Ubaid setiap kali teringat tamu misteriusnya.

Dalam pesan kearifan Pak Muh sebelumnya, saya mengulik tentang pengejawantahan salat dalam hidup sehari-hari. Bahwa salat akan bermakna jika si mukmin menegakkannya dalam pengabdian menebar salam kepada sesama. Nah kesempatan ini, saya salinkan penjelasan Pak Muh tentang makna puasa, buat melengkapi teknis menuju “sebaik-baiknya umat” yang digumamkan si Ubaid. 

Dalam pengajian bulanan di musala, depan rumahnya, Pak Muh kerap menyampaikan, puasa adalah sarana teknis menghayati keadaan Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak makan, tetapi memberi makan. Puasa adalah sarana menyerap sifat Tuhan. Ibarat besi yang dimasukkan ke dalam api, akan menyerap sifat api yang sanggup membakar apa saja yang tersentuh.

Berpuasa memungkinkan seorang mukmin menyandang sifat Tuhan. Sifat baqa (kekal), misalnya, sebagaimana kisah Ki Ageng Sela yang seumur hidup berpuasa daud. Sehingga, nama Ki Ageng Sela abadi sebagai orang besar lantaran anak turunnya berhasil menjadi Raja Mataram.

Pak Muh mengulas, bangsa-bangsa yang tidak punya tradisi puasa tidak akan mampu bersejarah. Mereka berhenti di tengah jalan dan hanya meninggalkan kisah pengantar tidur. Singkatnya, berpuasa juga akan mengabadikan diri. Berpuasa itu menyatukan dua identitas: makhluk budaya dan makhluk qodrati menjadi makhluk sejarah. 

Telah kita alami, sudah kita rasakan, puasa mengjungkirbalikkan keadaan supaya kita awet. Onderdil kita tidak cepat aus. Bahwa kebiasaan makan tiga kali sehari diubah dua kali. Bahwa saat ingin makan pada siang hari, justru dicegah. Ketika tak bernafsu makan pada dini menjelang fajar, justru harus makan sahur. 

Saat puasa, tubuh yang biasanya disuplai kalori tiba-tiba dicegah, padahal energi keluar terus, karena kita tetap harus beraktivitas. Dan sebagai gantinya, sel-sel yang ada dalam daging, yang ada di tulang, yang ada di otak, terpaksa dibakar untuk tetap menjamin kelangsungan hidup selama Ramadan. Sel-sel itu pun berguguran dimakan sendiri. Sel-sel di tangan, kaki, mulut, hingga otak, yang memiliki rekam jejak buruk pun musnah. Sehingga, selepas Ramadan, kita menjadi manusia baru, manusia normal yang selaras dengan alam, yang suci. Sel-sel lama berguguran, dan fitrilah kita.

Selanjutnya, puasa menyadarkan keberadaan kita di tengah semesta alam. Acap kita salah menyikapi kenyataan. Kita merasa lebih tinggi dari alam, yang dengan sesuka hati kita perebutkan hinga keropos. Seolah dunia ini boleh saja kiamat setelah kita selesai mengeksplorasinya. Padahal tidak demikian. Alam harus terus dijaga dari kepunahan.

Ibadah puasa melatih ketahanan diri dengan cara memungut fasilitas alam seminimal mungkin. Karena sesungguhnya fasilitas alam tak selayaknya diperebutkan dengan mengorbankan pihak lain, atau dihambur-hambur demi memanjakan nafsu. Alam mesti dimanfaatkan seefisien mungkin demi kelestarian hidup bersama. Kelestarian bumi.

Akhirnya jelaslah, di tengah gelimang sarana yang mewah dan berlimpah ragam hayati di negeri ini, selaku muslim justru harus berhenti memunguti sesuka kehendak sendiri. Artinya, inilah cara kaum beriman berkontribusi terhadap kehidupan, yakni memberi kesempatan yang lain untuk bertumbuhkembang. Istilah Pak Muh: memberi tanpa mengulurkan tangan. 

Tersebut kisah Musa, dalam pengembaraan hingga di bukit Sinai, beliau diperintah Tuhan untuk menanggalkan kedua terompahnya, supaya dapat berdialog dengan Tuhan. 

Dua terompah “kanan” dan “kiri” adalah simbol dari kedua pijakan manusia: jiwa dan raga. Allah tidak berkenan berkomunikasi dengan hamba-Nya, selama baju eksistensialnya (jiwa dan raga) belum dilepaskan. Selagi keinginan jiwa dan raga masih sedemikian melekat di hati.

Kaum Muslim pada bulan Ramadan, sebelum berbuka puasa, niscaya permohonan mereka diterima Tuhan, sebab telah menampik segala damba jiwa dan raga.

Ya, menanggalkan dua terompah kita, sama artinya memberi kesempatan yang lain untuk menikmati. Kita tidak lagi ingin berebut. Tidak ingin turut mereguk fasilitas alam seenak sendiri. Sebab sadar, sumber daya alam ini kian tipis makin langka. Dan, kita tidak mau kiamat segera datang. 

Syahdan, berpuasa adalah upaya menunda kiamat. Dan upaya meniru sifat Tuhan, saya kutip dari The Message of the Quran Muhammad Asad, “Dia-lah yang memberikan makanan, sedangkan Dia sendiri tidak membutuhkannya.” (al-An’am: 14).

Ungaran, 03/01/2022

Baca juga: Membaca

Post a Comment

0 Comments