Membaca

 Pesan Kearifan Pak Muh

Pesan Kearifan Pak Muh (2)

Masih dari Lantai-Lantai Kota. Diceritakan, si Ubaid teringat ayat suci yang menyatakan, siapa di dunianya buta, kelak di akhirat ia akan buta dan lebih sesat lagi jalannya, al-Isra: 72.

Pak Muh menjelaskan, tentu saja ayat itu tidak sedang membahas sepasang mata yang kita miliki sekarang, tapi mata yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan jauh nanti. Yang tidak membuat kita buta pada hari panjang nanti.

Sepasang mata yang dapat menyaksikan pelayanan Tuhan kepada semua makhluk kapan dan di mana saja. Sepasang mata yang mengetahui hadirnya perintah Allah pada setiap momen kreatif di dalam proses sejarah. Sepasang mata yang mampu membedakan pengejawantahan diri yang ilahi dan yang insani.

Mata yang jika sakit tak ada dokter yang sanggup menyembuhkan. Jika kabur tak ada lensa yang dapat menjelaskan. Inilah mata yang dikaruniakan kepada para rasul, para nabi, para wali dan hamba-hamba-Nya yang sungguh beriman. 

Dalam Secawan Cinta, kemampuan sepasang mata ini bersierat dengan ketepatan membaca, "Bacalah dengan nama Allah yang menjadikan." (al-Alaq: 1).

Bahwa membaca setiap obyek, tidak memotong sesuatu dari asalnya, Tuhan yang menjadikan. Sehingga, kita akan memperoleh pemahaman sesuatu secara utuh. Tidak mengkultuskannya sebagai sesembahan, tidak merendahkannya sebagai yang nista. 

Juga sesuatu yang kita baca itu, ada berkat dukungan berjuta-juta sebab yang menyusun sejarah jadinya. Ada proses evolusi alam yang menjadikannya tampak sempurna saat ini. Ada berkat pelbagai disiplin ilmu, atau keterlibatan para kreatif. Suatu jasa alam dan budaya, oleh al-Qur’an, diistilahkan “pena”, "Yang mengajar manusia dengan pena.” (al-Alaq: 4).

Terungkapnya “pena” sebagai rentetan sebab yang mendukung lahirnya sesuatu. Yang menyadarkan kita adanya jasa semesta. Yang menuntut kita utuh dengan semesta dalam arus kreatif yang tak kunjung henti. Menuntut pertanggungjawaban, sedianya kita mengungkap kemungkinan baik, sekaligus membendung kemungkinan buruk, amar ma’ruf nahi mungkar. 

Yang demikian membuktikan daya baca: memahami perintah Allah yang tampil di balik segala sesuatu. Kemampuan sepasang mata menyaksikan Tuhan hadir di balik setiap fenomena, "Mengajar manusia tentang sesuatu yang tak diketahui" (al-Alaq: 5). 

Jadi, wahyu pertama turun mengajak kita membaca kenyataan secara akurat. Bahwa kenyataan merupakan tempat Yang Mahanyata menyatakan diri. Bahwa Ia menyatakan Diri dalam rangka melayani, mengembangkan, dan melindungi makhluk. Bahwa kenyataan yang berwujud benda, manusia dan peristiwa itu hakikatnya berwajah dua: “ciptaan” dan “perintah”. 

Pak Muh menjelaskan detail, baik dalam kesempatan ngobrol santai maupun di Secawan Cinta, tatkala kita menghadapi kenyataan dan yang tampak adalah sisi “ciptaan”, kita bersemangat mengungkap segala yang tersimpan di dalamnya. Namun, jika yang tampak sisi “perintah”, kita akan kehilangan hak menyentuhnya sesuka hati, menurut kemauan sendiri. 

"Ketahuilah di bawah kekuasaan Allahlah segala makhluk dan segala urusan. Mahaberkah Allah Pencipta Alam Semesta." (al-A’raf: 54).

Menyaksikan “urusan” yang melatarbelakangi setiap “makhluk” sama artinya menyaksikan Wajah Allah, yang oleh para Sufi dipandang sebagai kematian  agung  yang bernuansa abadi. "Ke mana saja engkau menghadap, di sanalah Wajah Allah." (al-Baqarah:115).

Dan, Pak Muh mengungkapkan ini, dan jujur saya menahan ngeri menyalinnya, bahwa menyaksikan Wajah Allah itu persis keadaan orang yang telah meninggal. Ia akan tampil tanpa mempertahankan martabat dan harga diri dan tidak pula bersandar pada apa yang telah dimiliki dari harta, ilmu-pengetahuan, amal perbuatan dan prestasi-prestasinya. 

Ia tidak lagi terpesona oleh apa pun, tidak pula meminta sesuatu pun, dan bahkan tidak pernah mengadukan perihal apa pun. Akhirnya, ia tak lagi jinak kepada siapa pun, karena ia telah mendapatkan Allah yang tak tertandingi.

Maksudnya apa? Jelas bahwa kita mustahil bisa membaca Perintah Tuhan atau menyaksikan Wajah-Nya sebelum kita mati. Kata “mati” di sini adalah telah selesai dengan persoalan diri sendiri, yakni terpanggil untuk mengurusi masalah yang lebih besar, masalah umat manusia dan semesta alam.

“Istirahatkan dirimu dari berupaya (untuk kepentingan diri). Karena apa yang telah ditegakkan oleh selain dirimu (Allah), tak perlu engkau bersusah payah menegakkannya untukmu.” Ungkap Syekh Ibnu Athaillah. 

Demikianlah, di akhir cerita, si Ubaid mengangkat kedua tangannya, menghadap ke ruang yang tak bertepi. Entah apa yang tengah dilangitkannya. 

Barangkali ia memohon penglihatan yang mampu menembus segala, di balik bentuk-bentuk, warna-warna dan peristiwa-peristiwa yang membanjiri cakrawala, buat dirinya dan semua orang beriman. Karena hanya dengan penglihatan yang seperti itulah globalisasi (dengan segala perkembangan revolusinya, kini bersiap menyongsong 5.0) tidak akan mencederai keluarga manusia di negara yang sedang berkembang ini.

Ungaran, 02/01/2022

Baca juga: Ejawantah Salat

Post a Comment

0 Comments