Cita-Cita Peradaban

 Bedah buku Perjuangan Besar Nahdlatu Ulama

Serasa diingatkan. Menyimak paparan Kiai Yahya Cholil Staquf di youtube, tentang Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, ingatan saya pun mengembang. Beliau menegaskan, NU didirikan tidak semata-mata merespon gerakan Wahabi, tetapi menengarai musim gugur peradaban Islam.

Turki Utsmani, dari tahun 1299 hingga abad keenam belas dan ketujuh belas, merupakan imperium terkuat di dunia. Turki Utsmani memimpin peradaban dunia. Ia mengendalikan sebagian Eropa, Asia Barat, hingga Afrika Utara.

Istilah “peradaban” yang kerap dipercakapkan sang kiai, yang kini ketua umum PBNU, langsung melayangkan memori diskusi ke diskusi yang saya ikuti tahun 2000-an. Saat itu saya getol mengikuti wacana peradaban. Karya Fritjof Capra Titik Balik Peradaban serasa jadi buku saktinya. 

Betul. Saat ini kita menjadi saksi, betapa keadaan dengan skala mondial dan dalam kurun waktu yang sangat cepat, sedang dan akan terus berubah. Kiai Yahya mengingatkan, Turki Utsmani, dengan warna Islamnya, 500 tahun memandu peradaban. Namun, begitu usai perang dunia pertama, tamat pula imperium Islam itu dari muka bumi. Turki Utsmani jatuh, negara-negara Eropa berkonsolidasi, dan Islam kian terpuruk. 

Nah, cita-cita pendirian NU adalah cita-cita peradaban, ungkap Kiai Yahya. Gambar jagat, yang menjadi lambang NU, jelas menunjukkan hal itu. Bahwa semenjak abad ke-20, semua saja, tidak hanya Islam, tengah dirundung masalah. Oleh karenanya, NU menginisiasi gerakan ke arah persatuan umat manusia, ukhuwah basyariyah. Bahwa dengan menjunjung tinggi rasa persaudaraan antarsesama, niscaya masalah-masalah bisa diupayakan beres. 

Apalagi dari doktrinnya, Islam memang agama humanis. Berislam sama artinya berempati kepada realitas obyekif. Bersatu rasa dengan keseharian yang acap dianggap sepele, lumrah, atau wajar. Berislam adalah memanusiakan yang lain, terutama kepada yang berbeda keyakinan, yang lemah atau dilemahkan. 

Bahwa berbaikan antarsesama agama, sesama Islam, terlebih yang sesama mazhab, sudah semestinya. Tetapi, berkoeksistensi, berdampingan secara damai dengan yang berbeda, atau bahkan yang bertentangan, adalah dogma Islam yang sedari dini disiarkan Kanjeng Nabi Saw. (bisa dilihat dalam surah al-Hujurat: 13). 

Adalah dogma humanitarian, dogma Islam untuk kemanusiaan. Adalah kebutuhan ruhani menyapa yang tersisih, yang marjinal, yang luput dari perhatian. Adalah rasa manusiawi yang penuh simpati dan empati. Adalah peka dengan segala kesulitan, dan lantas saling ulur nilai kebajikan. Adalah sebetulnya nilai klasik, nilai kemanusiaan yang lahir bersamaan kelahiran manusia itu sendiri. 

Namun, entah kenapa, di sana-sini, masih saja merebak tindak dehumanisasi, diskriminasi, saling hujat, saling tuduh kafir dan sesat, sampai pengusiran dari kampung halaman. Masih terngiang jelas bagaimana teman-teman Syiah di Madura, mesti mengungsi, terusir dari tempat tinggal. 

Saudara-saudara Ahmadiyah juga mengalami nasib serupa. Ya, misal pun mereka tak terakui sebagai muslim, kenapa tak dilihat sebagai sesama keluarga manusia? Kalau pun Syiah dan Ahmadiyah tidak mendapat tempat dalam doktrin mayoritas muslim, tetapi jelas mereka itu tetap umat manusia, bukan setan, Jin, atau kerumunan binatang. 

Hukum rimba, yang menjadi gaya hidup sekawanan binatang, masih saja bercokol di alam bawah sadar mayoritas puritan. Yang merasa berhak menyingkirkan “duri” Ahmadiyah dan Syiah dari tubuh Islam. Begitu pula terhadap nonmuslim, terutama umat Kristiani. Saya kerap mendapati kata-kata ketus dan keengganan kawan-kawan Muslim puritan untuk menyapa mereka. Saudara-saudara kristiani seolah makhluk najis, yang tak elok disapa, hingga pengharaman mengucap selamat Natal. 

Mereka memplesetkan “Selamat Hari Natal” menjadi “Selamat Dari Natal”. Duh, betapa sakit telinga ini mendengar guyonan rendah itu. Saya bingung dan tak habis pikir, apa yang salah dengan Natal? Lantas tak pantaskah mengirim ucapan tanda empati sesama hamba Tuhan? Sehingga, cukup dengan mengubah kata “hari” menjadi “dari”, seolah tiket surga telah dalam genggaman.

Sedemikian jadulnya Tuhan? Baik buruk seseorang, layak tidaknya menghuni surga, cukup dengan mengumbar vonis sesat. Sedemikian kuno Tuhan? Bahwa menunaikan hak Tuhan cukup dengan mengeksklusifkan diri. 

Namun, syukur alhamdulillah, saya berkesempatan mendapat wawasan Islam yang berorientasi kepada kemanusiaan. Agama penuh rahmat, sepenuh kasih. Agama yang justru meniscayakan umat untuk senantiasa menegakkan kasih sayang. Ingat, adalah keutamaan bagi setiap mukmin yang membaca basmalah lebih dahulu pada setiap awal perbuatan, baik dalam hal peribadatan maupun interaksi sosial. Betapa suatu amalan seyogianya melibatkan Tuhan Yang Mahakasih dan Maha Penyayang. 

Jadi, Islam itu perjuangan membela kaum tersisih (sabilil mustadh’afin), agama humanis. Islam itu juga tidak bakal merendahkan kaum wanita, yang menganggapnya komoditi, yang seakan banyak istri makin dekat Tuhan. Seolah berpoligami adalah tiket surga, tidak demikian. 

Pendeknya, jiwa Islam itu kebajikan dan kemenangan buat semua. Sementara yang gemar menebar teror, menabuh genderang horor, dan yang hobi mengembuskan ketakutan kepada minoritas, adalah ciri tirani. Yang masih terbelenggu oleh angannya sendiri. Belum “bebas dari”. 

Islam, dengan doktrin La ilaha illa Allah, adalah membebaskan diri umat dari segala belenggu. Kemudian, sebagaimana diungkap Kiai Yahya Cholil Staquf, umat Islam turut meneguhkan agenda peradaban. Bersama mewujudkan peradaban baru, sehingga musim gugur peradaban ini tidak keterusan.

Dewasa ini, entah Eropa, entah Amerika, entah Asia, dan di mana saja, tengah terdera defisit peradaban. Tidak saja Islam yang berkepentingan soal kemanusiaan, tapi semua. Dan saya kian termantapkan bahwa NU, seusai menyimak paparan Kiai Yahya, sedari awal mencita-citakan peradaban yang humanitarian.

Ya, saya langsung teringat diskusi ke diskusi saat itu. Diskusi sejarah peradaban. Dan kini Kiai Yahya Cholil Staquf kembali mengibarkan Islam peradaban. Benar-benar puji Tuhan tiada tara.

Ungaran 08/01/2022 

Baca juga: Nahdlatul Ulama

Post a Comment

0 Comments