Demi Allah atau ….

Ngaji Hikam

Pada Kamis dini hari, 20 Januari 2022. 

Hujan memang tinggal menjadi gerimis, tapi dingin pada dini hari itu tetap berasa menyiksa. Tidak tahu, apa Rahma juga merasakan seperti yang saya rasakan? Entahlah!

Masih di atas jok seoeda motor, kami menyusuri jalan utama Semarang-Ungaran. Dingin terus merangsek. Apalagi pas di jalan tanjakan Gombel, kabut pekat menutup jarak pandang saya. Maka, mau tak mau saya mengendalikan sepeda motor dengan kecepatan superlelet. Seperti apa itu: bayangkan sendiri!

Dalam keadaan demikian, saya betul-betul merasa alangkah sedikit sebetulnya yang saya butuhkan. Cukup jaket tebal, atau jas hujan yang tak tembus air. Kemudian sampai rumah, jaket atau jas itu dilepas, ganti kaus kering, terus rebah-rebah sebentar sebelum masuk subuh.

Kemudian, rumah yang dihuni juga tak perlu besar, cukup buat berbaring, makan-minum, dan sedikit kebutuhan yang lain. Toh ketika mati, tiga meter persegi pun sudah cukup. Namun, ya, saya masih sering kali tak terbatas memimpikan kebutuhan. Padahal, kebutuhan bisa dicipta dan dikembangbiakkan dengan ditekan seminimal mungkin, bukan! 

Dan seusai mengikuti Ngaji Hikam, tiap kali dalam perjalanan balik ke Ungaran jadi semacam praktik memangkas kebutuhan. Tiap kali dalam perjalanan balik, saya, dan Rahma juga, serasa tak ada kebutuhan lebih selain hanya butuh cepat sampai rumah.  

“Tadi itu keren banget.” kata Rahma saat itu, saat sepeda motor kami merangkak pelan di tanjakan Gombel.

“Iya.” sahut saya lirih.

“Ada definisi rendah hati yang kita tak bisa sembarang menyatakan diri telah berendah hati karena jatuhnya sombong.”

“O yang itu ta! Kirain!” timpal saya dengan tidak lirih lagi.

“Lha emang yang Ayah maksud apa? Hehehe… jangan sok tahulah! Belum tentu yang Ayah tangkap dari ungkapan orang lain, itu yang sebenarnya dimaksudkan. Belum tentu, karena lidah tak bertulang, Yah. Banyak kok, hari ini bilang A untuk membenarkan omongan kemarin yang menyatakan Z. Banyak yang begitu. Maka, jangan buru-buru menyimpulkan!”

“Lo kok jadinya ke mana-mana sih, Bun?” 

“Ya nggak ke mana-mana lah, Yah. Lha wong Bunda cuma pengin negesin soal dua perkara: rendah hati dan sombong. Rendah hati itu sendiri juga lahir dari dua hal. Pertama, pengetahuan tentang karakter asli diri kita, yakni sifat lemah, tak memiliki kekuatan, bodoh, hina, dan selalu butuh Allah. Kedua, perasaan kita tentang keagungan dan keluhuran Allah.”

“Jadi, rendah hati itu lahir dari pengetahuan dan perasaan gitu?”

“Yup, tapi jangan dipotong dululah! Biar Bunda selesain. Gini, lantaran pengetahuan dan perasaan itulah lahir rasa takut, rasa hormat, dan rasa agung. Kita tidak lagi melihat diri memiliki keluhuran apa pun di hadapan orang lain, apalagi di hadapan Allah.”

“Berarti, sory Ayah sela, Bunda nyamain antara rendah hati dengan rendah diri, begitukah?”

“Bisa demikian. Karena mewujudkan rendah hati hanya mungkin tatkala kita mampu melepaskan diri dari penyakit sombong. Ingat, kata sombong itu kan menghargai diri secara berlebihan. Maka, pas banget hikmah yang dituturkan Yai Sholah tadi, betapa telah sombong seseorang ketika mendaku tawaduk.”

“Nah itu dia, Ayah pengin tahu perspektif Bunda soal hikmah tadi.”

“Ya, jelas kan, bahwa telah berlaku sombong tatkala melihat diri sendiri memiliki kelebihan atas orang lain, walau berupa sikap rendah hati. Bahwa kita merasa telah berendah hati, sama artinya kita merasa lebih di atas orang lain. Yang tanpa sadar, kita menilai orang lain tidak atau belum bersikap rendah hati.”

“Mantap!”

“Ya iyalah, bundane Rakai gitu loh! Hehehe ….”

Begitulah dini hari itu. Kami terus mengobrol untuk menghindarkan dingin yang makin menyerbu. Kabut masih begitu pekat, sehingga kami harus berjalan amat pelan, seraya mengawaskan pandangan. Dan, jarak pandang baru tampak normal setelah melewati Sukun. 

Hujan memang tinggal menjadi gerimis, tapi dingin pada dini hari itu tetap berasa menyiksa. Seolah percuma saja mengenakan jas hujan. Untung saya berdua dengan Rahma. Tak terbayang saya mengendarai sendirian, pada dini yang dingin itu. Sepi. 

“Tawaduk itu kan memerangi nafsu. Memerangi keinginan untuk dianggap punya kelebihan, memiliki keluhuran budi, memiliki kecakapan berpikir, dan seterusnya.” sambung Rahma.

Saya mendengarkannya dengan seksama. Jujur, saya makin kagum padanya. Ia tak banyak cakap, saya juga sih, tapi begitu ia mengeluarkan unek-unek, saya tak sanggup mencegah. Serasa bah sungai Banjir Kanal. 

“Kita ikut ngaji hikam itu adalah belajar untuk tidak menetapkan kelebihan buat diri kita sendiri. kita ikut ngaji itu untuk menelisik sesungguhnya kita ini siapa, dan kita ini punya apa. Dan nyatalah akhirnya, kita bukan siapa-siapa selain hanyalah hamba sahaya, hamba Allah. Nyatalah bahwa kita tak punya apa-apa, selain predikat sebagai hamba. Sehingga tugas selama hidup di muka bumi ini pun hanyalah mengabdi. Nah, selaku abdi, jelas akan melihat diri sendiri lebih rendah dari siapa pun bukan!”

“Itu yang susah, Bun!” 

“Tidak susah, Yah, aslinya, kalau kita mau menghayati bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Dan segala keinginan kita yang menyenangkan itu kerap sebagai nafsu tersembunyi, yang sebetulnya ada dalam kerendahan dan kehinaan.”

“Sebentar, Bun, sebelum lanjut, Ayah minta teknisnya saja. Bunda tunjukkan teknis berendah hati itu!”

“Ah, langsung main teknis aja. Konsepnya dulu dimatangkan. Tapi ya wis gini saja, kita hidupkan kesadaran bahwa “saya” itu adalah “sahaya”, artinya abdi, budak, atau hamba. Jadi “saya” sama sekali tak punya hak untuk lebih di atas yang lain, karena “saya” itu hanyalah seorang abdi. Persis dengan istilah Jawa “kula” dari ungkapan “ngaku ala”, mengaku tak berharga. Sementara segala sesuatu yang di hadapan kita adalah “engkau” yang kita nisbatkan dengan “ke-Engkau-an” Allah, bukankah ‘ke mana saja mata memandang, di situlah Wajah Allah?’ Dengan demikian, saat melihat kenyataan yang berwujud benda-benda, hayawan, tetumbuhan, manusia, dan peristiwa-peristiwa, langsung kita arahkan sebagai “Engkau” Allah yang tampil di balik itu semua. Yang otomatis, selaku hamba, kita tidak berhak merasa di atas itu semua.”

“Lagian Yah,” lanjut Rahma, “Keadaan seseorang yang telah menyaksikan Wajhullah itu memang persis seperti keadaan seorang budak. Ia akan tampil tanpa memertahankan martabat dan harga dirinya dan tidak pula bersandar pada apa yang telah dimilikinya dari harta, ilmu pengetahuan, amal perbuatan dan prestasi-prestasinya. Ia tak lagi dapat terpesona oleh apa pun, tidak pula meminta sesuatu pun, dan bahkan tidak pernah mengadukan perihal apa pun. Ia tak lagi jinak kepada apa dan siapa, karena ia telah mendapatkan Allah yang tak tertandingi oleh apa dan siapa.”

“Ayah tambah ra mudheng.”

“Haiyyah sok ra mudheng! Hehehe….” tawa renyah Rahma sembari memijit punggung saya, yang sekaligus menyadarkan bahwa perjalanan pada dini hari itu sudah hampir sampai rumah.

“Gampangnya begini,” sambung Rahma, “ungkapan ‘Tiada Tuhan selain Allah’ itu kan kalimat pernyataan yang menuntut bukti. Karena bukan ‘kalimat pengakuan’ yang hanya membutuhkan kejujuran dari si pengucap. Kalimat itu menuntut bahwa segala keinginan yang tebersit di benak kita harus dikonfirmasi: dalam rangka mengagungkan Allah atau mengagungkan diri sendiri? Demi Allah atau demi ambisi diri?” 

Duh, makin pening saya! Bahkan hingga saya menuliskan ini, ingatan akan lintasan saat itu sungguh memuyengkan. 

Sedemikiankah akibat dari Kamis dini hari itu? Entah, yang jelas, saat itu hujan memang tinggal menjadi gerimis.

Ungaran, 21/01/2022

Post a Comment

8 Comments

  1. saya = sahaya, kulo = Kawulo... mantap mas tulisannya 👍👍

    ReplyDelete
  2. punya teman diskusi gini memang selalu seru ya. bisa nyambung dan saling melengkapi, bukan menghakimi apalagi menyalahkan. semoga selalu menebar kebaikan buat sekitar juga

    ReplyDelete
  3. Masya Allah baca ini aja berasa kek lagi adai di lokasi diskusi langsung, obrolan ringan tapi berbobot.Suka banget bahasanya mudah dicerna dan berterima. Tentang rendah hati bxk yng rendah hati hati untuk meroket. Semoga Allah selalu enjaga hati kita.

    ReplyDelete
  4. Setuju banget jika dipikirkan, apalah arti manusia di dunia ini hanya seseorang tanpa daya dan upaya kecuali karena Allah, apa yang orang cari hingga menumpuk harta dan melakukan korupsi padahal nanti semua dihisab ya..

    ReplyDelete
  5. wih romantis banget. diskusi suami istri yang super keren. saling mengingatkan dalam kebajikan.

    ReplyDelete
  6. Penuh makna banget obrolannya ya. Betul, aku setuju bahwa kita semua itu tidak pantas juga merasa lebih Agung dari yang lain, karena kita ya hanya manusia

    ReplyDelete
  7. MasyaAllah diskusinya berbobot banget kak kerennnn... "We Time"bersama pasangannya romantis maksimal...

    ReplyDelete
  8. Seru banget kalo bisa berdiskusi begini di dalam keluarga. Ada manfaat dan hikmah yang bisa dipetik. Thank you for sharing :)

    ReplyDelete