Hadirnya Seorang Guru

 Nagji Hikam bersama Gus Sholahuddin

Matahari mulai hangat, tapi belum menyengat. 

Seperti biasa, Kamis pagi, sebelum beredar untuk mengukur ruang di luar rumah, sesaat saya bertafakur di depan laptop. Ada banyak berseliweran di benak, terutama kaitan ngaji hikam, yang rutin pada Rabu malam di kediaman Gus Sholahuddin.

Adalah Rahma, istri tercinta, sedemikian rajin menghadiri ngaji. Terus terang saya kalah jauh dalam hal semangat. Saya acap terhinggapi rasa kantuk dan malas saat mau berangkat ke Semarang. Berbeda dengan Rahma, yang sudah bersemangat empat lima sedari sore, mulai dari menyiapkan tas punggung, kitab hikam, jas hujan, hingga menu malam buat Rakai yang berjaga di rumah.

Nah, Rabu malam itu, 26 Januari 2022, untuk sekian kali saya beserta istri mengikuti untaian demi untaian kebijaksanaan yang meluncur dari Gus Sholahuddin. Dan esoknya, Kamis pagi, sebelum kami beraktivitas melenggang ke luar rumah, lagi-lagi Rahma mengetuk ingatan saya.

Ya, Rahma, sembari menata menu sarapan di atas meja kecil di ruang keluarga, yang sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu. Ruang tamu ini sempit, yang tersambung dengan ruang dapur dan mushala arah ke dalam. Pintu tersekat kain, memudahkan kami keluar-masuk. 

“Pas subuhan tadi, Ayah masih terpikir surga-neraka nggak?” tanya Rahma.

“Pasti mikir dong! Emang kenapa?” sekenanya saya jawab, karena lagi fokus menatap layar laptop.  

“Nggak, cuma mastiin aja.” 

Sontak saya menoleh kepadanya.  “Mastiin apa?” batin saya. Tampak nyata, rona cerah berpendar dari muka bundarnya. 

“Ternyata Ayah belumlah seorang mukmin sejati.” lirih Rahma, tapi masih terdengar jelas di telinga saya. “Seorang mukmin itu tidaklah pernah melihat dan memperhitungkan amal perbuatannya. Apabila menjalankan kewajiban shalat, puasa, dan kewajiban yang lainnya, tidaklah berpamrih surga atau supaya terhindar dari neraka.”

Jujur, ada perasaan gemas diceramahi istri demikian. Tapi, bagaimana lagi, memang begitu adanya uraian hikmah yang kami peroleh dari ngaji di Rabu malam itu. Bahwa Syekh Ibnu Athaillah mengungkapkan, “Pencinta bukanlah orang yang mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya. Sejatinya, pencinta adalah yang mau berkorban untukmu, bukan yang menuntut pengorbanan darimu.”

“Lagian gini,” lanjut Rahma, “apa hak Ayah menuntut surga? Kan jelas ta, Yah, kita itu hanyalah sarana perbuatan Allah. Artinya, segala perbuatan baik yang kita lakukan saban hari ini, murni bukan kita yang melahirkan, melainkan perkenan Allah. Semua ini pemberian atau ganjaran dari Allah. Maka, hanya kepada-Nya pula segala pujian tertuju. Dan sangat tidak patut kita menuntut hak kepada-Nya, apalagi sampai memuji diri sendiri. Memuji bahwa kita tidak pernah mangkir shalat subuh, tidak pernah bolong shalat jumat, rajin puasa. Sungguh, tidak pantas!” 

Saya terdiam. Layar laptop masih menyala, tapi satu baris kalimat pun tak kunjung terangkai. Detik berikutnya, saya matikan laptop. Saya pikir, tak baik mematung di depan layar menyala dengan mata menerawang. Sementara Rahma tak bosan meneror perasaan dan pikiran saya, dengan mengingatkan hikmah Syekh Ibnu Athaillah yang disampaikan Gus Sholah. 

Ya, hikmah itu memang jelas dan sungguh dahsyat, “Orang mukmin disibukkan dengan memuji Allah sehingga lupa menyanjung diri sendiri. Ia juga disibukkan dengan menunaikan kewajiban kepada Allah sehingga tidak ingat kepada kepentingannya sendiri.” 

“Ingat lo, Yah, hanya menunaikan hak Allah, bukan mengharap surga. Surga itu bonus dari Tuhan, bukan hak kita. Kita nggak punya hak, yang ada kewajiban untuk menyenangkan-Nya.”

“Iya, ya, cerewet banget sih!”

“Bukan cerewet, cuma ngingetin.”

“Ayah dah tahu kok, nggak perlu diingetin.” tanpa sadar nada omongan saya meninggi.

“Lah tadi itu apa? Subuhan tapi masih ngarep surga!” canda Rahma.

“Tadi itu asal jawab, Bun.”

“Berarti nggak menghargai pertanyaan Bunda!”

“Kok masih minta dihargai sih, Bun? Mana itu penghayatan bahwa mukmin sejati tidaklah pernah melihat dan memperhitungkan amal perbuatan! Bahwa yang terlihat hanyalah anugerah Allah?” 

Rahma tertunduk. Diam-diam saya merasa menang. Ada perasaan di atas angin, tatkala saya bisa membalik pernyataan ke dirinya. Astaghfirullah, benar-benar saya bukan seorang mukmin, jadinya. Sebab, masih berhitung menang-kalah, atau puas tak puas dalam berdiskusi. 

Maafin Ayah, Bun! Intermeso aja tadi. Lagian memang, ngaji hikam itu enak untuk disimak, tapi berat dilaku, sangatlah berat untuk dihayati. Maka, ya, Bunda nggak usah sepaneng gitulah! Woles saja.”

“Tapi bukan berarti asal tahu kan, Yah?”

“Ya, iyalah. Terus apa bedanya dengan anak sekolahan kalau sekadar menumpuk pengetahuan, sebatas mengumpulkan informasi, tanpa upaya diwujudnyatakan dalam keseharian.”

“Alhamdulillah, lega Bunda jadinya. Sungguh, Yah, Bunda itu merasa eman kalau sampai absen dari ngaji hikam. Karena dengan ngaji ini, Berasa dicas, berasa diingatkan betapa kita masih punya Allah. Bahwa Allah bersama kita, Allah selalu didekat kita, bahkan teramat sangat dekat, karena Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Maka, tak soal kalau Bunda dibenci tetangga, dikucilkan teman, toh memang apalah arti Bunda, karena yang sejati hanya Allah. Kita mah tak penting. Yang terutama rida-Nya, yang terpenting Allah senang dengan pengabdian kita.”

Saya terharu mendengarnya. Mantap banget Rahma kalau sedang merenungkan dirinya, tepatnya mengoreksi keseharian kami. Saya bergegas mendekat, dan detik kemudian mengecup kening dan mengelus rambutnya yang belum terbalut kerudung.

“Apaan sih, Ayah ini, pagi-pagi nafsu!” 

“Eh, jangan salah, Bun! Lantaran nafsu, maka ada alasan buat kita berjalan menuju Allah. Bukankah tadi Bunda menyebutkan Allah sedemikian dekat ketimbang urat leher kita! Artinya, sebetulnya salah kalau kita katakan sedang menempuh perjalanan menuju Allah. Lah emang ada jarak? Tidak kan? Cuma, karena dalam pengabdian ini, Allah menganugerahi nafsu sebagai kuda tunggangan, dan kuda ini sangatlah binal, maka ada perjuangan mengendalikan nafsu. Nah, upaya pengendalian nafsu itulah sesungguhnya pengabdian kepada Allah. Ya, jihad akbar-lah.”

“Benar, benar, tapi ya jangan vulgar gitulah, asal main kecup aja! Untung si Rakai tadi Bunda suruh untuk beli Teh Gopek di Bu Nurul, jadi nggak lihat tingkah ayahnya.”

“Lihat juga nggak apa-apa, kan nggak saru kalau cuma begitu.”

“Udahlah! Kembali ke topik, malah bahas yang begituan!”

“Lo ini berkaitan, Bun. Bahwa dalam mengabdi kepada Tuhan, hanya akan selaras jika kita sanggup memberikan semua yang kita miliki. Bahkan sampai tak tersisa secuil pun. Hal itu, tidak lain adalah untuk menunaikan hak Allah. Apa itu hak Allah? Hak Allah sama dengan kewajiban hamba. Kewajiban hamba adalah hak Allah. Kewajiban hamba adalah menomorsatukan Allah. Menomorsatukan Allah berarti menjinakkan nafsu, syukur mematikannya. Maka, hakikat hidup adalah menjalani kematian. Apa itu? Yai Sholah menyebut ada empat jenis mati. Pertama, mati merah, yakni tidak menuruti nafsu. Kedua, mati hitam, yaitu siap menanggung derita akibat dari orang lain. Ketiga, mati putih, siap lapar. Dan keempat, mati hijau, kesanggupan tampil apa adanya, tidak lagi terpikir soal tampilan.”

“Ya, Bunda paham itu. Bahwa siapa pun saja yang tidak mati mustahil bisa melihat-Nya. Iya, kan? Maka, penting kehadiran seorang guru untuk membimbing kita menempuh kematian sejati, bukan kematian fisik yang berakhir di balik tanah kuburan. Seorang guru yang kita damba itu bisa kita ambil ilmunya, bukan sekadar kita dengar ucapannya. Seorang guru yang isyaratnya kita ikuti, bukan yang semata kita tatap saat berkata. Seorang guru yang membukakan pintu hijab antara diri kita dengan Allah, bukan yang sekadar mengajak ke pintu-Nya. Seorang guru yang mengeluarkan kita dari penjara nafsu dan memasukan ke dalam hadirat-Nya. Seorang guru yang ….”

Wis, wis!” saya potong ceramahnya. “Kapan nih sarapannya? Tuh Rakai dah nunggu. Ya kan, Nak?” Dan, Rakai yang memilih duduk dekat pintu masuk setelah dari warung Bu Nurul, hanya mengulum senyum ke kami. 

Ya, pagi itu, matahari mulai hangat, tapi belum menyengat. Akhirnya, sembari sarapan, tersematlah angan di benak kami: hadirnya seorang guru. Sudah di depan matakah dia? Atau masih entah kapan. 

Ungaran, 27/01/2022

Post a Comment

2 Comments