Karya Masterpiece Tuhan

Penjelasan Pak Muh tentang manusia

Pesan Kearifan Pak Muh (6)

Muhammad Zuhri mengetengahkan, manusia adalah karya masterpiece Tuhan. Berbeda dengan ciptaan yang lain, manusia sangat terampil memilih dan menentukan identitasnya sendiri.

Ia mampu keluar dari fitrahnya sebagai manusia. Ia mampu turun lebih rendah dari binatang sehingga setan pun malu melihatnya. Ia sanggup pula terbang ke langit ketinggian, hingga para malaikat tunduk kepadanya.

Tuhan menjadikan manusia lebih dari segala makhluk yang ada, karena adanya amanat perwakilan. Tuhan mempercayakan peran memberadabkan bumi kepada manusia, tidak ke yang lain. Manusia hadir sebagai manifestasi iradah Tuhan, ketika Ia berkehendak mewakilkan kemanajeran-Nya di muka bumi.

Dan rambu-rambu dari Tuhan pun jelas: rahmat bagi semesta alam (Al-Anbiya: 107). Dengan demikian keterwakilan itu pun tetap terikat oleh iradah rububiyah-Nya. Namun, ternyata iradah nafsiyah lebih kuat mendominasi gerak langkah makhluk satu ini, sehingga cenderung menggunakan kebebasannya tanpa menghiraukan tanggung jawab.

"Mereka mempunyai hati yang tiada digunakan untuk mengerti, mereka punya mata yang tiada digunakan untuk melihat dan mereka punya telinga yang tiada digunakan untuk mendengar. Seperti binatanglah mereka, bahkan lebih sesat lagi. Mereka tergolong orang yang lalai.” (al-A'raf: 179).

Padahal, pertama kali manusia didatangkan tidak tanpa modal. Allah memodali manusia dengan mengenalkan nama dan makna-makna. Bahkan kemudian diujikan dengan para malaikat, dan malaikat-malaikat itu mengakui keunggulan manusia. 

Akhirnya, Adam, sebagai bapak manusia, sadar betul bahwa di tengah semesta ini hanya berhak: mengenal petanya dengan baik (Fushshilat: 53), memungut perbekalan ala kadarnya (al-Baqarah:168), dan melintasinya tanpa meninggalkan dampak kerusakan (al-Baqarah: 60).

Pada titik sama, ia berkewajiban mengurus semesta dengan sepenuh potensi dan daya kreatifitas, agar memudahkan para penempuh yang lain di dalam melintasinya di kemudian hari.

Kini, siap tak siap kita adalah anak turun Adam yang mewarisi hak dan kewajiban tersebut. Dan kita tahu, segala sesuatu yang nyata di depan kita saat ini, adalah finalnya sesuatu di dalam proses menjadi, atau sesuatu yang masih berada di dalam proses menjadi.

Baik produk alam maupun produk kreatifitas manusia, setiap yang kita saksikan itu jelas memiliki sejarah menjadi yang melibatkan banyak pihak dalam proses penyempurnaan. “Di dalamnya terdapat perjalanan nilai yang menuju ke tahap nilai yang lebih sempurna.” terang Muhammad Zuhri.

“Ketika perjalanan nilai itu,” lanjut Pak Muh, “terpaksa berhenti gara-gara kita ambil untuk sarana kebutuhan, kita tertuntut tanggungjawab untuk mengaktualisasikan nilai baru sebagai imbalan. Seolah terdapat perintah untuk mengungkapkan kemungkinan terbaik dari sesuatu yang kita pungut, sekaligus terdapat larangan untuk mengungkapkan kemungkinan buruknya.”

Dan memang demikian, tiada sesuatu yang kita temukan, selain perintah dan larangan Tuhan di baliknya. “Sungguh milik-Nya ciptaan dan perintah itu. Mahaberkah Allah Sang Pengurus semesta alam.” (al-A'raf: 54).

Pak Muh pun mengingatkan, sifat perintah Allah yang tampil di balik setiap fenomena itu tunggal dan tak berulang. Maka, jika kita tidak segera meresponnya pada saat ia datang dalam kesadaran kita, ia akan lenyap dan tidak akan balik lagi buat selama-lamanya.

Memang, boleh jadi kita akan menemu perintah serupa pada kesempatan lain, tapi kewajiban kita terhadapnya merupakan kewajiban saat itu, bukan sebagai pengganti sebelumnya di saat kita mangkir. Kewajiban merespon perintah Allah tidak dapat di-qadla sebagaimana kita meng-qadla puasa.

Sehingga, keluputan kita dari bertatap muka dengan Wajah Allah, merespon perintah-Nya, benar-benar sebuah kehilangan yang tak ada gantinya.

Sedemikian ketat “kewajiban waktu” bagi setiap penempuh, maka Kanjeng Rasul Saw. pun sampai menyatakan bahwa tiada berkah matahari terbit di timur, bila hari itu tidak lebih baik dari hari sebelumnya.

Konsekuensi dari kesadaran itu, setiap penempuh merasa berkewajiban untuk menunaikan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar dengan gaya dan cara yang unik, kreatif dan efektif di sepanjang safari pulang ke pangkuan Sang Kekasih Jati. Begitulah yang ditandaskan Pak Muh.

Sungguh telah kami jadikan manusia dalam sebaik-baiknya martabat. Kemudian kami mengembalikan ia kepada serendah-rendah tingkatan. Kecuali mereka yang beriman dan beramal salih. Baginya pahala yang tiada habis-habisnya.” 

Betapa ketinggian martabat manusia terletak pada kebebasan mendayagunakan potensi diri dan fasilitas alam. Namun, kebebasan itu harus dijaga dan dipelihara, dan cara terbaik untuk mempertahankan adalah dengan beriman kepada Allah dan berperilaku baik kepada sesama.

Nah, demikian terang bahwa manusia adalah karya masterpiece Tuhan. Dan, Muhammad Zuhri telah mengetengahkan wawasan tersebut. Kemudian, saya tinggal membagikannya saja satu demi satu konsep yang ditawarkan. Alhamdulillah.

Ungaran, 14/01/2022

Baca juga: Rida Allah

Post a Comment

0 Comments