Rida Allah

 Pesan kearifan Muhammad Zuhri

Pesan Kearifan Pak Muh (5)

Kita ini cari rida Allah, kata seorang instruktur pelatihan. Tampak peserta manggut-manggut, entah setuju, atau sekadar paham.

Rida Allah, benar-benar mentereng kedengarannya. Acap jadi doktrin andalan untuk mengikat orang lain. Dan, saya tak seberani seperti para peserta pelatihan itu, yang begitu saja manggut-manggut, tanpa menelisik makna. Walau, saya tak tahu pasti, mereka itu paham dan kemudian setuju, atau sekadar paham tapi tidak setuju.  Atau kemungkinan lain, supaya kelihatan khusyuk tengah memperhatikan instruktur berceramah. 

Tapi jelas, buat saya, ungkapan “rida Allah” ini tidak main-main. Ungkapan yang berkonsekuensi. Pernyataan yang menuntut bukti diri, bukan sekadar pengharapan. 

Dalam Langit-Langit Desa, Muhammad Zuhri berkisah. Tersebutlah seorang guru tengah berhadapan dengan seorang murid yang lagi resah.

“Guru, saya siap menerima wasiat.” ikrar sang murid.

“Kalau begitu, tiba saatnya kamu berlatih rida.” fatwa guru.

“Tidakkah amalan-amalan yang telah kami lakukan selama ini bertujuan mencapai rida Allah?”

“Benar, tapi kamu belum mendapatkannya.”

“Jadi, belum diterimakah amalan kami itu, Guru?”

“Setiap amal baik akan dibalas dengan rahmat, tidak dengan rida Allah. Karena makna rida adalah memberikan diri kepada pihak lain, maka tebusan satu-satunya hanya dengan memberikan diri pula kepada-Nya.”

Begitulah. Saya menangkap makna, rida Allah bukan dambaan meraih bonus, melainkan kesiapan diri untuk sepenuhnya dikendalikan Allah. Dalam kitab suci, rida Allah disimbolkan surga. Dan surga itu sendiri tidak dapat dimasuki selain yang menyandang sifat “ar-Rahim”, la yadkhulu al-jannata illa rahim. Bahwa yang berhak surga adalah yang bersifat penyantun dan penuh kasih dalam mengembangkan semesta kehidupan. Bahwa surga adalah kemauan menegakkan fungsi keterwakilan.

Kita ini cari rida Allah, kata instruktur pelatihan itu mengulang, dan peserta manggut-manggut.

Rida Allah sama dengan menunaikan hak Tuhan. Bagaimana? Pak Muh, dalam Secawan Cinta, memapar: kita berdiri di antara Allah dan semesta, di antara yang ideal dan real, atau di antara dimensi keharusan dan dimensi kenyataan. 

Ia mengutip, “Karena itu Kami jadikan kamu umat yang meniti jalan tengah, agar kamu menjadi saksi bagi orang banyak, dan rasul menjadi saksi bagimu.” (al-Baqarah: 143).

Betapa berdiri di tengah, berisiko dibebani dua tanggung jawab sekaligus, tanggung jawab ke atas dan tanggung jawab ke bawah. Saat menghadap Allah, kita bertanggung jawab menyampakan tuntutan dan harapan sesama. Dan ketika berhadapan dengan sesama kita bertanggung jawab menyampaikan pesan dan perintah Allah kepada mereka. 

Ya, benar, meniti jalan tengah, kesanggupan menjadi wakil Allah di depan manusia dan menjadi wakil umat manusia di depan Allah.

Kita ini cari rida Allah, kata instruktur itu lagi, dan lagi-lagi peserta manggut-manggut. 

Artinya, kita wajib siap meniti jalan tengah, menjadi saksi bahwa Tuhan itu ada. Kita tunjukkan bahwa Tuhan pasti datang menolong. Kita memanifestasikan kehendak Tuhan, merealisasikan kemauan Tuhan, atau singkatnya menjadi “orangnya” Tuhan.

Tatkala ada yang kelaparan, bencana alam, dan semacamnya, kita melibatkan diri mengurus mereka, meringankan beban derita mereka. Jadi, dengan melewati hamba-Nya jugalah, Allah menolong hamba-Nya yang lain. Itulah manajerial ketuhanan, fungsi keterwakilan.

Dengan demikian, mendapat rida Allah bermakna saat kita melaksanakan peran ketuhanan. Saat melakukan sesuatu yang tidak lagi bermotif kepentingan diri atau nilai-nilai pada umumnya, tapi murni demi merealisasikan syahadat. 

Dengan indah Pak Muh melukiskan: “Mereka datang dari puncak gunung, dari tepi ngarai, pinggir samodera dan dari padang pasir yang tandus bukan untuk berburu dan mengumpulkan kekayaan duniawi, melainkan hendak mengajak umat manusia menunda datangnya hari kiamat dan sekaligus mengurungkan kematian.

“Mereka menulis puisi bukan untuk berpuisi, karena diri mereka berupa puisi konkret yang didendangkan para Malaikat. Mereka juga meninggalkan wacana-wacana tetapi tidak untuk berwacana, karena perilaku mereka telah berwujud wacana-wacana yang dinyanyikan bintang-bintang di langit, embun pagi, arakan awan dan ombak di lautan.

“Mereka tidak memiliki sesuatu dan tidak pula dimiliki oleh sesuatu, karena pada hakikatnya mereka milik semua dan pemilik semua. Bagai kendaraan, mereka turun dari langit, ketika Sang Maha Pengasih rindu menjenguk makhluk-Nya. Mereka juga kereta-kereta pada saat Sang Pemelihara semesta mencemaskan keadaan hamba-hamba-Nya. Dan, bak sayap-sayap raksasa mereka menaungi umat manusia dari murka Tuhan dan duka berada.”

Kita ini cari rida Allah, tandas instruktur itu penuh semangat. 

Dan itu menjadi mungkin dengan bersyahadat, dari kesaksian kata-kata berikut bukti, “Allah-lah sesembahanku. Maka jika seluruh potensi yang kumiliki dari pemberian-Nya ini diminta, pasti akan kuberikan.” tutur Pak Muh.

Ungaran, 05/01/2022

Baca juga: Lempar yang di Tangan Kanan

Post a Comment

0 Comments