Lempar yang di Tangan Kanan

Pak Muh (Muhammad Zuhri)

Pesan Kearifan Pak Muh (4)

Astaghfirullahal 'adziim, kita sudah terkena sihir bangsa maju,” gerutu Pak Muh lewat tokoh Ubaid di Lantai-Lantai Kota.

Pak Muh memprihatini wabah barang-barang impor yang membanjiri negeri ini. Seperti nasib tetangga-tetangganya di desa, yang menjual sebidang tanah peninggalan leluhur untuk membeli mobil. Mereka mengira mobil itu akan meringankan beban hidup. Namun, seiring waktu, baik mobil maupun sawah justru hilang tak berbekas. 

Itulah keprihatinannya bahwa kita telah tersihir oleh hasil produksi bangsa maju. Barang-barang yang merangsang keinginan. Yang melengahkan kita dari kebutuhan primer. Akhirnya, semua jadi berantakan, tidak jelas mana keinginan, mana kebutuhan.

Mengutip firman Tuhan kepada Musa, “Janganlah kamu takut, kamulah yang akan unggul. Lemparkan apa yang dipegang tangan kananmu, akan menelan semua yang mereka bikin, perbuatan mereka adalah tipuan sihir. Bagaimana pun tukang sihir tak akan menang.” (Thaha: 68-69).

Pak Muh menawarkan bahwa seruan Allah kepada Musa itu juga berlaku buat kita, kewajiban untuk mendayagunakan apa yang ada di tangan kanan, yakni daya kreatifitas. Sehingga, pajangan sihir-sihir dari negara maju itu akan tetap tinggal sebagai pajangan, tak sampai menyentuh hati, apalagi melekat.

Nah kini, di tengah kemelut kemajuan sains dan teknologi, di tengah semangat digitalisasi, serasa tawaran Pak Muh tentang ajaran tasawuf masih relevan. Malahan ia bertanya balik, “relevankah sikon globalisasi ini untuk menempuh jalan sufi?” 

Sebab menurutnya, sesuatu yang sudah jelas dan final secara konsep tidak butuh lagi dipermasalahkan, tinggal suka memakainya sebagai way of life atau tidak. Kesufian adalah perjalanan individu manusia yang meng-Allah, yang aktualisasinya merupakan tawaran nilai kreatif kepada seluruh umat manusia. Nilai-nilai yang menuju Allah.

Dalam Secawan Cinta, Pak Muh mengungkap, sejarah telah membuktikan bahwa umat manusia tidak membutuhkan sesuatu dari luar untuk dapat melejit ke langit ketinggian. Justru evolusi spiritual dari dalam dirilah yang terpenting. Ya, “jihad akbar” istilah dan tawaran Rasulullah Saw, yang oleh para sufi dari zaman ke zaman direspon sebagai jalan tasawuf.

Jalan untuk mendapatkan situasi “bebas dari” kendala asesoris-asesoris duniawi, dan menggapai “bebas untuk" bermakna di tengah lingkungan. Maka, status hamba Allah yang dicapai dengan ketaatan kepada Tuhan akan bisa turut mewarnai hidup, dengan memfungsikan konsep kekhalifahan, wakil Tuhan. 

Fungsi kekhalifahan itulah, ungkap Pak Muh, yang vakum di benak bangsa-bangsa maju. Mereka terlalu dini mengklaim sebagai polisi yang berhak membatasi bangsa lain. Berhak membanjirkan hasil produksi ke negara berkembang. 

Ya, bangsa-bangsa maju, berambisi menjadi pihak penentu dan kebijakan rendah dalam memperlakukan manusia sebagai benda mati. 

Itulah jiwa kapitalisme, yang melatari watak mereka, yang hanya mengacu kepada pemilikan sarana secara berlimpah. Berorientasi keruangan, yang kolonialis, imperialis, yang mengeksploitasi bumi hingga keropos. Dan, teknologi canggih senjata andalan mereka. Saking mantap dengan pusaka andalan yang telah melumpuhkan alam, selanjutnya didayagunakan untuk menguasai manusia.

Nah, sufi dari Pantai Utara Jawa itu melihat, orientasi sains dan teknologi yang demikian pertanda kementahan spiritual. Dan, jelas akan gagal memandu umat manusia sebagai satu keluarga besar bangsa manusia.  

Maka, penting kita bertanya, masihkah kita mau menengok ajaran tasawuf? Masih inginkah kita berlepas dari jeratan dunia milik? Berjarak dengan tipuan-tipuan sihir dari negara maju?

Pada saat begini ini, saya sepakat, sangat setuju malahan, untuk mengkaji-ulang "Jalan Sufi" yang pernah melahirkan individu-individu besar berkualitas universal. Sehingga tak berlebihan, Pak Muh mengatakan, merekalah yang sebenarnya lebih pantas disebut pionir globalisasi ketimbang manusia-manusia modern dari bangsa maju yang gagal menawarkan hakikat diri. 

Sebab para sufi itu lebih tulus dalam menyikapi sesama manusia, tanpa pamrih selain ridla Allah. Mereka tak kenal putus asa dalam upaya turut mengembangkan kualitas hidup umat manusia, agar menjadi pribadi penuh arti dengan menemukan jalan pulang. 

Lagian, metode sufi berbeda dengan tawaran Barat (yang “konon”modern dan berpikir global itu). Dalam meng-Allah tidak seperti mencari informasi keilmuan, tetapi dengan menyelami diri. Tidak dengan meneropong obyek di luar diri, tapi penghayatan pantang bosan sang subyek pencari itu sendiri. 

Karena secara fitri, kita, dalam kadar tertentu, sesungguhnya telah terlatih merealisasi fungsi kekhalifahan (jalan tasawuf) di lingkungan kecil. Misal, sikap perlindungan seorang ayah kepada anak, sikap ramah dan manis kepada yang lebih muda, sikap hormat yang muda kepada yang lebih tua, dan sebagainya. 

Jadi, sebetulnya yang dibutuhkan adalah bagaimana sifat-sifat luhur yang sejak dini telah disemaikan Allah itu bisa tumbuh optimal dan mensemesta. Ya, menggarap diri seakurat mungkin. Sehingga, tak perlulah mengadopsi metode dari mana pun, termasuk mengimpor sihir-sihir yang justru meluruhkan harga diri. 

Tegasnya, tutur sang Guru yang telah menuliskan hikmahnya dalam Lantai-Lantai Kota dan Secawan Cinta, kita tak butuh sarana teknis lain, teknis dasar lain, dan baiat lain, selain yang diwariskan Rasulullah Saw. yaitu Islam. 

Dengan demikian, kita akan membuktikan firman-Nya, “Janganlah kamu takut, kamulah yang akan unggul. Lemparkan apa yang dipegang tangan kananmu, niscaya menelan semua yang mereka bikin ….

Ungaran, 04/01/2022 

Baca juga: Berlepas Dua Terompah

Post a Comment

0 Comments