Singkat Tapi Mengesankan

Keluarga Yai Sholahuddin

Singkat, tapi mengesankan. Begitulah siang itu. Bagaimana tidak, lha wong saya ini siapa? Jelas bukan siapa-siapa, tapi beliau yang misuwur akhlaknya, yang teduh, berkenan singgah di gubuk mungil kam.

Adalah saban Rabu, malam Kamis, jadwal rutinan ngaji hikam bersama pengampu Gus Sholah. Namun, pada Rabu 5 Januari 2022 itu, saya dan Rahma tidak berangkat. Saya rada tak enak badan: kepala pusing dan punggung sedikit pegal. 

Padahal Rahma bersemangat ingin berangkat ke Semarang, tas beserta isi seperti Kitab Hikam dan uba rampai yang lain telah siap di punggung. Namun, melihat keadaan saya, ia urungkan. Sontak rasa tak enak menyergap hati saya, telah memangkas semangat belajarnya. 

Sebagai ganti, kami unduh video-video youtube Kiai Yahya Cholil Staquf. Kemudian kami simak bareng dengan leluasa di layar komputer ceramah demi ceramah Ketua Umum PBNU itu. Seperti ceramah di depan santri Mathali’ul Falah Kajen, juga bedah buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama.

Pukul 22.00 Rahma tak kuat melanjutkan. Ia terlelap. Tinggal saya sendirian yang mengikuti uraian Islam Peradaban dari sang Ketua Umum. Sungguh, saya tak kuasa menahan diri untuk tidak menaruh rasa takjub kepada keponakan K.H. Musthofa Bisri (Gus Mus) itu. Benar-benar ketua umum PBNU periode muktamar ke-34 ini berwawasan global, tanpa sedikit pun meniadakan warna tradisi salaf.

Nahdlatul Ulama, menurut putra sulung Kiai Cholil Bisri itu, lahir dengan mengusung cita-cita peradaban: mewujudkan tata dunia yang adil, berakhlak mulia, setara, dan atau segala prinsip penghormatan tinggi kepada cita kemanusiaan, ukhuwah basyariyah. Sehingga, PBNU tidak hanya sebagai akronim dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, tetapi akan lebih pas menjadi Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama.

Saya menyuntuki paparan beliau hingga dini hari, Kamis pukul 01.00. Saat yang pada biasanya, saya dan istri baru menginjakkan gubuk mungil ini, seusai meniti perjalanan dari Semarang, setelah mengikuti paparan hikmah dari Gus Sholah. 

Bagaimana pun, tiap Rabu malam dan Kamis dini hari adalah waktu istimewa, setidaknya buat saya dan istri. Setelah hari-hari sebelumnya bergulat dengan kebutuhan dan kelangsungan hidup, nah, Rabu malam adalah relaksasi. Merebahkan pikiran dalam kedalaman hikmah, untuk modal bekal jalan pulang. Dan Kamis dini hari adalah saat mengobrolkan hasil ngaji kitab Syekh Ibnu Athaillah itu, tentu obrolan dalam kapasitas kami. Kapasitas awam yang coba menghibur diri di tengah tuntutan demi tuntutan yang tak pernah menemu kata selesai. 

Namun, sekali lagi pada Rabu malam, 5 Januari itu, saya dan Rahma absen dari ritual ke Semarang. Kecewa memang, tapi bagaimana lagi, raga ini tengah tak mau berkompromi dengan keinginan. Kami mesti menunda keinginan. Kami terpaksa melewatkan pembacaan hikmah demi hikmah. Melewatkan suasana makan bareng seusai ngaji. Melewatkan situasi srawung penuh guyub kekeluargaan. 

Akhirnya, Kamis pagi hingga siang saya tidak ke mana-mana. Di rumah saja bersama si bungsu, Rakai. Rahma ke sekolah, berangkat sendiri, yang biasanya bareng saya. Dari pagi sampai menjelang siang, saya hanya rebahan di atas kasur kusam di kamar tidur kami. Rakai asyik sendiri, sebagaimana biasa, tak sedetik pun mengganggu saya. 

Usai zuhur, saya kembali rebahan, melenakan diri sembari membayangkan banyak hal. Tapi tidak sampai berjam-jam, sebab beliau, sang Guru, Gus Sholah beserta keluarga, tak saya sangka, bertandang ke rumah. 

Pertama, bu Nyai yang saya tidak nyana berdiri di ambang pintu. Saya kaget bukan main. Teramat sangat tak menyangka. Saya silakan bu Nyai masuk, sebab hujan tengah deras-derasnya mengguyur Ungaran. 

Kemudian saya lihat mobil yang dikemudikan Yai Guru terhalang pasir yang menggunduk depan rumah tetangga, dua rumah sebelum ke gubuk kami. Saya menghampiri, dan minta ke tetangga sesaat meratakan pasir agar bisa dilewati mobil. Singkatnya, mobil kemudian parkir persis depan rumah. Sang Guru keluar dari mobil, diikuti dua ning kecil dan cantik di tengah hujan yang serasa mengalir deras dari ketinggian.

Syahdan, suatu berkah tak bertara. Saya yang bukan siapa-siapa—pinjam istilah dari Mbak Fitria, hanya remukan rengginang—kedatangan tamu agung. Saya kikuk, sebab Rahma belum pulang dari sekolah, otomatis di atas meja kosong melompong. Sekadar sajian minum pun belum siap dihidangkan. Saya dan Rakai hanya bisa menemani duduk di ruangan tamu, yang lagi-lagi berupa tempat mungil. Kami berdua terjebak perasaan entah bagaimana kok tiba-tiba kaku menyelimuti sekujur badan.

Beruntung, Yai Guru bukan sembarang kiai, dan sungguh syukur tak habis-habis lantaran dipertemukan dengan beliau. Yai Guru membuka obrolan ringan, yang memudahkan saya bisa melantunkan suara, walau cempreng, belepotan, dan tak tertata.

“Baca hikam itu akan selalu menerbitkan wawasan baru, Mas.” ujar Beliau. “Jadi rasa-rasanya tidak akan pernah selesai.”

Ungkapan yang seolah mengabarkan bahwa ngaji hikam akan terus berlanjut, meski saat ini sudah masuk bab-bab akhir, yang kira-kira tinggal enam kali pertemuan. Plong rasanya, mendengar tutur beliau, terkhusus soal ini. Sebab sempat tebersit sekiranya ritual di Semarang itu purna, akan ke mana lagi kami, saya dan istri, berlabuh. Karena, lumayan lama kami mencari dan tak kunjung bertemu dengan sosok guru yang pas. Baru awal Agustus 2021, kami dipertemukan dengan Yai Sholahuddin.

Kami mengaji kitab anggitan Syekh Ibnu Athaillah dalam bimbingan Gus Sholahuddin. Banyak sudah yang kami terima, tapi sedikit (atau malah sama sekali belum) yang bisa kami hayati. Sehingga, akan sangat eman kalau berhenti di tengah jalan. 

Nah, Kamis siang itu, hanya singkat, tapi mengesankan, sehingga, usai magriban, setelah menemani Rakai baca sekilas Dunia Sophie, saya susun ini. Bahwa beliau beserta istri dan anak-anak berkenan singgah di gubuk kami. Bahwa memang teramat singkat, hanya sesaat, hanya sejam lebih sedikit, tapi sungguh mengesankan. Beliau berujar telah melunasi utang: berkunjung ke murid. 

Bahkan beliau dan bu Nyai sempat menegakkan shalat zuhur di ruang mushala kami. Benar-benar, kami terasa kelimpahan berkah yang sungguh mengharu biru perasaan kami yang awam. Pas seperti saat itu di mana air begitu menggerojok dari langit. Berkah Tuhan yang bak rinai, yang amat sangat menyejukkan hati.

Benar adanya, ternyata Gus Sholahuddin Shodaqoh, adik bungsu Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, K.H. Ubaidillah Shodaqoh, memang gemar bersilaturahmi. Beliau sambangi satu per satu murid-murid ngaji hikam. Dan Kamis itu giliran gubuk kami yang kecipratan berkah. Kecipratan yang sama sekali tidak kami nyana sebelumnya. 

Alhamdulillah, saat itu walau singkat, tapi mengesankan. 

Ungaran, 06/01/2022  

Post a Comment

14 Comments

  1. Masyaallah tabarakallah, saya ikut seneng Kang. Allahumma Ya Robba Muhammadin semoga keberkahan dan kemudahan penuh selalu menyertai Kang Ardi sekeluarga. Aamiin Ya Rab

    Sebenarnya udah ada dua bulan saya suka nyolong waktu ketika buka fesbuk buat baca tulisan-tulisan Panjenengan.

    Waktu bedah buku Karonsih karya Mak Mugi kemarin. Sayang seneng dapet rezeki, satu lokasi dengan keluarga Panjenengan. Sempat mendapat dawuh baik dari Mas Inu buat duduk lesehan bareng keluarga Kang Ardi. Tapi, nyali saya masih ciut. Merasa belum pantes. Dagdigdug juga hehe.

    Minta tolong nitip: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, dulu untuk istri dan anak Panjenengan ya Kang. Semoga Kang Ardi sekeluarga dimudahin untuk mencari bekal di akhirat kelak. Aamiin

    ReplyDelete
  2. Duh kebayang bahagianya ya Mas disambangi guru rasanya makin semangat untuk belajar dan berkarya semoga makin berkah hari-harinya ya Mas Ardie sekeluarga aamiin

    ReplyDelete
  3. Tentu kejutan yang membahagiakan ini akan selalu diingat dan menjadi semangat bagi Bapak dan keluarga. Semoga berkah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget: kejutan yang membahagiakan....Aaaamiiin

      Delete
  4. Maasyaa Alloh tabaarokalloh, allohumma sholli 'ala Nabiyina Muhammad wa ahlihi wa sohbihi ajma'in. Berkah betul Pak Ardi sekeluarga dijenguk Guru sebijak Gus Sholeh. Sungguh beruntung.

    Besar juga fadhilahnya untuk Bapak sekeluarga yang gemar menghadiri majelis ilmu. Pasti setan lebih takut sama keluarga Bapak yang rajin ngalap berkah dan hikmah tholab kepada para ulama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah ini: setan takut ma kami....hehehe...kok kayaknya kebalik ya: kami yang takut ma setan.

      Delete
  5. berkah berkah berkah yaaaa mas sekeluarga.... semoga semua ajaran guru makin meresap dan membawa kebaikan bagi seluruh keluarga aamiin.... salam hormat untuk guru

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Mbak Opi....salam kusampaikan, dan berkah juga buat Mbak Opi sekeluarga

      Delete
  6. Silaturahmi memanjangkan umur. Panjang umur dalam ketaatan, jadi umur yang barokah. Senang ya kedatangan tamu agung.

    ReplyDelete
  7. membacanya ceritanyapun ikutan bahagia nih Mas, betapa senangnya disambangi guru, semoga ilmu2nya yang ditularkan bisa bermanfaat untuk masyarakat dan negara

    ReplyDelete
  8. Masyaa Allah, barakallah Pak Ardhi. Betapa senangnya dikunjungi oleh guru. Patut dicontoh kebiasaan ini, guru silaturahim ke muridnya.

    ReplyDelete
  9. Wah, rasanya pasti senang sekali kalau tiba-tiba Guru datang tidak diduga.. apalagi kalau mengingat ingat pelajaran dan pengalaman ketika minimba ilmu.. Alhamdulillah ikut senang membacanya

    ReplyDelete