Berkhidmat di Lereng Merbabu

Keluarga homeschooler Semarang

Ini sekadar cerita kenangan. Kenangan dua hari satu malam berkhidmat dengan kebesaran Tuhan, takzim kepada alam terbuka di lereng Merbabu. Ya, kebersamaan keluarga besar homeschooler Semarang saat berkemah di sana. Kenangan yang berasa intim banget saat itu, serasa bersama bahwa alam pun berhak lestari.

***

“Mas Kafha naik apa berangkatnya? Mau bareng nggak? Ini aku lewat Gunungpati.” tanya Wima dalam grup Whatsapp

Hati saya langsung melonjak bahagia. Bagaimana tidak? Sabtu siang itu, 9 Maret 2019, jelang berangkat ke Kopeng, Salatiga, setelah zuhur, hujan deras. Ungaran benar-benar terguyur air, bak tumpahan air bah dari puncak ketinggian Gunung Ungaran. 

Beberapa saat kemudian, pukul 13.30, Wima, Maya, dan duo anak mereka tiba di gubuk saya. Tanpa persiapan yang beribet, kami—saya, Rahma, Ahimsa, dan Rakai—terangkut oleh mereka dalam mobil. Kami menyisir jalan penuh belokan, keluar dari kompleks perumahan menuju jalan raya, dan langsung masuk tol Ungaran arah Salatiga. Hujan tinggal menjadi gerimis kecil ketika kami melaju di jalan tol Bawen-Tingkir.

Butuh waktu tempuh sekitar sejam untuk sampai lokasi, Taman Nasional Gunung Merbabu Umbul Songo. Dan persis pukul 14.30 kami tiba di area perkemahan Umbul Songo. Syukurlah langit cerah. Tidak hujan. Tiada rintik sama sekali. Di sana sudah menunggu keluarga Ellen dan keluarga Slamat. Artinya sudah 4 keluarga yang tiba di Umbul Songo, tinggal menunggu yang lain, terutama keluarga Putri yang mengangkut peralatan kemah.

Seperempat jam kemudian mobil Putri yang dikendarai Ari, sang suami, masuk gerbang Umbul Songo. “Hore...tenda datang!” seru Ellen. 

Kemudian satu per satu keluarga homeschooler yang lain berdatangan. Keluarga Morgan, keluarga Anna, keluarga Lingga, dan terakhir keluarga Indri. Total ada 9 keluarga. Anak-anak pun langsung membaur, menghambur di tanah lapang. Mereka mengumpulkan buah, daun, dan ranting pinus. Dikumpulkan dalam satu tempat. “Buat api unggun nanti malam, Om!” jelas Stephen ketika saya iseng bertanya.

Pukul 15.00 kami mulai memasang tenda. Saya tak mengalami kesulitan yang berarti, karena sebelumnya, juga bersama komunitas keluarga homeschooler ini, saya ikut kemah di Mawar, lereng Gunung Ungaran. Pengalaman yang sekali itu sangat berarti buat saya, terutama teknik memasang tenda. Apalagi model tenda yang disewa Putri, termasuk yang berkualitas bagus. Pintunya dibuat berlapis, pintu luar dan pintu dalam. Pintu dalamnya juga dilapis pintu jaring. Nah, saya pasang tenda, dengan pintu menghadap utara. Sehingga begitu dibuka dari dalam, kedua mata saya langsung terpapar tenda teman-teman. Dan memang saya, termasuk Wima, sengaja memilih tempat yang agak tinggi, paling ujung. 

Berkhidmat di lereng Merbabu

Rahma pun sigap membantu. Setelah tenda berdiri, dan memang tak perlu waktu lama untuk memasangnya, ia  membenahi barang kebutuhan ke dalam tenda. Dua buah matras ia gelar. Ia taruh tas dan sebuah kantong tidur di ujung matras, tempat kepala kami akan merebah. Ia buka bekal lauk dan diletakkan di samping dua botol air mineral di pojok kanan pintu dalam. 

Berkhidmat di lereng Merbabu

Dan ternyata nyaris bersamaan kami selesai memasang tenda. Termasuk tenda anak-anak, baik yang laki-laki maupun perempuan. Ya, dalam tradisi keluarga pesekolah rumah ini, saya ketahui saat mengikuti acara Temu Raya ke-2 di Malang, anak-anak berkumpul terpisah dengan orangtua. Yang laki-laki—Stephen, Ahimsa, Gandhi, Kenzie, dan Rakai—jadi satu tenda. Dan mereka sendiri juga yang mendirikannya. Vima dan Naila di satu tenda kecil. Sedang yang lain, yang masih balita, masih ikut empet-empetan bersama orangtua. (Nah, saya termasuk yang beruntung: anak sudah melewati masa balita, sehingga saya bisa berdua dengan Rahma dalam satu tenda. Hehehe….)

berkhidmat di lereng merbabu

Senja mulai tampil indah di ufuk barat, menyisakan semburat memerah di sela pepohonan pinus. Sebagian kami berkumpul di gazebo, menunggui hasil kerja Tiur yang memasak otakotak. Sementara yang lain, ada yang rebahan, meluruskan punggung dalam tenda. Dan, ada yang langsung memeriksa keadaan Umbul Songo, menyusuri setapak berundak menuju air terjun. 

Kemudian, pelan-pelan malam datang. Hari berubah gelap. Aktivitas pun dimulai. Makan malam. Anak-anak melingkari api unggun. Para orangtua duduk mengobrol  di tempat tersendiri, seraya mengamati tingkah lucu para buah hati. Para ayah dan ibu mengobral pengalaman masing-masing. Saling bercurah kesah tentang banyak hal, mulai dari teori evolusi, konsep Charlotte Mason, kisah duka para guru, sampai ke hal-hal pribadi. Seru, hingga tak berasa bahwa sesungguhnya, saat itu, suhu di kaki Gunung Merbabu sangat dingin. Hanya embusan anginlah, dengan gemuruhnya yang menderu, yang menyadarkan kami bahwa malam itu memang dingin.

Obrolan santai terus berlangsung hingga menemu ujung malam. Anak-anak sudah masuk tenda mereka. Sebagian dari kami, termasuk istri saya, pamit mendahului ke tenda. Tersisa: saya, Slamat, Morgan, Ari, Putri, Wima, dan Yokko. Bertujuh menuntaskan curahan hati. Dan saat-saat begitu, terasa banget betapa kami, baik pengalaman maupun pengetahuan, masih teramat dangkal. Acap kali tak menyadari bahwa sesungguhnya kami mengidap keserakahan: menginginkan sesuatu yang tak kami peroleh dari orangtua kami dulu. 

Pukul 00.33 kami menyudahi obrolan. Saya bergegas ke tenda, menemui Rahma. Memang, sepertinya malam sudah terlalu lelah. Tampak Rahma tidur dengan sangat pulas. Ia meringkuk tanpa kantong tidur. Ia hanya memakai jaket dan menutup ujung kaki dengan mukena. “Ah gimana sih dia, kenapa sleeping bag-nya dianggurin?” batin saya menggerutu. Karena memang dari semula, kami memesan 3 kantong tidur untuk Ahimsa, Rakai, dan Rahma. Jatah anak-anak telah diambil dan kemungkinan besar dipakai. 

Sementara di luar suara angin kian menggemuruh. Dingin terasa menggigit sekujur tubuh. Saya tak tega membangunkan Rahma agar memakai kantong tidur. Padahal hari masih gelap. Dingin terus merasuki tubuh tanpa ampun. Dan saya tak bisa sepenuhnya mencegah dingin, karena tak mungkin saya menggunakan kantong tidur selagi Rahma meringkuk kedinginan. Akhirnya, saya buka ritsleting kantong tidur, dan saya selimutkan padanya. Hanya begitu. Memang jadinya tak maksimal, karena mestinya ia masuk ke dalam kantong supaya hangat. Namun tidak. 

Hmmm, dingin kian menusuk. Saya paksakan diri untuk memejamkan mata sekadar tidur singkat.

***

Ketika saya bangun, Rahma sudah tak ada di samping saya. Posisi kantong tidurnya telah berpindah di atas tubuh saya. Saya buka hape, “hmmm, sudah hampir pukul empat pagi.” Namun, dingin masih merayapi tubuh. Saya juga masih pengin leyeh-leyeh, sembari membacai status Facebook. Ah, tidak! Saya mesti bergegas ke musala. 

Saya keluar tenda, menyusuri undakan menuju musala, dekat pintu gerbang Taman Nasional Gunung Merbabu Umbul Songo. Anak-anak ternyata sudah pada bangun. Suara ribut mereka dalam tenda memecah keheningan fajar. Juga bersaing dengan kesiur pagi. 

Di musala, Rahma sedang salat sunah fajar, karena saat itu belum masuk subuh. Setelah mengambil wudu, saya lanjutkan bertiduran di atas sajadah, di sebelahnya. Lumayan untuk melepas penat, sebelum azan subuh menggema. 

Pukul 05.00 saya dan Rahma sudah kembali berebahan di tenda. “Ternyata hanya begini ya, Yah?” bisik Rahma.

“Maksudmu?”

“Ya, begini ini. Orang hidup hanya perlu ruang 2 X 2,5 meter. Nyatanya kita bisa tidur nyaman. (Ah, kamu sih nyaman. Lah aku!) Kebutuhan bisa kita tekan seminimal mungkin. Cukup air putih, lauk, dan yang lain. Kita juga tak ribet dengan ritual mandi. Pengin buang hajat, kita bisa gali tanah. Ya, kan?”

Saya tak menanggapi, meski saya seratus persen setuju bahwa berkemah adalah latihan memangkas kebutuhan. Namun, pagi itu saya benar-benar pengin tidur. Mumpung bebas dari tuntutan-tuntutan.

“Rakai dah bangun belum ya, Yah?”

“Paling ya sudah. Lha wong yang lain udah pada seger dan bermain bola gitu kok!” Dan, memang saya mendengar suara pantulan dan tendangan bola di setapak datar. 

Dan keruan saja, saya batalkan niatan untuk tidur. Saya ingin bergabung dengan anak-anak. Dan benar, saya melangkah tinggalkan tenda, tampak: Vima, Naila, Kenzie, Stephen, Gandhi, Ahimsa, dan Rakai lagi bermain lempar-lemparan bola. 

Di gazebo telah berkerumun para maniak kopi, juga cokelat. Tampak Mas Thay sedang meresapi seduhan kopi yang sepertinya baru dibikin. (Eh, nggak tahu ding, benar kopi atau sekadar teh celup yang ia bikin. Hahaha ….) Yang jelas mereka tampak penuh gairah.

Pagi terasa cerah. Sinar keemasan menyusup di antara dedahanan pinus. Dan waktu serasa berjalan cepat. Anak-anak mulai menagih untuk nature walk. Begitulah. Minggu itu, 10 Maret 2019, mulai pukul 06.30 kami menuruni undakan di sebelah selatan perkemahan. 

Tempat yang kami temui kali pertama adalah air terjun. Kecil. Sebetulnya sih tebingnya tinggi, tapi debit air sedikit, maka air yang memancur pun seperti ritmis gerimis. Sehingga tak mengundang selera anak-anak untuk mendekat dan memerciki wajah atau berbasahan di bawah tempias air terjun.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Semakin ke dalam, makin memperlihatkan bahwa Taman Nasional ini menyimpan hutan alam yang lumayan lebat. Kami melewati bekas kolam renang, yang berasa banget aura roh-roh penunggu hutan. Sesaat saya merinding. Ya, hanya sesaat merinding. 

Kemudian, maju sedikit, ada kolam renang baru. Sepertinya juga jarang digunakan. Airnya sepintas jernih. Kami berhenti sejenak di situ. Berhitung kemungkinan akan renang atau melanjutkan perjalanan. Anak-anak lebih memilih lanjut. 

berkhidmat di lereng merbabu

Kami lantas belok kiri, menuruni dan menyusur jembatan kayu kukuh. Kemudian, kami sejenak berhenti lagi di depan tempat kecehan. Lagi-lagi anak-anak tak tertarik untuk keceh. Kami lintasi lagi jembatan. Kami lewati setapak. Kanan kiri ada perdu-perduan, kecubung, dan bunga-bunga cantik yang saya asing namanya. Lalu ada pepohonan remaja. Juga yang berusia mungkin di atas usia kami, pohon-pohon berbatang besar dan pucuk-pucuk menjulang. Jadi teringat hutan di film The Jungle Book.

Tibalah kami di pengujung taman. Kami beristirahat di situ. Anak-anak mulai berekspresi. Main ayunan. Loncat-loncatan. Berlarian. Dan, yang paling mengesankan adalah jembatan pohon. Di jembatan tersebut, tidak hanya anak-anak yang unjuk keberanian, tetapi para orangtua juga harus berani melintasi. Tercetuslah ide: foto keluarga di atas jembatan bergoyang itu.

berkhidmat di lereng merbabu

Satu per satu keluarga: ayah, ibu, dan anak, menaiki tangga dan berjalan melintasi jembatan. Berdiri di tengah-tengah, sembari menjaga keseimbangan agar tak bergoyang kencang, untuk diambil gambar oleh juru kamera, Ari. Tak dinyana, mereka pada berani. Hanya Putri yang sedari awal heboh. Takut ketinggian. Ia berteriak histeris, dan justru itulah yang menghibur kami semua. Hahaha...! 

***

Bergandengan tangan, Putri dan Ari melanjutkan perjalanan, kembali ke tenda. Menyusuri undak-undakan. Pun yang lain, kami semua, meninggalkan taman di lembah Umbul Songo, menuju area kemah. Jalan mendaki. Cukup tinggi. Dan lumayan melelahkan. Apalagi pagi itu kami belum sarapan. 

Pukul 09.19, saya dan Rahma, serta anak-anak tiba di tenda. Kami langsung membuka bekal, sarapan dalam tenda. Sepertinya teman-teman yang lain juga berlaku sama, sarapan, baik di tenda maupun di warung. 

Acara selanjutnya: santai. Ada yang berebahan. Nongkrong di gazebo. Dan sebagian melanjutkan obrolan di depan tenda, samping gazebo. Sementara anak-anak kembali asyik dengan bola. Termasuk, seolah tak mau kalah dengan orangtua dan anak yang dewasa, anak-anak balita pun bikin lingkaran aktivitas sendiri. 

Kemudian, hari mulai siang, tapi matahari seperti perlahan memanasi area Merbabu. Pukul 11-an. Kami pun mulai merapikan tenda. Menggulung matras, kantong tidur, dan bekal bawaan. Tepat pukul 12.00, setelah semua beres, kami berkumpul di aula Taman Nasional. 

berkhidmat di lereng merbabu

Nah, di aula itulah, saat yang paling mengesankan. Kami semua, para orangtua dan seluruh anak-anak, berkumpul untuk berefleksi, mengungkap keluh kesah, serta angan. Ellen Kristi yang menginisiasi acara. Ia minta, mulai dari anak-anak, satu per satu menceritakan kesan selama dua hari satu malam di Taman Nasional Gunung Merbabu. Lucu-lucu, namanya saja anak-anak. Dan tak terduga, mereka bisa mengungkapkan kesan menarik yang dialami.

Tibalah, giliran orangtua, para ayah dan ibu, juga satu per satu, harus melontarkan unek-unek. Dan saya tidak nyana, para orangtua itu jauh lebih heboh ketimbang anak-anak. Barangkali pertanda masa kecil mereka kurang bahagia, atau sebaliknya mereka gagal move on dari kegemaran masa kecil yang biasa bertualang. 

Ajaibnya lagi, di tengah refleksi  ini, alam seolah turut mengamini kegembiraan kami. Hujan merinai, membasahi tanah yang sebelumnya berdiri kukuh tenda-tenda. Ya, gerimis datang setelah semua pernak-pernik perkemahan usai, saat kami berlindung di bawah atap aula.

Selanjutnya Ellen menutup acara dengan “hening” selama 2 menit. Ia mengajak kami semua untuk sesaat diam, tiada aktivitas sedikit pun, selain indra pendengaran. Kami diminta untuk fokus pada pengharapan dan rasa syukur atas semua kucuran nikmat. 

Pukul 13.00 kami pun keluar dari Taman Nasional. Saya sekeluarga numpang mobil Morgan. (Hal ini juga berkah tak terkira: berangkat dijemput oleh Kelurga Wima, pulang diantar oleh keluarga Morgan. Ooo...Duh Gusti, terima kasih telah menggiring kami bertemu dan akhirnya bersatukeluarga dengan mereka!)

Ya, begitulah. Kebersamaan keluarga homeschooler saat itu. Masih jelas dalam benak, betapa melelahkan saat berjalan menuruni dan mendaki undak-undakan. Betapa besar dan tinggi pepohonan di sana. Dedahanan dan daun-daun yang super rimbun. Ada pula, bangunan lama, sudah rusak, dan terasa aura roh mistisnya, serupa dalam cerita film-film horor, lengkap dengan asap dupa mengepul. 

Saya juga masih ingat dan acap tertawa sendiri membayangkan teman-teman dengan segala tingkah “kebocahan”. Polos, dan sama sekali tak ada pretensi untuk “jaim”. Benar-benar terasa saudara. Hilang sekat ke-‘jaim’-an, ego pribadi yang “serba milikku”. Pupus. Semua lebur dalam “ego bersama”, hasrat bersama: saling memudahkan, saling meringankan, saling menyamankan.  

Masih mengiang pula, suara gemuruh angin saat itu, yang justru mendekatkan rasa kebersamaan bahwa sekira itu air bah, niscaya kami akan tetap bersama, meski harus tergulung oleh terjangan alam. Ya, gemuruh yang tak henti-henti hingga larut malam, bahkan dini hari. Tanpa jenda, dan sekali lagi menghadirkan bahagia. Rasa bersama. Senasib sepenanggungan. Dan semoga, ya, sekali lagi semoga awet hingga kakek-nenek.

Hmmm, sungguh...!

Ungaran, 19/03/2022

Baca juga: Investasi dan Terapi Bosan

Post a Comment

17 Comments

  1. Pasti syahdu banget nature walk sembari ditemani pagi yang cerah, apalagi ditambah sinar keemasan yang menyusup di antara dedahanan pinus. Kegiatan ngobrol di aula juga seru, saling berbagi cerita.

    ReplyDelete
  2. Asyik banget , aku baca pengalamannya seperti baca cerpen. Sampe bayangin letak tenda, nyusur alam, dll. Malah pengen minta nambah cerita begini lagiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asyiiiik....makasih banget apresiasinya, sampai bayangin detail gitu

      Delete
  3. Wah, seru banget pengalamannya. Ini tuh acara orang tua yang anaknya pd homeschooling ya? Jd pingin kemping, walau dingin menggigit tp ga kapok. Salam kenal ya, kang^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup....anak-anak di kami pada homeschooling, Mbak

      Delete
  4. Saya menikmati membaca cerita mas Ardi ini. Ada rasa penasaran seperti apa berkemah keluarga, lalu terpesona dengan nama Rakai, dan lalu Amaze dengan anak cewe berdua di tenda. Duh gimana itu ngajarin berani begitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe...telah berkunjung. Soal kemping seru deh, Mbak. Coba deh

      Delete
  5. Pemandangannya cakep ya Mas, nggak kebayang dinginnya hihi aku kurang tahan udara dingin, benar banget kata Mbak Rahma, sebenarnya kebutuhan kita tuh nggak banyak hanya keinginan manusia yang luar biasa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga nggak kebayang Mbak Dew bisa kemping. Dingin banget soalnya. Kecuali kalau cuma pasang tenda depan rumah...hehe

      Delete
  6. suasananya adem banget dong ya di sinii? mau banget coba kemah di lereng merbabu ini, tapi kalo malem ada serem-seremnya ndak ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Serem-serem mah di mana aja ada, Mbak. Hehehe...

      Delete
  7. Pasti jadi pengalaman berharga ya mas kemping ini. AKu juga dulu pas pertama kemping banyak yang dialami, kayak banyak yang direnungkan gitu selama menyusuri alam. Selamat berkhidmat mas dan keluarga

    ReplyDelete
  8. Asyiiik sekali mas acaranya. Anak2 juga excited. Homescholing sering ya adakan kegiatan alam spt ini?

    ReplyDelete
  9. Wah, kmrn2 udah komen panjang padahal di sini, kok ga masuk ya ternyata? 🤔🙏

    Senangnyaaaa mas relaksasi bareng handai taulan di Gunung Merbabu. Ya begitu deh wisata alam di mana aja namanya makhluk gaib pasti ada. Makanya kita harus bisa menjaga tingkah laku dan ucapan. Mesti banyak2 berdoa juga supaya selamat di sana dan tiba di rumah😊

    ReplyDelete