Beautiful Way

Beautiful Way
gambar dari google

Puasa #9

Coba renungkan! Nabi Saw. mengalami mi’raj, di mana Allah menghormati, memuliakan, mendekatkan, dan menyayangi beliau, lantas kenapa pada momen agung itu, yang hanya sekali terjadi sepanjang hidup Nabi Saw. justru mendapat beban perintah salat lima waktu?

Saya katakan “beban", karena kalau kita mau jujur, perintah itu yang kemudian wajib kita jalankan terasa membebani. Ritual-ritual seperti salat, puasa, haji, dan zakat, itu tidak bersifat naluriah. Kita tidak (atau belum) sepenuh hati menjalankannya, karena memang tak selaras dengan dorongan keinginan, dan akal pikiran. Ritual-ritual itu justru membungkam sisi liar kita, mengekang hasrat yang berorientasi kesenangan jasadiah.    

Baiklah, dalam kesempatan ini tak ingin berpanjang lebar soal hasrat naluriah. Saya akan fokus pada ritual salat, yang bagaimanapun buat saya tetap istimewa. Kata “salat” berarti doa atau permohonan yang berorientasi kebaikan. Yakni sebagai tali penyambung antara manusia dan Tuhan, sebuah seruan seorang hamba kepada Allah. Dengan demikian, orang yang mengerjakan salat berarti menyadari kehadiran Tuhan. Sadar untuk selalu membina kontak kebersamaan dengan Tuhan. Bahkan yakin, tiada yang mendominasi hidup selain Allah.

Saking pentingnya keyakinan itu, Tuhan mengingatkan, “Sungguh Aku adalah Allah, tak ada tuhan selain Aku, sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14). Dalam salat ada sekumpulan doa, bacaan-bacaan tertentu, dan tingkah laku yang dibuka dengan takbir serta ditutup dengan salam.

Secara simbolik, salat mengisyaratkan ketundukan dan kepasrahan kita kepada-Nya. Dibuka dengan takbir (takbiratulihram), seolah menuntun bahwa seluruh sikap dan perhatian semestinya hanya tertuju kepada Allah. Mengandaikan penghayatan sedalam-dalamnya akan kehadiran Tuhan menjadi yang terpenting dalam hidup ini. Bahwa berdiri tegak menghadap arah ka’bah (kiblat), seperti yang digariskan oleh Nabi Muhammad Saw., “seolah-olah engkau melihat-Nya, dan walaupun engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.

Itulah ihsan, apa pun tingkah polah kita itu terekam oleh Tuhan. Kemudian, setelah tegak berdiri lanjut dengan gerakan rukuk dan sujud bahwa sikap pasrah dan tunduk ini tidak main-main. Rukuk, membungkukkan badan, dan sujud, menempelkan kening pada permukaan sajadah, seiring bacaan-bacaan yang mempersucikan Tuhan, menunjukkan betapa lemah dan tak berartinya muka kala tersungkur dipangkuan-Nya. 

Lantas duduk dan diakhiri dengan salam sembari menoleh kanan kiri. Kalau takbiratulihram adalah pembuka hubungan vertikal dengan Allah, maka ucapan salam menjadi penutupnya yang sekaligus sebagai pembuka hubungan horizontal dengan sesama manusia. Kedua hubungan, antara vertikal dan horizontal tak bisa dipisahkan. 

Takbir mengharamkan setiap pekerjaan yang bersifat horizontal atau duniawi. Ketika sudah mengucap Allah-u akbar, berarti kita menyatakan diri sedang dalam posisi menghadap Tuhan, kita dalam posisi hidup vertikal, transenden. Lantas ucapan salam yang dipertegas dengan menengok ke kanan dan ke kiri, simbolisme yang menuntut untuk membuktikan hubungan baik dengan sesama, sebagai humanisasi dan liberasi.

Bahwa seusai salat, seolah Tuhan mengingatkan, “Baiklah kamu sudah selesai menghadap Aku. Sekarang pergilah kamu menyapa lingkungan. Ucapkan salam. Perlihatkan bahwa kamu punya perhatian kepada sesama manusia. Di sebelah kanan dan kirimu sedang terjadi kesenjangan dan kamu harus terlibat meringankan.

Jelaslah, semua bacaan dan tindakan dalam salat dirancang untuk menegaskan kesadaran lebih tinggi bahwa kita dalam situasi berhadapan dengan Tuhan. Upaya menyambung hubungan intim dengan Allah, konsentrasi berdialog, mengadukan masalah duka nestapa sebagai manusia yang lemah. Dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sekali lagi memperoleh perintah salat dalam isra’ mi’raj, ber-muwajahah dengan Tuhan, sedang kita mewarisinya yang juga dapat mengantar ke kondisi mi’raj, berjumpa dan berdialog dengan Tuhan.

Jika kalimat syahadat adalah pembebasan dari siksa neraka, zakat adalah kewajiban yang mendatangkan berkah, puasa adalah kepenatan yang mendatangkan sehat, dan haji adalah kepenatan yang mendatangkan ampunan, maka ibadah salat menjadi pembebas dari segala macam paksaan dan kepenatan semacam itu. Salat menjadi satu-satunya jalan untuk menuju tempat yang diridai Allah.  

Maka, pantaslah jika dikatakan bahwa kunci diterimanya seluruh amal adalah salat. Nabi Saw. menegaskan: “Yang pertama kali akan diperhitungkan tentang seorang hamba pada hari kiamat ialah salat; jika baik, maka baiklah pula seluruh amalnya; jika rusak, maka rusak pulalah seluruh amalnya.

Dinyatakan kunci, seakan hendak menampik anggapan, “cukuplah manusia memiliki amal kebajikan, tanpa perlu beribadah.” Sebuah sikap yang kini umum menggejala, sikap yang menafikan ibadah formal. Padahal ajaran laku Islam itu bukanlah perilaku “belah bambu”, “lebih baik mana antara orang yang rajin beribadah, tingkah lakunya buruk, dengan orang yang tidak beribadah tetapi tingkah lakunya baik?

Sekali lagi bukan semacam belah bambu, melainkan sintesa. Islam adalah beautiful way. Wa Allah A’lam.

Ungaran, 11/04/2022

Baca juga: Menjaga Martabat

Post a Comment

0 Comments