Cinta Kasih

Dengan Cinta Kasih, niscaya kita tak tega meihat penderitaan yang kita cintai

Puasa #24

Kini masuk ke kedalaman diri manusia. Ya, manusia adalah puncak eksistensi natural yang tertinggi. Sebab keberadaannya disangga oleh empat pasang sifat Tuhan. Manusia merangkum eksistensi jagad raya, makrokosmos (silakan baca: Manifestasi sifat Tuhan).

Muhammad Zuhri memapar bahwa dengan beroperasinya empat pasang itu, berarti manusia merupakan satu-satunya tingkat wujud yang sadar waktu lantaran memiliki pikir dan rasa. Berarti pula, selesailah evolusi fisikal ciptaan Tuhan.

Bahwa Tuhan telah mengembangkan wujud ciptaan menuju kesempurnaan fisik dimulai dari penciptaan partikel, dunia tetumbuhan, dunia hewan, hingga manusia. Tuhan tidak lagi menyempurnakan dimensi fisikal, seperti menambah sayap atau tanduk pada manusia, misalnya. Tetapi pengembangan selanjutnya adalah evolusi spiritual, pengembangan sisi batin.

Berbeda saat mengembangkan sisi lahir, Tuhan menampakkan sifat-sifat-Nya yang berpasangan, dalam menyempurnakan sisi batin manusia dengan sifat-sifat-Nya yang tunggal.

Pertama, al-Khaliq (Maha Pencipta). Sifat ini melatarbelakangi manusia sehingga memiliki kemampuan mencipta. Tuhan tidak mencipta dimensi kultural, seperti penciptaan teknologi komunikasi, alat transportasi, senjata perang, gedung sekolah. 

Sifat al-Khaliq telah dititipkan pada diri manusia untuk berperan mewakili Tuhan dalam menyempurnakan khazanah budaya. Maka, kemampuan mencipta inilah modal awal manusia dalam mewakili Tuhan menjalani tugas rahmatan lil ‘alamin. Tanpa sifat al-Khaliq, niscaya manusia tidak bisa menjalankan proses budaya sebagaimana binatang atau tetumbuhan.

Dengan al-Khaliq, manusia sanggup mengungkap pengetahuan bahwa di balik segala sesuatu ada potensi. Manusia mampu mengeksplorasi sumber daya alam. Sehingga berkembanglah perangkat ilmu pengetahuan, filsafat, karya seni, dan teknologi. 

Singkatnya, sifat al-Khaliq mengantar manusia menguasai dunia milik, dunia materi. 

Kedua, al-Bari’ (Yang Membebaskan). Setelah ilmu berkembang, sifat al-Bari’ mengiring manusia tidak berhenti pada “ilmu”, tetapi “nilai”. Bahwa keberadaan sumber daya alam tidak hanya untuk dikuasai, tetapi diangkat nilai manfaatnya untuk hidup yang lebih harmoni.

Misal, kita memiliki kelebihan harta, berkat al-Khaliq Tuhan, kita dayagunakan harta tersebut untuk membebaskan kemiskinan orang lain. Kita memiliki kelebihan pengetahuan, kita bagikan kepada mereka yang kekurangan ilmu pengetahuan. Dan seterusnya. 

Intinya, berkat al-Bari’ nilai manusia meningkat dari mengetahui atau memiliki sumber daya alam menjadi bernilai manfaat di depan orang lain. Tindakan al-Bari’ adalah meringankan hidup orang lain, adalah mengembangkan pihak lain. Al-Bari’ mengantar manusia memasuki lorong diri, dunia diri. 

Ketiga, al-Mushawwir (Yang membentuk Rupa). Setelah manusia berpijak pada perolehan ilmu sehingga sanggup menguasai dunia milik, juga keinginan untuk selalu berkorban demi sesama sehingga nuraninya bercahaya, al-Mushawwir ditiupkan agar bisa berbuat ihsan. Yakni perbuatan baik ke pihak lain bukan semata demi melegakan nurani diri sendiri, melainkan karena Tuhan yang memerintah. Demi menunaikan hak Tuhan.

Al-Mushawwir adalah kreatifitas bersyahadat, berbuat baik sebagaimana Allah telah berbuat baik. Sebuah tahapan di mana kita bisa memandang segala sesuatu sebagai “Engkau” Allah (al-Baqarah: 115). Tatkala datang seorang peminta-minta dan kita mengulurkan uang kepadanya, tidak lagi karena rasa kasihan, tetapi lantaran Allah di baliknya. Ketika memandang tanaman kering, atau seekor kucing yang tampak kelaparan, kita segera menyirami tanaman, kita memberi makan kucing, karena Allah di balik mereka yang seolah berseru kepada kita.  

Dengan demikian, sifat al-Mushawwir yang dititipkan itu menuntut kita untuk membuktikan di tengah semesta bahwa Allah ada. Bahwa kita bersungguh-sungguh menjadi wakil-Nya yang siap melayani kebutuhan mereka. 

Begitulah tiga sifat yang turun dari al-Rahim Allah. Sehingga jelas, jika al-Rahman mewujud nyata dalam dimensi fisikal, dimensi natural, sebagai makrokosmos dan mikrokosmos. Maka sifat al-Rahim turun khusus buat penyempurnaan sisi jiwa manusia, untuk pengembangan dimensi kultural.

Al-Rahman merupakan start kehidupan. Lantas “saat ini” kita menempuh proses demi atau untuk al-Rahim. Oleh Nabi Saw. al-Rahim disimbolkan sebagai surga, la yadkhulul jannah illa rahim, "tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang memiliki kasih sayang."

Dengan cinta kasih, seseorang berlaku seperti Tuhan yang tak akan tega membiarkan makhluk yang dicintai menderita kelaparan, kebodohan, kemiskinan, sakit, teraniaya, jauh dari tuntunan. Wa Allah A’lam.

Ungaran, 26/04/2022

Post a Comment

0 Comments