Gaya Hidup Profetik

Gaya hidup profetik

Puasa #18

Ada dua sikap manusia. Pertama, “lakukan seperti engkau telah diperlakukan”. Orang yang memiliki sikap ini hanya akan menanggapi perbuatan orang lain pada dirinya apa adanya. Ia akan menjauhi  orang yang pernah merugikannya. Akan menyakiti hati orang yang pernah melukai hatinya.

Kedua, “lakukan apa yang dapat kamu jalankan”. Orang yang memiliki sikap ini akan memperlakukan teman dan lawan dengan sikap yang sama. Ia menyukai kedamaian. Bahkan kepada orang-orang yang pernah merugikannya, ia akan selalu berbelas kasihan.

Nabi Muhammad Saw. tercatat dalam sejarah memiliki keluhuran budi macam sikap manusia yang kedua tersebut. Beliau menyukai kedamaian. Memiliki rasa welas asih yang luar biasa. Tidak mendendam. Pemaaf dan santun. 

Pernah suatu rombongan mendatangi beliau. Ketika rombongan mengucapkan “assamu ’alaikum” yang berarti “matilah kamu”, Aisyah, yang berada di samping beliau tak tahan dan menjawab “mati jugalah kamu, sungguh Tuhan mengutukmu.” Namun, sang nabi menasehati Aisyah untuk tidak menjawab dengan kasar. “Tuhan itu sangan santun,” kata beliau, “dan Ia menyukai orang-orang yang santun, apa pun yang dihadapinya.” 

Alkisah, suatu hari, seseorang menghampiri Abu Bakar dan menghujatnya. Saat itu Abu Bakar sedang duduk bersama Nabi Saw. Abu Bakar mendengarkan cercaan itu, tetapi dia tetap diam dan tidak berkata apa pun. Orang itu terus menghina Abu Bakar, tetapi dia tetap tenang. Nah, ketika orang itu terus-menerus meluncurkan kata-kata kotor, kasar, dan hinaan, Abu Bakar tak tahan dan membalas kata-kata tersebut. Mendengar itu, Nabi Saw. pun segera beranjak meninggalkan mereka.

Abu Bakar kaget dengan sikap Nabi Saw. dan bertanya, “Mengapa Anda meninggalkan kami, ya Rasulullah?” 

“Selama engkau dapat menahan diri untuk tetap diam,” sahut Nabi Saw., “para malaikatlah yang menjawab sebagai wakilmu. Tetapi segera setelah engkau membuka mulut, maka malaikat pergi meninggalkanmu.”

Maulana Wahiduddin Khan, dalam buku Muhammad: Nabi untuk Semua, menukil sebuah riwayat tentang laku atau gaya hidup Nabi Saw., “Sembilan hal yang telah diperintahkan Tuhan untuk kujalankan adalah: (1) selalu takutlah pada Tuhan, baik sedang sendiri maupun beramai-ramai, (2) berlakulah adil, baik sedang marah atau tenang, (3) jangan bersikap berlebih-lebihan, baik  ketika miskin maupun kaya, (4) akan kugenggam tangan mereka yang menjauh dariku, (5) dan akan kuulurkan tanganku bagi mereka yang ingkar, (6) ampunilah mereka yang telah berbuat salah padaku, (7) dan diamku hendaklah menjadi meditasiku, (8) dan kata-kataku hanyalah untuk mengingat Tuhan, (9) dan hendaklah pandanganku semata penelitian yang tajam.”

Begitulah, tak bisa tidak, membaca riwayat Muhammad Saw. adalah menyusuri gambaran gaya hidup yang sebenarnya, gaya hidup profetik. Beliau Saw. adalah seorang penyembah yang penuh cinta kepada sesama. Maka, berasa aneh ketika hari-hari ini di media masih saja tersiar kekerasan atas nama agama. Kabar penghakiman massa kepada seorang yang dituduh menista agama. 

Padahal Muhammad Saw. begitu ringan hati mengalah kepada Kaum Quraisy saat perjanjian Hudaibiyah. Beliau tidak memaksa kehendak untuk pamer kalimat basmalah dan gelar rasulullah kepada orang-orang yang tak sepaham. Beliau legawa. Beliau terbuka dan menerima kehendak mayoritas tatkala memutuskan taktis untuk Perang Uhud. Beliau juga memerintah umat untuk tiada jemu mengais hikmah hingga tutup usia.

Namun, berbeda kemudian tatkala ide-ide fanatik mengemuka, terutama semenjak abad ke-18. Ketika tasawuf, filsafat, puisi, seni musik, dan teori moral dalam beragama dicampakkan, lantas menggema seruan “kembali kepada Al-Quran dan Sunah”. 

Menurut kelompok itu, segala sesuatu yang tidak datang dari wilayah Arab itu patut dicurigai. Sufisme dari Persia, maka harus ditolak. Juga filsafat dari Yunani dan Barat. Mereka mengusung gagasan: Islam itu sederhana, dan sebagai jalan lurus, asal mengimplementasikan teks Al-Qur’an dan Sunnah secara literal, serta menaati praktik ritual yang murni. 

Mereka mengembangkan konsep “hijrah”, bahwa setiap orang Islam harus berpindah dan bergabung dengan golongan mereka. Jika tidak, maka akan diperangi. Khaled Abou El Fadl, dalam buku Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, menggambarkan kelompok ini sebagai Islam puritan. Mereka ini mendorong umat Islam untuk kembali pada Islam yang asli dan murni. Islam yang dicipta (kata mereka) oleh Nabi, para sahabat, dan tabiin. Mereka menolak seluruh pengalaman sejarah selain era Nabi dan sahabat. 

Mereka itu umumnya bersikap “lakukan seperti engkau telah diperlakukan”. Menyikapi kenyataan serba hitam-putih. Padahal, semakin tinggi mutu subjektivitas suatu subjek, makin kaya objektivitas suatu objek. Jadi, kekayaan makna segala sesuatu, tergantung pada kekayaan pemikiran si pelaku. Makin kaya pandangan dan wawasannya, objektivitas fakta itu pun makin jelas. Tidak hanya terpaku pada pilihan kalau tidak “ini” berarti harus “ itu”.

Mereka mendekati keadaan sebagai wujud teori konspirasi. Mereka juga mendekati teks yang begitu saja asal dikutip, seolah teks berkata sendiri apa maunya. Padahal masalah kehidupan dan keberagamaan itu akan terus berkembang, tapi tanpa diikuti daya baca yang memadai, sama saja menutup rupa indah gaya hidup yang diusung Nabi Muhammad Saw. 

Demikian, Wa Allah A’lam.

Ungaran, 20/04/2022

Baca juga: Awal Kenabian

Post a Comment

0 Comments