Puasa #11
Selalu ada dimensi konsekuensial. Rukun Islam, sedari mula sebagai ibadah personal, tidak bisa dipisahkan dari ikutannya untuk kerja kemanusiaan, amal kebajikan, amal saleh. Puasa, sebagai salah satu rukun, yang dijalankan umat Islam di setiap bulan ramadhan adalah berkaitan dengan menahan diri. Dan, persoalan ketidakmampuan menahan diri, ternyata menjadi pangkal kemerosotan moral dan spiritual sebuah masyarakat, bahkan peradaban.
Almarhum Cak Nur pernah mengungkap bahwa sumber segala potensi yang mendorong tindak pelanggaran adalah godaan terhadap makan, minum, dan seks. Ketiganya merupakan pangkal hawa nafsu yang kemudian menjadi formula fikih puasa: hal-hal yang harus ditahan, atau yang membatalkan puasa.Dan, ketiga godaan tersebut mengerucut pada satu hal: harta materi. Nah, bulan ramadhan merupakan bulan refleksi, apakah harta yang kita miliki diperoleh dengan cara-cara yang benar, dan apakah harta dimiliki sudah dipergunakan sebagaimana anjuran agama.
Siapa pun kita, jika tidak mau berefleksi, kemungkinan besar akan mengumbar harta sekadar untuk memuaskan kebutuhan perut dan bawah perut (kemaluan). Jika demikian, akhirnya mala tak terhindarkan. Segala praktik dan amalan tak terpuji pun marak di masyarakat.
Dalam Islam, berbeda dengan konsep kapitalisme, harta harus dicapai dan diperoleh serta dipergunakan dengan jalan dan cara-cara serta tujuan yang benar. “Dan, janganlah saling memakan harta secara batil, dan jangan pula mempergunakan kelicikan hukum dengan tujuan agar kalian dapat memakan—dengan dosa dan dengan sengaja—apa pun yang sebenarnya merupakan hak orang lain.” (Al-Baqarah: 188).
Islam mengakui kepemilikan harta, memang, tetapi tidak seabsolut paham kapitalisme. Bahwa harta diberikan kepada manusia hanya sebagai perwakilan, sekadar dipergilirkan, sehingga tidak mutlak memiliki seluruhnya. “Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah bagi orang lain Sebagian dari apa yang telah Dia amanati kepada kalian: sebab, siapa pun di antara kalian yang telah meraih iman dan menafkahkan secara sukarela [di jalan Allah] akan mendapat balasan yang besar.” (Al-Hadid: 7).
Muhammad Asad, dalam The Message of the Quran, menjelaskan bahwa semua yang “dimiliki” manusia tidak lain hanyalah merupakan amanat dari Allah, karena “segala yang ada di lelangit dan di bumi adalah milik-Nya”, sedangkan manusia hanya diizinkan menggunakannya.
Dan, puasa, sekali lagi, tidak bisa dipisahkan dari dimensi sosial. Bahwa pengendalian harta seyogianya mengarah kepada ketakwaan. Mengarah kepada kesadaran bahwa Allah senantiasa menjangkau dan mengawasi kita. Sehingga kita tidak bisa bermain-main asal senang, asal puas, dan asal terpenuhi. Kita tidak bisa menuntaskan dorongan akan makan, minum, dan seks di saban tempat, dan sembarang waktu.
Momen puasa menjadi momen berefleksi bahwa dorongan yang ditimbulkan oleh makan, minum, dan seks, adalah dorongan dari hawa nafsu, yang sekira tak terkelola, niscaya menjatuhkan martabat manusiawi kita. Hawa nafsu yang tak terkontrol akan memerosotkan spiritual kita. Akan menjerembapkan moral kita ke dalam lumpur yang sungguh hina.
Itulah kenapa, jihad nafs itu teramat inti dalam ajaran agama (Islam). Memerangi dorongan hawa nafsu merupakan perjuangan seumur hidup, dan menurut sabda Nabi Saw. sebagai perjuangan akbar. “Kita baru saja pulang dari jihad kecil (Perang Badar) dan akan masuk ke jihad besar, yakni memerangi hawa nafsu.” Maka, sungguh beruntung kita masih berkesempatan menemu bulan ramadhan. Kita bisa menjalani ritual pengendalian diri.
Adalah Emha Ainun Nadjib, dalam tajuk Menjelang Senja Bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng di channel youtube CakNun.com, 15 April 2021, mengulas lebih jauh soal kesejatian diri dan puasa. Bahwa kesejatian itu tatkala sanggup “tidak” dari sekian “ya”, dan akan terlatih dengan berpuasa.
Menurut Cak Nun, puasa itu kepastian dalam hidup manusia. Kita tidak bisa tidak untuk tidak berpuasa, pasti berpuasa. “Kamu punya baju 10 potong, apakah akan kamu kenakan semua? Kan tidak! Kamu harus tetap ambil satu untuk kamu pakai saat ini.” seloroh Cak Nun.
Nah, hidup itu kemampuan berpuasa. Sehingga, pas ketika Allah menyatakan bahwa puasa berbeda dari ibadah-ibadah mahda yang lain. Bahwa puasa oleh-Nya ditetapkan “khusus untuk-Ku”. Karena jelas, jika kita sanggup menahan diri, niscaya dekat kepada Allah. Bukankah Allah sedemikian menahan diri.
Bahwa Allah sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang terlatih dan memiliki kesanggupan menahan diri. Dan, puasa merupakan metode kedisiplinan mendadar diri. Puasa adalah cara hidup yang menentukan selamat tidaknya kita, baik di dunia maupun di akhirat.
“Puasa itu membatasi dan menahan hati.” ungkap Cak Nun. “Membatasi itu sosialnya, menahan itu berkaitan dorongan hati yang tak berkesudahan. Dan akan selamat jika kita bisa menghayati hidup dengan membatasi diri, dengan menahan diri!”
Gus Baha, dalam kesempatan di Shihab & Shihab, menuturkan bahwa paling tidak saat berpuasa kita sungguh merasa lapar. Betapa sakitnya orang-orang miskin yang terdera kelaparan. Betapa spesial makanan-makanan yang di luar ramadhan kita sepelekan. Sehingga, betapa senang saat berbuka puasa, meski kita tinggal di rumah sederhana, walau tidak bermobil.
Demikian, Wa Allah A’lam.
Ungaran, 13/04/2022
Baca juga: Sepuluh Pertama
0 Comments