Seusai Sepuluh Pertama

Olah fisik terhadap lapar dan dahaga

Puasa #10

Hari kesepuluh, puasa sebagai olah fisik terhadap lapar dan dahaga kita anggap selesai. Kita masuk lebih dalam. Kata “puasa” dari bahasa Sanskerta itu sama dengan kata “shaum” yang berarti pengendalian diri.

Kemudian, konon Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga juga berkenaan soal pengendalian diri. Artinya, kita semua sebagai keturunan Adam berpotensi mengalami kehancuran moral dan spiritual jika tidak bisa mengelola diri. 

Nah hari ini, kita akan melewati sepuluh hari pertama puasa Ramadhan, dan sejauhmana pelatihan pengendalian diri itu sukses kita jalani? Entah! Yang jelas, esok hari kita masuk hari pertama pada sepuluh yang kedua. 

Lantas? Sudahlah, usah risau! Yang penting kita tak bosan bersyukur. Bahwa puasa itu sarana pelatihan rohani, di mana Tuhan masih dan terus memberi kesempatan kita untuk bertemu dengan Ramadhan. Tuhan serasa pantang jemu mengingatkan betapa ketamakan kita itu tiada batas. Sekira diberi satu ladang yang berisi emas, niscaya akan mencari ladang emas yang kedua. Dan, kalau diberi dua ladang emas, akan tetap mencari ladang emas yang ketiga dan begitu seterusnya. 

Namun, lagi-lagi Allah sayang pada kita, yang masih membuka kesempatan untuk berlatih dan terus berlatih. Bayangkan, seandainya ritual pengendalian diri dari segala kebolehan dan ketamakan itu tidak diwajibkan, hanya sekadar anjuran moral tanpa dipaksa! Betapa repotnya jika demikian, karena kita tidak akan segera menyadari akan kerakusan. Tak gampang sadar bahwa tubuh ini juga butuh istirahat. 

Sungguh, beruntunglah kita ditakdir menjadi umat Islam yang masih menemu kewajiban berpuasa. Terlebih, perintah puasa itu berdimensi masa depan, “agar kamu bertakwa”. Sebab bertakwa berorientasi kehidupan akhirat. Sebuah perilaku kekinian yang benar-benar diabdikan semata untuk Allah, semata untuk kehidupan setelah kematian.

Al-Quran melukiskan, “Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Yasin: 65).

Sebuah gambaran kehidupan akhirat bahwa tangan dan kaki, serta anggota tubuh kita yang lain, yang akan bicara tentang semua perbuatan yang pernah dilakukan di dunia. Dari situlah, pengendalian diri menjadi niscaya sekira kita berorientasi masa depan. Bahwa mujur tidaknya kita kelak, bergantung pada serius tidaknya hari ini kita berpuasa, menjalani ritual pengendalian diri. 

Pertanyaannya, pengendalian diri dari apa? Secara ringkas bisa dijawab bahwa puasa adalah latihan mengendalikan diri terhadap perbuatan zalim. Zalim dari bahasa Arab, Zhalim, yang berarti gelap.

Maka, zalim merupakan kondisi hati yang gelap, yang tidak lagi memiliki nurani. Hati yang gelap, hati yang susah membedakan baik-buruk, benar-salah. Padahal hati nurani sesungguhnya merupakan sumber petunjuk kebenaran. Dengan berbekal bimbingan hati nurani, niscaya kita terkendali dan terjaga dari segala perbuatan zalim.

Sebab kecenderungan hati nurani itu mencari kebenaran. Kecenderungan hati nurani itu rindu untuk selalu mengarah kepada Tuhan. Namun, karena kita itu pada dasarnya lemah, sehingga oleh Tuhan diberi hawa nafsu sebagai daya dorong untuk mendengar suara nurani. Tetapi, acap kali justru daya dorong itulah yang mendominasi, yang lebih kita dengar ketimbang suara nurani.

Banyak sudah kisah-kisah, hawa nafsu mampu menjatuhkan harga diri manusia yang bernurani menjadi pribadi zalim. Hawa nafsu telah menjatuhkan manusia secara moral dan spiritual. Walau demikian, suara nurani acap—meski lamat-lamat—mengetuk hati manusia untuk kembali kepada Tuhan. Nurani tetap pada asasnya untuk selalu rindu kepada kebenaran.  

Dari situlah, pentingnya agama yang hadir mengawal nurani. Bahwa hati nurani yang merupakan modal primordial dari Tuhan, dikawal oleh agama agar langkah kaki kita selaras dengan suara nurani. Dengan kata lain, agama bisa disebut hati nurani yang diturunkan. Kalau hati nurani adalah fitrah atau kecenderungan suci yang alami yang mengendap di kedalaman diri, maka agama adalah fitrah yang diturunkan Allah untuk memperkuat fitrah alami itu.

Nah puasa, salah satu rukun agama, menjadi latihan rohaniah. Mengawal hati agar tidak didominasi oleh dorongan nafsu. Mengiring hati agar senantiasa dalam sinaran nurani. Puasa memperkukuh harga diri yang hanya akan mengabdi kepada Tuhan, bukan wujud duniawi.

Sebab, mengabdi kepada ambisi duniawi itu secara definitif masuk kategori zalim. Hal ini merujuk ke seluruh perbuatan yang dalam jangka pendek menimbulkan kesenangan, tapi dalam jangka panjang menuai kesengsaraan.

Jadi, terjerumus dalam lembah kezaliman, dapat kita tengarai dari kesukaan akan hal-hal yang cepat, serba instan, dan kurang memperhitungkan akibat jangka panjangnya. Maka, memasuki sepuluh hari yang kedua esok pagi, kita petakan hal apa saja yang masuk kategori menzalimi diri, sekaligus mendalami lebih dalam konsep wujud manusia. 

Begitulah, Wa Allah A’lam

Ungaran, 12/04/2022

Baca juga: Beautiful Way

Post a Comment

0 Comments