Menggarap Secara Akurat

Menggarap diri secara akurat

Puasa #5

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi….” (QS Al-A’raf: 96). Ayat ini menuturkan bahwa berkah, kemenangan, dan pertolongan Tuhan, itu tertuju kepada suatu negeri di mana penduduknya beriman dan bertakwa. Lantas, apa itu Iman? Apa itu takwa?

Mengadaptasi pemikiran Dr. Muhammad Shahrur, pemikir Islam kontemporer asal Damaskus, dalam buku Islam dan Iman, saya dapati Iman sebagai perkara pribadi, sisi dalam, atau persinggungan seorang hamba kepada Tuhan. Sementara Islam merupakan output dari iman. 

Iman merupakan gerak transendensi, hablum minallah atau berkenaan dengan urusan ketuhanan. Sebuah gerak menengok ke belakang, memahami asal usul. Iman adalah memasuki lorong diri yang super gelap. Sehingga, banyak yang gagal lantaran salah arah. Bukannya menyusuri ke kedalaman diri, melainkan mereka memilih untuk melacaknya ke luar. 

Konon, suatu ketika Abu Nawas, salah seorang penyair jenaka dan sangat dekat dengan Khalifah Harun ar-Rasyid, kehilangan kunci rumah yang jatuh di dalam rumahnya. Ia mencari kunci itu di luar rumah lantaran di dalam rumah gelap, sementara di luar terang. Ia ke sana kemari mencari dan tak kunjung ketemu. 

Tetangganya menegur, “Lagi cari apa, Wahai Maulana?”

“Kunci!” jawab Abu Nawas singkat.

“Lah tadi jatuhnya di mana?”

“Di dalam rumah.”

“Kok nyarinya di sini?” tanya tetangga heran.

“Di dalam sana kan gelap, di sini terang.”

Begitulah, penyair terbesar pada masa dinasti Abbasiyah itu seolah menyindir kita hari ini, yang tak mengerti bahwa urusan iman itu urusan di dalam diri, bukan di luar. Namun, kita mati-matian mengejar citra ketuhanan justru dengan mengedepankan nalar, yang jelas tak sanggup menyentuh rasa nurani, rasa bertuhan. 

Berbeda dengan Iman, Islam justru berkait dengan sisi luar, persinggungan antarsesama makhluk. Jika Iman merupakan upaya memahami kejauhan dan ketakterbandingan-Nya, upaya menggapai predikat hamba Allah. Upaya meraih kesadaran ketuhanan, maka, Islam merupakan cara menggapai kesadaran kemanusiaan. Memahami diri dalam keserupaan Tuhan, yang selanjutnya si hamba mesti bertanggung jawab mengemban amanah menjadi wakil-Nya. 

Islam adalah gerak transformasi atau misi sosial. Sebuah laku menetapi darma sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Berislam meniscayakan hubungan yang harmoni antarsesama (hablum minannas). Suatu pergaulan yang mensyaratkan kepemahaman yang memadai tentang pihak lain. 

Sekiranya beriman itu memahami diri yang otentik, maka berislam adalah memahami orang lain apa adanya. Seberapa tinggi kemampuan kita mengelola atau berfungsi sosial, tergantung pada keluasan wawasan kita tentang pihak lain. Sehingga, berislam itu sama artinya dengan berilmu. Dengan berilmu, keterlibatan kita di lingkungan akan semakin memadai, dan berdampak positif pada pengembangan orang lain dan lingkungan. 

Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat: 13). Berikutnya, Nabi Saw. bersabda, “Sebaik-baik manusia, ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” 

Nah, menyambungkan dua teks itu, (salah satu makna) takwa adalah kebermanfaatan kita pada pihak lain. Kebermanfaatan berarti kesanggupan mengulurkan nilai kebajikan. Oleh karena itu, bertakwa sama dengan berislam. Bertakwa adalah berilmu. 

Kembali pada ayat 96 surah Al A’raf, keberkahan dari Tuhan akan mengucur kepada umat manusia, selagi sanggup memerankan diri sebagai hamba-Nya (manifestasi iman), sekaligus wakil-Nya (manifestasi Islam atau takwa). 

Dan memang, kalau dicermati akan kita dapati bahwa kata “Iman” selalu bersanding dengan “Islam”, “Iman” dengan “amal shalih”, atau “iman” dengan “ilmu”. 

Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu.” (QS Al-Mujadalah: 11). 

Walhasil, iman itu menumbuhkembangkan kesadaran ketuhanan (fi sabilillah), sementara Islam mengembangkan kesadaran kemanusiaan (fi sabilil mustadh’afin). Sebagaimana ditandaskan dalam surat An-Nisa’: 75, “Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah….

Di ranah filosofis, Iman dimaksudkan untuk menyibak waktu. Sedangkan Islam untuk menyelesaikan persoalan ruang. Sehingga, beriman berarti menempuh jalan sunyi, yang hanya dirinya sendiri yang mengerti tengah berasyik mahsyuk dengan Tuhan. Sementara bertakwa adalah menyusuri ruang. Menempuh keramaian, menawarkan nilai. Mengupayakan nilai-nilai Ilahi sebagai fakta objektif, sehingga rahmat bagi alam semesta itu nyata. 

Begitulah. Hanya yang perlu kita ingat, safari internal ini mesti dilakukan terlebih dahulu sebelum melangkah ke luar. Artinya, sisi dalam mendahului sisi luar. Untuk mencapai derajat takwa harus dimulai dengan menggarap diri secara akurat.

Demikian, Wa Allah A’lam

Ungaran, 07/04/2022

Baca juga: Hamba Allah atau Nalar

Post a Comment

0 Comments