Menghikmahi Keadaan

Puasa #6

Pernah suatu pagi—entah tahun berapa saya lupa, tapi yang jelas masih di sepuluh hari awal ramadhan—dalam perjalanan naik sepeda motor dari Sragen ke Ungaran, ketika masuk kota Salatiga ada operasi razia kendaraan motor di samping pos polisi. Sontak hati berdetak kencang, karena pada saat itu saya belum ber-SIM. Tanggung, mau putar balik tidak mungkin karena satu arah. Hanya bisa pasrah. Rapal doa-doa tak henti seiring putaran roda sepeda kian dekat rombongan polisi.

Polisi muda mendekat dan barangkali karena melihat raut muka saya yang tegang, dia tampak ramah saat meminta saya untuk menunjukkan kelengkapan surat-surat. Ramah dan memberi hormat, tapi saya memendam jengkel kepadanya. Juga jengkel mengutuk diri, sebab tak memiliki SIM. Jengkel kenapa saya tak waspada kalau ada operasi. Jengkel kenapa saya tidak mengulur waktu, menunda keberangkatan, sehingga selamat dari sergapan polisi. Jengkel, kenapa saya tidak tiba di tempat operasi itu satu jam sebelumnya. Campur aduk, antara kesal dan sesal, sembari menunjukkan STNK dan KTP. 

“Kok KTP, mana SIM-nya ?” tanya polisi muda itu.

“Belum punya, Pak.”

“Lo Mas kan mestinya tahu, ini di jalan raya, kalau bersepeda motor ya harus punya SIM.”

“Iya Pak, saya tahu....”

“Sudah tahu, kenapa nekat?”

“Iya, saya salah.” 

Saya yang biasa suka mendebat, dibuat tak berkutik di hadapan polisi muda itu. Saya tak punya keberanian melawan omongannya. Keburu under presure dan memang posisi saya salah. Berkendara motor di jalan utama tapi tidak berkelengkapan surat jalan. 

“Sudah, sana masuk pos!” lanjut polisi muda itu mendorong saya turut mengantre di belakang orang-orang senasib yang hendak menyelesaikan perkara di pos polisi. 

Satu per satu orang keluar dari pos. Dan dari kesemua yang telah menyelesaikan perkara, tiada yang menunjukkan raut muka puas. Muka masam  dan aroma kesal jelas terbayang dari mereka. Tersirat berbagai rupa kesalahan telah mereka perbuat. Ada yang tidak memliki SIM sebagaimana saya; SIM ada tapi tanpa STNK; malah ada yang sama sekali tidak mengantongi keduanya. Ada pula kesalahan, kaca spion cuma sisi kanan saja, lampu depan mati, dan sebagainya. 

Tibalah giliran saya, “Tahu kesalahannya?” tanya polisi tua sangar sembari mengamat-amati KTP saya. 

“Tidak bawa SIM.” tukas saya. 

“Gimana, mau diselesaikan di sini atau tilang? Kalau mau tilang, satu bulan lagi ke sini, ke pengadilan negeri Salatiga!”

“Kalau mau diselesaikan di sini, gimana?” saya sungguh berharap cepat beres, tidak harus menunggu satu bulan kemudian. 

“Kamu bisa titip uang ke saya. Kesalahanmu yang tak punya SIM, berarti Rp 50.000,00 yang mesti dititipkan di sini, dan nanti akan saya serahkan ke pengadilan.”

Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung merogoh kantong dan menyerahkan lembaran biru, Rp 50.000,00, kepadanya. Saya benar-benar tak ingin berpanjang masalah dan berlama-lama di ruang seukuran kamar mandi itu. Polisi tua itu pun, sembari terus mematut muka sangar, menyodorkan kembali STNK dan KTP saya. Saya berbegas keluar dari pos, dan ternyata yang berjajar mengantre masih banyak. Hmmm...berapa lembar saja yang bakal menumpuk di meja pos polisi itu! 

Dan, kita mafhum, sudah jadi rahasia umum, kalau pun lembaran-lembaran uang itu diserahkan ke pengadilan, tidak akan utuh semua, sebagian masuk kantong pribadi. Aparat-aparat itu—bukan yang sekarang lo!—biasa memperkaya diri dengan menggelar razia di jalan raya secara dadakan. Memanfaatkan kelengahan para pengguna jalan.

Memang, bukan sepenuhnya kesalahan polisi yang gemar memalak, tetapi kita sedari awal tidak biasa patuh hukum. Langgar-melanggar peraturan lalu lintas, hal yang lazim di jalan, terutama pada malam hari. Ketika ada razia, kita gugup dan menyadari kesalahan, tapi enggan mengikuti prosedur pengadilan. Kita malas meniti proses yang tersepakati. Sehingga, cara “damai” yang kita tempuh. Kita gampang mengobral lembaran uang, ketimbang mengantongi kertas bukti pelanggaran.

Entah siapa yang memulai duluan. Polisi, yang tak lain merupakan aparat penegak hukum, yang menyelewengkan wewenangnya, atau kita para anggota masyarakat yang tidak taat peraturan. Polisi yang memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri, atau kita yang malas menjalani proses, sehingga malah menyuburkan perilaku koruptif. 

Saya bayangkan, sekira kita tegas meminta surat tilang, polisi pun tidak akan sewenang-wenang memanfaatkan kesengajaan atau pun ketidaksengajaan kita di jalan. Korupsi yang konon kian akut menggurita, tak menjalar luas dan menjadi kelaziman di masyarakat. Kita mulai dengan belajar taat aturan, melengkapi surat-surat perjalanan, ber-helm standar, dan bersikap pelit alias tidak gampang merogoh kocek rupiah untuk sekadar melicinkan persoalan.

Pendeknya, melawan tindak manipulatif mesti dimulai dari diri sendiri. Kita mesti berani dan tegas menindas ambisi diri, kejam untuk tidak gampang mengambil kesempatan, dan bersedia menangguhkan kebiasaan jalan pintas. Bukankah hakikat puasa itu tidak mencuri kesempatan demi kepuasan diri? Hakikat puasa itu kesediaan untuk menunda kesenangan sesaat. Menampik segala kebolehan demi kesehatan diri dan kebahagiaan bersama. Menangguhkan ego sendiri demi ego bersama. 

Walhasil, puasa hari ini—juga yang kemarin-kemarin dan yang akan datang—adalah kepenatan yang mendatangkan sehat. Puasa adalah bersusah dahulu, beriang kemudian. Tinggal pilih kemudian, akan terus-menerus menjadi bangsa yang ringkih, bangsa yang mengagungkan ekonomi kompetisi, dan bangsa ngawur yang tak kunjung bosan menjadikan politik sebagai kendaraan penggilas moral. Atau kembali pada kedalaman jiwa, bahwa roh negeri ini adalah gotong royong. Bahwa, sebagaimana puasa, kita semua saling berbagi kebajikan tanpa menuntut imbalan. 

Begitulah, sekiranya iman dan takwa yang menjadi landasan hidup sehari-hari: sanggup menghikmahi keadaan Tuhan—tidak makan, tetapi memberi makan. Wa Allah A’lam.  

Ungaran, 08/04/2022

Baca juga: Menggarap Secara Akurat

Post a Comment

0 Comments