Muliakan Anak

Playdate anak-anak CMid Semarang

Puasa #12

Pagi jelang siang, Rabu 13 April 2022, saya antar Rakai ke Semarang. Dalam kondisi berpuasa, bungsu saya itu ternyata tak surut semangatnya untuk mengikuti playdate anak-anak homeschooling. Padahal mayoritas rekan-rekannya nonmuslim, yang jelas ada acara makan siang. Namun saya hanya mengantar, tak ikut menunggui. Sehingga, saya tidak melihat langsung kegiatan yang dilaksanakan. Hanya kiriman video dan foto-foto dari fasilitator, serta cerita dari Rakai, saya berkesimpulan: playdate ini aman dan menyehatkan buat pemuliaan jiwa anak.

Sungguh, dari kegiatan mereka, mengingatkan akan soal-soal yang teranggap remeh dan tak punya nilai juang. Padahal, membersamai anak, bercanda ria dengan sang bocah, itu bukan perkara gampang. Tidak semua dari kita, selaku orangtua, sedemikian enteng meluangkan kesempatan untuk serius menjadi pendengar tatkala anak berkeluh kesah. 

Kita acap gagal menjadi kawan curhat dan tong masalah yang sedang anak hadapi. Justru sebaliknya, kita sontak marah-marah ketika anak berkata jujur telah mengambil uang sisa belanja, misalnya. Sebab menurut kita, si anak harus menyerahkan uang kembalian itu utuh, bukan untuk di-thithili buat jajan yang lain. Kita memarahinya dengan mengatakan hal-hal buruk. Kita lupa bahwa apa yang keluar dari mulut orangtua itu adalah doa. Bayangkan, apa jadinya anak kita sekira untaian kata-kata buruk itu menjadi kenyataan!

Kita pun lupa, anak kita itu juga pengin menghirup udara lingkungan secara wajar. Ia ingin jajan di warung, seperti lazimnya teman-teman seusianya. Namun, kitalah yang bermasalah. Kita salah paham soal makna kesempurnaan. Seolah pengalaman masa lalu kita itu pasti yang benar dan baik. Bahwa ambisi dan harapan-harapan besar kita atas masa depan anak harus maujud.

Dari playdate Rakai dan teman-temannya itu, saya tertegun. Bahwa pengalaman masa lalu kita cukuplah terendap untuk diri saja, tidak perlu kita wariskan ke anak sebagai bahan ancaman atau harapan. Jangan sampai, omelan kita, walau dimaksudkan untuk kebaikan anak, justru menjadi beban dan menghapus masa-masa ceria anak. Jangan sampai kita merusak mental dan pemikiran sang buah hati dengan bentakan-bentakan. 

Ya, kita paham, tapi acap kali lepas kontrol tatkala menghadapi muka masam anak. Bahwa sebetulnya si anak itu lagi butuh perhatian dari kita, sang orangtua. Bahkan ekstremnya, si anak hendak mencemooh kita yang lalai bahwa hidup ini sebuah ruang yang plural. Sehingga, tidaklah tepat membandingkan anak kita dengan anak tetangga. Atau membandingkan antara si adik dengan sang kakak. 

Seolah si anak juga tengah mencibir kita yang hobi dan memang hanya bisa mengungkit-ungkit kesalahannya. Padahal jelas dunia ini berjalan siklus tidak mesti linear. Bahwa ada kala kita tak bisa mengelak dari hal-hal kecil dan tak terduga. Bahwa akhirnya, hidup ini nyata-nyata tidak dalam kuasa akal pikiran kita, tapi 100 % dalam genggaman-Nya.

Maka, kekhawatiran atas sesuatu yang berlalu, otomatis tak berlaku untuk saat ini. Pun demikian ketakutan atas sesuatu yang belum. Nah, sebagai penguat mental dan petunjuk teknis, karena memang tak gampang menjadi orangtua yang menggembirakan anak, saya merujuk ungkapan Gus Baha.

Di beberapa ceramahnya, Gus Baha mengkritik pandangan bahwa anak yang berani atau tidak jujur kepada orangtua itu akan kualat. Padahal sebaliknya, justru orangtua yang akan kena tulah jika tak memuliakan anak. Jika tidak memanjakan anak. Jika sedemikian ringan membentak-bentak anak, apalagi di hadapan teman-temannya atau bahkan di tengah khalayak ramai.

Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran LP3IA itu tegas-tegas mengatakan bahwa memanjakan anak merupakan ajaran para nabi. Ia juga mengungkapkan bahwa seorang wali akan terus menjadi wali sampai mati justru karena longgar terhadap anak. 

Gambaran sederhananya begini, simpel saja. Yakni cukuplah kita serius mengawal anak untuk menegakkan salat lima waktu. Sehingga anak familiar dengan kalimat La ilaha illa Allah, Allah Akbar, Subhanallah, dan kalimat-kalimat mulia lainnya. 

Sementara urusan yang lain, kita bikin longgar. Misal anak suka jajan, ya, jangan dilarang untuk jajan, fasilitasi saja. Suka makan enak, ya, kasih makan yang enak. Dan, kesemuanya itu demi mengawal kalimat tauhid serta kebenaran-kebenaran Islam yang terpatri dalam benak anak di tengah keluarga. 

Jangan sampai terjadi, anak mengenal dan menikmati apa yang disukai dari orang lain, bukan dari keluarga. Jangan sampai anak mengidolakan orang lain yang tidak peduli dengan religiusitas, orang yang tak pernah membenakkan kalimat suci. Jangan sampai! Itulah rahasia, kenapa semua nabi itu melonggarkan anaknya. Nabi Muhammad Saw. misalnya, tatkala salat diribeti Hasan dan Husein, diam saja alias tidak marah.

Bahkan semua ulama perawi mengatakan, ketika malaikat Jibril bikin janji dengan Nabi Saw. terpaksa tidak bisa masuk ke rumah karena di kolong tempat tidur sang Nabi Saw. ada anak anjing. Anak anjing tersebut merupakan hewan mainan Hasan dan Husein. Dan, sekali lagi Nabi Saw. tidak lantas memarahi kedua cucu tersebut. Nabi Saw. sadar, bahwa demi mengawal kalimat tauhid, anak-anak jangan sampai kecewa.

“Kalau kamu wali yang betul harus menjadikan kalimat tauhid abadi ke keturunan. Dan itu yang dilakukan Nabi Ibrahim as. yang hanya berobsesi kalimat tauhid abadi di keturunannya. Ismail as. itu tidak tahu apa-apa, tapi diajak untuk membangun ka’bah.” ungkap Gus Baha.

Kemudian, kenapa memuliakan anak itu penting? Ya, sekiranya orangtua terlampau keras, niscaya anak kecewa dengan sistem keluarga dan sistem keyakinan yang diterapkan dalam keluarga. Padahal anak merupakan harapan untuk melanjutkan kalimat tauhid ke generasi dan generasi selanjutnya. Maka, menyervis anak sebaik mungkin demi mengawal kalimat Ilahi itulah yang diteladankan para nabi dan para kekasih-Nya.

“Anak sudah mau belajar Al-Quran, mau ibadah, itu harus didukung. Sehingga, kalau anak senang mainan, ya kasih aja mainan! Supaya anak tidak kecewa. Sebab yang bakal meneruskan tauhid itu anak.” tandas Gus Baha.

Gus Baha mengutip rintih Nabi Zakaria as., “Aku sangat khawatir akan keluargaku sesudah kutinggalkan karena istriku mandul, berilah aku keturunan dari karunia-Mu. Seorang pewaris yang akan mewarisi aku, dan mewarisi keturunan Yakub dan jadikan dia ya Allah, orang yang diridai.” (Maryam: 5-6).

Doa Nabi Zakaria as. ini menguatkan betapa anak memang pewaris kalimat yang bernapaskan agama. Lebih lanjut, Gus Baha menyebut bahwa amal saleh yang dilakukan anak sendiri jauh lebih memberi pahala bagi kita, ketimbang amal saleh dari santri atau murid yang kita didik.

“Santri itu orang lain, paling mereka hanya kirim fatihah. Atau ketika hati mereka gusar, baru mereka mencari kuburanmu. Itu juga kalau hati mereka sedang gusar. Kalau anak, baik dia niat mengirim fatihah untukmu atau tidak, selama dia beramal saleh maka otomatis pahalanya akan mengalir ke kamu.” seloroh Gus Baha meyakinkan.

Gus Baha mengutip ayat, “Hai Yahya, ambillah Kitab (amalkan) dengan segala kekuatanmu, dan Kami telah memberikan kepadanya kearifan semenjak kecil, dan dilimpahkan kasih sayang dari Kami kesucian. Ia seorang yang penuh takwa.” (Maryam: 12-13). 

Walhasil, ulama asal Rembang itu menekankan kata “hananan”, bahwa “terlimpah kasih sayang” di situ bermakna suasana nyaman. Jadi hubungan anak-orangtua itu mesti nyaman. Tapi, nyaman yang terikat oleh kalimat yang mengagungkan nama-Nya, bukan lantaran nafsu. Bukan karena kita sedang terundung masalah, maka menyeret anak ke dalam masalah. 

“Jadi, di antara adabnya para nabi itu adalah memuliakan anak. Karena anaklah yang kelak lebih panjang waktunya untuk membawa kalimat tauhid.” simpul Gus Baha.

Begitu, Wa Allah A’lam.

Ungaran, 14/04/2022

Baca juga: Membatasi dan Menahan Diri

Post a Comment

0 Comments